Oposisi Bahasa dalam Teater Era Orde Baru -->
close
Pojok Seni
22 January 2019, 1/22/2019 07:25:00 PM WIB
Terbaru 2019-01-22T12:25:16Z
ArtikelMateri Teater

Oposisi Bahasa dalam Teater Era Orde Baru

Advertisement

pojokseni.com - Kehidupan teater modern Indonesia dasawarsa 70-an terpusat di Jakarta, antara tahun 1968 sampai sekitar 1988, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, telah dipentaskan sebanyak sekitar 210 pementasan teater, di bawah arahan sutradara-sutradara terkenal di Indonesia. Periode kehidupan teater modern yang penuh antusias dan menyolok itu, disebut Jakob Sumadrjo dalam bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, sebagai “Zaman Emas Kedua Teater Indonesia” (1992:210).

Kiranya bisa disebut beberapa alasan mengapa zaman emas seperti itu terjadi. Pertama, tumbuhnya suasana berkreasi yang lebih bebas dan penuh harapan, setelah para seniman umumnya dari kalangan nonpartisipan, terbebas dari tekanan dan ketakutan politik, juga dari terror kreativitas ala LEKRA.

Kedua, yang juga sangat menunjang periode zaman emas kedua teater Indonesia adalah factor internal Taman Ismail Marzuki. Yang ketiga, yang juga mendorong penyemarakkan kerja berkesenian, seni teater khususnya, adalah semangat dan praktek penyatuan yang dipromosikan Ali Sadikin selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu, yang memungkinkan diterapkannya prinsip patronase pihak pemerintah terhadap dunia kesenian.

Pasang naik kehidupan teater dasawarsa 70-an, mencatat pula adanya kegairahan penulisan teks drama. Data yang terhimpun Jakob Sumardjo menyebutkan, ada sekitar 47 teks drama yang dihasilkan sepanjang dasawarsa itu.

Dilihat dari tema poko yang dominan di dalamnya, Jakob selanjutnya menyimpulkan bahwa tema social digarap dalam 27 teks drama, tema metafisik dituangkan dalam 11 teks drama, dan tema kejiwaan 9 teks drama.

Berlandaskan kesimpulan Jakob diatas bisa ditarik hipotesa, bahwa tema social yang mondominasi isi wacana teks drama tahun 70-an, mencerminkan minat dan kepentingan para penulis teks drama untuk terlibat secara intelektual dengan masalah-masalah nyata yang menggejala saat itu. Masalah-masalah nyata dalam latar kehidupan sosial itu menyangkut perihal orientasi kehidupan politik dan kekuasaan yang tidak genah.

Serta kondisi kemiskinan rakyat kecil. Jadi secara tematik, teks drama periode itu telah ikut menceburkan diri dalam gelombang wacana pembangunan, yang menjadi komoditas gagasan dan pusat retorika Orde pembangunan, yang menjadi komoditas gagasan dan pusa retorika Orde Baru. (Sumber: Teater Indonesia (Konsep, Sejarah, dan Problema). (isi/pojokseni)

Ads