Fenomena Grup Amatir Mementaskan Teater Non-Konvensional: Kemajuan atau Alibi Ketakberdayaan Menguasai Realisme? -->
close
Pojok Seni
13 March 2019, 3/13/2019 02:13:00 AM WIB
Terbaru 2019-03-12T19:13:46Z
Artikelteater

Fenomena Grup Amatir Mementaskan Teater Non-Konvensional: Kemajuan atau Alibi Ketakberdayaan Menguasai Realisme?

Advertisement

pojokseni.com - Disebutkan dalam opini Zen Hae, dimulai dari kepulangan WS Rendra ke Indonesia pada tahun 1967 usai belajar teater di Amerika, maka diperkenalkanlah istilah Teater Minikata. Teater inilah -yang menurut Zen Hae- membuka keran teater non konvensional bermula.

Zen Hae menyebutkan teater non konvensional ini dalam tulisannya sebagai "apa-apa yang bukan realisme". Konsep pemanggungan inilah yang memulai apa saja boleh dan bisa dilakukan di atas panggung. Pertunjukan teater sudah tidak identik dengan pertunjukan realisme lagi.

Konsep realisme berangkat dari anggapan bahwa realisme merupakan cara terbaik untuk mempelajari psikologi manusia untuk ditampilkan kembali ke atas panggung. Dengan demikian, konsep "menghadirkan kehidupan ke atas panggung" menjadi semakin nyata.

Entah penonton yang bosan dengan pertunjukan realisme, atau pegiat seninya yang mulai bosan, selanjutnya teater non konvensional menjadi salah satu pilihan proses kreatif seniman. Entah hadir sebagai juktaposisi, atau alienasi teater mutlak, intinya semuanya adalah hasil eksperimen yang berawal dari tafsir baru terhadap kehidupan.

Tentunya teater yang dimaksudkan tidak termasuk pantomime, yang sudah menjadikan tubuh sebagai teks secara karikatural, serta dapat dicitrakan dan ditangkap oleh penonton sejelas mungkin. Tapi untuk teater tubuh dalam bentuk baru, lebih sering pula disebut dengan "atraksi teater" karena menampilkan gerakan yang tidak hanya asing, tapi juga sulit dilakukan. Persis seperti pertunjukan tari kontemporer, sehingga teater bentuk satu ini juga sering disebut teater tari.

Untuk mewujudkan sebuah pertunjukan yang terbaik, maka latihan fisik digenjot setengah mati. Kemudian, diciptakan gerakan-gerakan yang aneh, entah itu beralusi pada kehidupan sehari-hari, atau malah sekedar simbolisasi. Penonton sangat mungkin menangkapnya dengan multitafsir, namun terpenting adalah pengalaman dan intuisi penonton untuk menyerap maknanya.

Mulai dari manifesto, "tidak semua bisa dikatakan dengan kata-kata" menjadi acuannya. Namun, apakah yang tidak bisa dikatakan oleh kata-kata tersebut? Pesan seperti apa yang kata-kata sudah tidak mampu lagi untuk menyampaikannya?

Kembali lagi ke grup teater yang memilih pementasan "eksperimental" ini sebagai pilihan. Ada beberapa grup yang memiliki aktor yang mampu mengimplikasikan teks dalam setiap gerakannya, pesan tersampai baik tersirat maupun tersurat lewat setiap detail gerakan tubuhnya, matanya, juga psikologisnya.

Namun, di sisi lain, berbagai grup muda, grup amatir dan grup-grup yang baru memulai karir, justru berpretensi untuk bereksperimen total. Aktor-aktor yang sebenarnya belum matang untuk membawakan drama realis, sudah diminta untuk menyampaikan gagasan lewat gerakan-gerakan yang sebenarnya sudah melampaui realis. Hasilnya, gerakan tak tersampai dengan baik, gerak yang dilakukan lebih berbentuk laku palsu, hanya sekedar simbolisasi semu dan makna yang diungkapkan terlalu "receh" untuk "tidak dapat disampaikan lewat kata-kata".

Hasilnya, muncul anggapan dari sebagian besar pemerhati, kritikus, penonton dan lain-lain bahwa teater non konvensional tadi telah mencoba berlari dari kesulitan menguasai realisme dengan metode tertentu (kita anggap saja Stanislavsky yang dianggap sebagai metode realisme paling paten).

Lalu, mempersiapkan pertunjukan non konvensional dianggap sebagai alibi dari ketidakmampuan serta kurang menekan diri untuk terus membaca dan menguasai berbagai kemampuan realisme seperti; menganalisis naskah/teks dengan berbagai pendekatan sastra, mendapatkan karakter berikut lapisan-lapisan psikologis peran, membuat dan mengatur alur dramatik, menciptakan ruang dan masih banyak rentetan lainnya.

Teater adalah ilmu pengetahuan, sebagaimana sastra, psikologi, sampai biologi. Segi-segi intelektual seni harus dikedepankan untuk mencapai hasil terbaik dan kesempurnaan artistik. Atau, grup tersebut hanya akan jadi grup dekaden yang tak berkembang, meski merasa telah "bereksperimentasi". (ai/pojokseni)

Ads