Ulasan Film: Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 -->
close
Pojok Seni
31 August 2018, 8/31/2018 02:19:00 AM WIB
Terbaru 2018-08-30T19:19:02Z
ArtikelResensi

Ulasan Film: Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Advertisement

pojokseni.com - Apakah Anda termasuk salah satu orang yang rela menanti panjang untuk menyaksikan film Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng? Waktu penantian yang panjang, mulai dari proses pembuatan koreografi, proses shooting, lalu proses editing yang bahkan memakan waktu hingga 9 bulan, total dana mencapai Rp 40 Miliar dan menggandeng raksasa layar lebar asal Amerika, 21 Century Fox menjadikan film satu ini digadang-gadang akan menjadi film terbaik tahun 2018.

Karena itu, saya masuk ke gedung bioskop dengan ekspektasi yang tinggi. Apalagi, Angga Dwimas Sasongko yang didaulat menjadi sutradara film yang diangkat dari novel karangan Bastian Tito ini juga merupakan peraih Citra. Deretan nama artis pemeran juga mentereng, penata laga melibatkan nama-nama beken yang bahkan pernah terlibat dalam film action luar negeri. Rasanya, sebelum menonton, tentu film Wiro Sableng benar-benar tidak bisa dianggap enteng. Apalagi, alih wahana dari novel menjadi naskah atau skenario film ditangani oleh penulis-penulis berkualitas, sebut saja salah satunya Seno Gumira Ajidarma yang merupakan sastrawan kondang tanah air dengan sederet prestasi. Memiliki orang-orang terbaik di setiap lini, tentunya menjanjikan film yang sempurna di setiap lini, bukan?

Tapi setelah menonton, yah kita harus akui bahwa filmnya tidak jelek, bagus kok. Tapi sayangnya, ekspektasi di awal terlalu tinggi. Dimulai dari tata cahaya di beberapa adegan cenderung keteteran, padahal sedang di adegan yang krusial. Hasilnya, laga dan koreografi buatan Yayan Ruhian ada banyak yang "menghilang" atau "kabur" dari mata penonton. Kemudian, CGI yang digadang-gadang bakal "paripurna" itu ternyata tak sesempurna kenyataannya. Adegan Wiro Sableng berkelahi dengan Bujang Gila Tapak Sakti dan Anggini di atas pohon pinggir jurang, justru terlihat begitu artifisial. Apalagi, beberapa adegan yang menyodorkan pemandangan alam seperti gunung, hutan dan sebagainya, juga terlihat artifisial.

Diangkat dari Dua Judul Novel Wiro Sableng


Untuk para aktor, dua jempol musti dialamatkan ke penata laga sekaligus tokoh "paling" antagonis di film ini, Yayan Ruhiyan yang memerankan Mahesa Birawa. Sekedar informasi, film kali ini untuk alur cerita sebenarnya mengangkat kisah yang ada di dua judul novel Wiro Sableng karya Bastian Tito yakni 4 Brewok dari Goa Sanggreng dan Maut Bernyanyi di Pajajaran, yang digabungkan. Intinya, Wiro Sableng diminta oleh gurunya, Sinto Gendeng untuk menjemput kembali "kakak" seperguruannya yang murtad, Mahesa Birawa ke puncak gunung gede. Wiro yang bertarung dua kali dengan Mahesa Birawa, akhirnya membunuhnya. Mahesa Birawa juga merupakan dalang terbunuhnya dua orang tua Wiro Sableng, juga menjadi dalang utama pemberontakan Werku Alit (Lukman Sardi) terhadap kakaknya sendiri, Raja Kamandaka (Dwi Sasono).

Hanya saja sebagai tambahan Bujang Gila Tapak Sakti yang sebenarnya belum hadir di dua judul tersebut, justru hadir di judul yang sama dengan namanya "Bujang Gila Tapak Sakti", dihadirkan di film ini. Peran Bujang Gila Tapak Sakti yang diperankan oleh Fariz Alfarazi secara umum mirip dengan yang digambarkan mendiang Bastian Tito di novelnya.

Sherina Munaf entah mengapa jadi kurang stabil perannya sebagai Anggini di film ini. Ada beberapa adegan justru Anggini kehilangan rohnya. Secara mengejutkan, vokalis band cadas, Andy /rif justru terlihat asyik dengan perannya sebagai Dewa Tuak. Vino Bastian cukup baik memerankan Wiro Sableng meski tak begitu sempurna, sedangkan Marsha Timothy dengan peran Bidadari Angin Timur memang begitu cantik dan terkesan bak bidadari.

Yayan Ruhiyan mendapat porsi utama, bahkan menyita perhatian. Koreografi ciptaannya di film ini bersama-sama dengan tim dan melibatkan koreografer dari negeri Tiongkok, menjadikan aksi silat di film ini menjadi begitu tinggi levelnya. Sementara itu, Ruth Marini yang memerankan Sinto Gendeng sebenarnya sudah baik, namun di beberapa scene, ia terpaksa harus "dikhianati" oleh make up-nya sendiri yang kurang sempurna terlihat di layar.

Skenario dan Dialog Kurang Memuaskan


Skenario dan dialog juga kurang memuaskan penonton. Kita semua tahu bahwa "si sableng" ini memang jenaka dan humoris. Namun, karena dialog yang terlalu sering "dipaksa" jenaka, sehingga beberapa di antaranya justru menjadi garing. Tidak hanya itu, Sinto Gendeng dalam adegan ketika akan memberikan senjata kapak naga geni 212, menjelaskan dengan rinci apa makna filosofis dari angka tersebut. Angka 1 yang tegak vertikal menunjukkan Manunggaling Kawula Gusti" atau "menjadi satu dengan Tuhan", sebuah konsep sufistik yang berkembang di Nusantara sejak lama. Begitu dalam pesan yang ditanamkan Bastian Tito dalam angka di senjata dan dada Wiro Sableng tersebut.

Sayangnya, ketika adegan terakhir melawan Mahesa Birawa, tepatnya ketika Wiro Sableng nyaris kalah, bisikan sang guru terdengar lagi. "Menjadi satu... menjadi satu." Tentu yang dimaksud sang guru adalah "menjadi satu dengan Tuhan," atau setidaknya "menyatu dengan alam" untuk kekuatan yang tak terbatas. Tapi nyatanya, yang terjadi adalah angka 1 di tengah 212 tersebut diartikan sebagai "gotong royong" atau kerjasama, terbukti dengan kalahnya Mahesa Birawa karena Wiro Sableng menjadi "satu" dengan "dua" temannya, Bujang Gila Tapak Sakti dan Anggini.

Meskipun demikian, film ini menarik untuk disaksikan. Kerja keras dengan ratusan kru, serta proses latihan dan shooting yang lama tentunya menjadikan film ini cukup menghibur. Sebenarnya film ini bagus dan menarik, hanya saja mungkin tidak akan memenuhi ekspektasi Anda. Setidaknya, tentu kita wajib mendukung berkembangnya film karya sineas lokal tanah air.

Penulis : Adhyra Irianto

Ads