Menangkap Pesan Akhir 2018: Catatan Rudolf Puspa -->
close
Pojok Seni
02 January 2019, 1/02/2019 01:00:00 AM WIB
Terbaru 2019-01-01T18:00:55Z
Artikel

Menangkap Pesan Akhir 2018: Catatan Rudolf Puspa

Advertisement

pojokseni.com - Seminggu jelang berakhirnya tahun 2018 tiba-tiba aku hampir tiap hari buka youtube dan melihat dokumentasi acara America’s Got Talent dan Global got talent. Juri yang aku kenal lama adalah Simon yang selalu tampil tanpa jas atau baju2 yang tebal tapi hanya kaos oblong kalau nggak hitam ya putih.

Selain menampilkan peserta yang membawa karya yang tampak ingin tampil bawa sesuatu yang beda; pertunjukkan tersebut dikemas sangat menarik. Yang sangat terasa adalah dalam hal memikirkan dan menghitung dengan tepat suasana kebatinan atau emosi penonton baik dalam gedung maupun yang lewat layar kaca.

Hampir setiap nomor aku terbawa arus emosi hingga tak kuasa menahan air mata. Kunikmati dan sungguh membuatku makin meyakini betapa kesenian panggung memiliki sebuah kekuatan yakni mengaduk emosi penontonnya. Penonton akan terbawa arus emosi panggung. Bahasa film adalah bahasa gambar sehingga diperlukan kecermatan dalam editingnya. Sebuah tontonan panggung bisa diolah sehingga sangat menarik. Kapan full shot, kapan close up penyanyi, juri, penonton sungguh sebuah kerjasama antara sutradara, cameramen, editor yang terampil dan memiliki sense of art yang tinggi.

Seni pertunjukkan khusus panggung teater tentu saja dituntut untuk mampu tersaji sebuah pertunjukkan yang harus memperhitungkan emosi penonton. Disanalah ada kunci yang paling harus dikuasai yakni memiliki daya mengatur irama pertunjukkan sehingga tidak terasa bertele tele. Mengaduk emosi penonton agar tidak berlarut2 sehingga terasa kelebihan lemak atau yang di teater sering disebut “ham acting”. Aku lebih menyenangi menciptakan karya teater yang ketika usai penonton masih penasaran, masih belum puas. Maka akan ketagihan dan mencari lagi untuk bisa nonton. Jika kelebihan lemak justru membuat lemas dan pulas tidur tak ingat apa-apa dan tak ada keinginan kembali lagi.


Kita perlu melepaskan pemikiran untuk bergagah gagah membuat pentas teater dalam waktu yang panjang atau mau seperti wayang kulit semalam suntuk. Wayang kulit kemasannya memang sudah teratur bagus sehingga enak dinikmati sepanjang malam. Lebih baik berkarya tanpa membebani diri harus panjang atau pendek. Karya yang menarik adalah karya yang tepat sasaran dan membuat penonton terjaga dan mengalir hanyut tanpa ingat berapa lama harus duduk di bangku penonton.  Mana yang lebih bagus tontonan 10 menit namun memukau dibanding 4 jam tapi bikin ngantuk?

Dari menonton acara got talent aku mendapat pelajaran yang benar-benar menyadarkan bahwa panjang pendek bukan ukuran kehebatan sebuah karya. Penyaji hanya diberi waktu 10-15 menit untuk memainkan gagasannya. Baik itu nyanyi solo, koor, tari, musik, sulap, akrobat, stand up komedi. Bisa hanya sendiri atau grup tak terbatas.  Sebagian besar yang lolos audisi bisa dipastikan penampilannya memang memiliki nilai-nilai art yang baru atau mendekati, unik yang merupakan hasil kerja keras dimana memiliki kesadaran bahwa karya seni adalah bukan sebuah pengulangan dari yang sudah dibuat orang lain. Aku sering mengatakan seniman tak perlu takut bila karyanya telah “melawan” pakem-pakem yang sudah ada sekian ratus tahun misalnya.

Keyakinanku selama ini menjadi terasa terdukung dari menonton acara gemilang tersebut walau hanya lewat layar laptopku. Bahwa seniman perlu terus menerus berexperimen, terus menerus mengexplore kedalam diri dan juga keluar. Ramah bercengkerama dengan alam sekitar dimanapun berada sehingga mendapatkan hal-hal baru yang selama ini tidak tampak karena hanya sambil lalu menghidupi lingkungan. Seniman sering dituntut mampu menjadi manusia yang independen sehingga kepekaannya terawat untuk selalu mampu mendengar dan melihat serta merasakan sekelilingnya dengan jujur dan terhindar dari fanatisme yang justru membuat terhenti hanya pada apa yang disukai saja.

Lebih parah kalau sudah suka lalu bermata kuda sehingga tak bisa lagi melihat kiri kanan atas bawah belakang. Seolah-olah junjungannya atau yang dikaguminya adalah yang paling benar hingga apapun yang dikatakan, dilakukan walau penuh kebohongan sudah tak tampak lagi. Saya tidak benci kepada seniman seperti itu namun saya tidak ingin seperti itu. Semua adalah pilihan dan memilih tentu ada konsekwensinya terhadap hasil karyanya.

Dari Simon sang juri yang unik ini aku catat selalu menanyakan apa mimpi dari penyaji baik masih kecil, remaja ataupun dewasa bahkan yang sudah lanjut usia yang masih ingin tampil membawa suara batinnya. “Mimpi” memang membuat sang seniman mampu menerobos jauh kedepan yang barangkali belum dilihat manusia pada zamannya. Mimpi membuat sang seniman tidak hanya bicara hari ini. Mimpi justru melatih sang seniman mampu melihat kebelakang dan menyadari keberadaannya hari ini lalu melesat jauh memandang ke depan.

Dari pertanyaan Simon aku merasakan bahwa ia tidak bicara kepada seniman tapi ia melihat di panggung ada manusia entah masih kanak-kanak atau sudah uzur namun berbuat sesuatu dalam lingkar kesenian. Ia tanpa disadari memberikan semangat, memberikan pendidikan bahwa manusia perlu memiliki sesuatu yang dikejar terus menerus yang barangkali nggak pernah ada kata akhir sebelum kematian menjemput.

Tidak salah jika bung Karno, presiden Indonesia yang pertama selalu mendengungkan gantungkan mimpimu setinggi langit. Kejar dengan tekun untuk meraihnya sementara langit hanya tampak biru dan tak pernah ada yang bisa meraihnya karena semakin tinggi kita mengawang maka sang langitpun juga makin tinggi. Ini menyadarkan bahwa orang harus bekerja seumur hidupnya atau minimal pengertiannya adalah harus bergerak terus menerus karena tak ada usia tua, tak ada kata pensiun selama punya mimpi.

Barangkali itulah perbedaan seniman dengan manusia pada umumnya. Seniman tak ada kata pensiun karena jiwanya terus menerus bergerak dan gerakan tersebut menghasilkan karya yang akan terus menerus muncul karena karya yang lahir masih belum memuaskan, karena mimpi itu masih mengawang.

Tidak heran jika para juri got talent sering mengatakan kata “amazing” setiap melihat sebuah penampilan yang memang memukau. Merekapun mengatakan selalu ada sesuatu yang baru dan tergelar di panggung yang meriah ini. Dan para juri memang dituntut mampu menanggalkan mindset di bidang nya agar mampu melihat sesuatu yang baru yang belum pernah dilihatnya.

Menilai adalah berawal dari apa yang dilakukan orang lain dan bukan dari dirinya. Juri tidak perlu memasung dirinya dengan rambu-rambu nilai kesenian yang dimiliki secara pribadi. Juri kesenian harus terbuka mata, telinga dan hatinya. Menilai kesenian ya tonton lalu bagus atau tidak dan apa alasannya. Itu saja dan bukan dengan sederet angka2. Ini pelajaran yang sangat berharga bagiku dan tentu bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun karakternya yang selama sekian puluh tahun hilang karena tertindas system pemerintahan yang otoriter.

Meninggalkan 2018 dengan menambah keyakinan baru bahwa kepekaan mata, telinga dan hati harus terus diasah sehingga kecepatan dan ketepatan dalam menangkap kehidupan lingkungan kita akan melahirkan karya2 yang menyentuh zamannya untuk esok pagi telah melangkah kedepan dan menemukan butir2 emas berlian mutiara yang lebih terang dan diolah menghasilkan karya baru lagi yang semakin menyentuh zamannya.

So pastilah ya.

Rudolf Puspa
Jakarta 1 Januari 2019.

Ads