Pentas Kronong STKW Surabaya: Strategi Semantik Atas Simbolisasi Kematian Jiwa -->
close
Pojok Seni
14 January 2019, 1/14/2019 10:00:00 PM WIB
Terbaru 2019-01-14T15:00:14Z
BeritaMedia Patner

Pentas Kronong STKW Surabaya: Strategi Semantik Atas Simbolisasi Kematian Jiwa

Advertisement



Latar Belakang Penciptaan Pertunjukan Kronong


pojokseni.com - Perubahan kebudayaan menyeret kita kepada pamandangan "pembangunanism", bahwa ukuran kemajuan sebuah masyarakat diukur atas banyaknya pembangunan yang mereka lakukan. Oleh karenanya proyek-proyek property menjadi perioritas utama. dimana-mana orang membuat property baik perumahanan ataupun perkantoran. Efek dari semua itu adalah hilangnya tanah-tanah potensial. Tanah produktif penghasil padi dan tanaman pangan lainnya.

Tidak mereka sadari, betapa cara pandang pembangunan itu juga membawa akan lahirnya anak ideologis sebagai konsekuensi logis  yaitu matrealisme dan pragmatisme. Sebuah nalar yang dibangun atas keyakinan bahwa kebahagiaan itu lahir atas pencapaian matrealism.

Sedangkan cara mereka bertindak akan cendrung pragmatism. Mereka lebih menyukai euforia kesenangan ketimbang kepuasan spritual. maka benar perdebatan tidak pernah habis tentang esensi atawa eksistensi.

Disebabkan hilangnya tanah dan bergesernya pandangan bahwa materi segalanya, tanah yang sebagai pondasi keyakinan spritual masyarakat pun hilang. Mereka cenderung menyukai pesta-pora dan kebahagian semu. Kesuksesan hanya diukur dengan apa yang dia hasilkan; Berapa mobilnya? PNS apa bukan? Rumahnya dikeramik atau tidak? dan seterusnya.

Mereka ditarik kedalam situasi tidak mau bekerja, malas-malasan, instan dan pemarah. Sebuah situasi kemanusian kota yang menakutkan. Tanah sebagai sebuah penanda keyakinan masyarakat kampung jadi lenyap bersama lenyapnya banyak potensi sensitivitas nalar mereka yang lain.

Kesederhanan tanah, pekerja keras, rendah hati dan ikhlas, sungguh telah sirna. Padahal dalam filosofi tanah, ada kesederhanaan. sebuah sikap, tidak berlebihan dan menerima kenyataan sebagai sunnatullah.

Nilai-nilai tersebut termanifestasi dalam laku bertani dan bercocok tanam, gotong royong juga kekeluargaan. Sehingga dalam pandangan kesederhanaan segala sesuatu menjadi wajar. Bahwa kebudayaan dinamis, masyarakat pasti  berubah, yang abadi adalah kebudayaan. Akan tetapi nilai-nilai tanah sebagai semantik atas strategi kemanusiaan tetap mendapatkan locusnya. Hari ini kita benar-benar kehilangan locus pergerakan kemanusiaan kita dengan hilangnya semangat tanah.

Maka benar, bahwa kita telah sampai pada tahap kehancuran. Sebuah proyek kehancuran kemanusiaan yang dirancang oleh  kita sendiri. Kita terjebak dalam labirin kemajuan yang arbitrer. sebuah pandangan semu atas kebahagian yang palsu. Susunan materi yang ukurannya phisikly. Padahal manusia terdiri atas dua dimensi ; phisik dan jiwa.

Sebagaimana sunnatullah kehidupan dibentuk atas pandangan dikotomis siang dan malam, laki laki dan perempuan, mimpi dan kenyataan, salah dan benar. Sementara jiwa kita perlahan kering dan mati. Kita mengalami alienasi. Keterasingan identitas yang juga menyeret pada kematian eksistensi.

Proyek kematian ini, kemajuan dan cara pandang buta ini, menciptakan kecemasan kebudayaan. Sebuah paranoia akan kenyataan diri mereka sendiri. Keadaan psikologis ini tentunya lahir sebagai konsekuensi psikologis atas percepatan di luar dirinya. takut miskin, takut malu, minder, takut menderita, takut ketinggalan, puncaknya takut hidup. Hal ini yang menjadi kecurigaan atas pembacaan kami sebagai hilangnya aura kegembiraan hidup. kenapa begitu? jelas karena batin, jiwa dan roh yang kering.

Nalar tanah yang lain, yang tidak kalah pentingnya adalah kepekaan menangkap petanda. Nalar pertanian yang mengolah tanah dan pertanian membuat manusia sensitif dengan alam. Sebab secara filosofis, kita dibentuk oleh sebuah cara pandang kosmologis penciptaan. Sehingga orang baru hidup jika dia kreatif.

Nah, menangkap isyarat bagi mereka. alam yang mengisyaratkan garis bintang dan tata surya, membuat mereka bisa menentukan nasib mereka sendiri dengan melihat musim misalnya. Betapa hidup berjalan dalam kerangka pandangan harmonis, dinamis. dan kegembiraan menjadi nyata bagi mereka.

Sekarang kita telah benar-benar kota. Hidup dalam keramaian yang sempurna. Sehingga tidak ada waktu untuk merenung, tidak ada waktu untuk berfikir tentang diri kita sendiri. Maka tentu saja kita seperti diburu materi, tepatnya berburu materi.

Bagaimana kita diam, bagaimana kita akan menikmati bintang-bintang, bagaimana kita akan merenungkan kenyataan? Jika tujuan hidup adalah kesemuan retorika kota dengan pandangannya pembangunan yang telah menjauhi sepi.

Maka kronong adalah sebuah strategi semantik atas simbolisasi kematian jiwa itu. Ia seperti suara masa lalu, suara kebenaran batin yang terus melengking-lengking dalam jiwa untuk terus mengingatkan bahwa ada yang harus terus dijaga agar hidup bukan kekosongan materi semata. Melainkan sebuah gerak koamis yang terus melengking membangkitkan kegembiraan hidup dan berkehidupan.

Pada pertunjukan ini sutradara mencoba melakukan metode dengan pendekatan Teater Miskin yang digagas oleh Jerzey Grotowski. Di mana pola-pola latihan yang diterapkan pada aktor yaitu via negativa dan benda-benda yang dimainkan bersifat artifisal.

Informasi Pertunjukan



Pertunjukan Kronong akan dipentaskan pada:

Senin, 21 Januari 2019
19:30 WIB
Pendopo Agung
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya

KRONONG
naskah: Mahendra
Sutradara: Aciha Lubaidillah

Tim/aktor:
Achmad Arief Rendra
Boeb Enggang Borneo
Kholis Salju
Nadhiratul Walya
Raden Syukron
Syaifuddin Ayyami

Didukung oleh: AKDP Surabaya, Komunitas Tikar Merah, Language Theatre, Warawaraproject dan PojokSeni. (rp/pojokseni.com)

Ads