Pentas Antropodipus Teater Satu: Paduan Manis Drama Yunani Klasik dan Silat -->
close
Pojok Seni
13 July 2018, 7/13/2018 03:20:00 AM WIB
Terbaru 2018-07-12T20:27:53Z
Artikelteater

Pentas Antropodipus Teater Satu: Paduan Manis Drama Yunani Klasik dan Silat

Advertisement
Adegan perang dalam Antrodipus (sumbe foto: Facebook Iswadi Pratam)

Oleh: Adhyra Irianto

pojokseni.com - Salah satu drama tragedi-romantik Yunani klasik warna karya Sophocles, Oedipus di Kolonus diadaptasi dengan garapan yang sangat berbeda oleh Teater Satu Lampung. Sutradara Teater Satu, Iswadi Pratama, mempertunjukkan perpaduan teater dengan silat. Eksplorasi juga dihadirkan dalam balutan kostum yang mengagumkan untuk para pasukan Kolonus (Athena), Thebes dan Argos. Ditambah lagi dengan tata cahaya yang sangat mendukung pementasan menjadikan pentas ini lebih hidup. Jadinya, penonton disuguhkan sebuah pertunjukan yang berbeda dari penyajian drama klasik Yunani pada umumnya, namun dengan tetap menampilkan sebuah karya yang epik dan grande.

Penulis berkesempatan berada sangat dekat dengan awak Teater Satu dalam pegelaran ini karena mengikuti program Magang Nusantara dari Yayasan Kelola. Pentas tersebut digelar di Taman Budaya Lampung, pada tanggal 28 hingga 29 Juni 2018 lalu. Pantauan penulis, ratusan penonton berjubel memadati Gedung Teater Tertutup untuk menyaksikan penampilan salah satu teater terbaik di Indonesia ini. Ada tiga pertunjukan yang digelar berturut-turut, antara lain pementasan drama Antropodipus oleh Teater Satu yang digelar selama dua hari, mulai tanggal 28 hingga 29 Juni. Selanjutnya, pada tanggal 30 Juni 2018, giliran teater Kelompok Berkat Yakin (Kober) Lampung yang menggelar pentas bertajuk "Pilgrim II" di tempat yang sama.

Antropologi dan Oidipus

Iswadi Pratama memerankan Oedipus dalam pentas Antopodipus

Judul Antropodipus, menurut Iswadi Pratama, merupakan paduan antara Antropologi dengan drama Oedipus di Kolonus. Eksperimen tersebut menjadikan sebuah karya yang megah muncul di atas panggung GTT Taman Budaya Lampung. Karya besar dan agung tersebut berhasil dipertontonkan di Lampung, dengan tampilan yang sama sekali berbeda.

Oedipus di Kolonus ini merupakan judul kedua dalam trilogi Oidipus karangan Sophocles, setelah Oidipus sang Raja dan yang terakhir berjudul Antigone. Paduan gerak, koor dalam rampak suara, musik yang juga paduan tradisional dan modern, serta kekuatan aktor yang juga mumpuni menjadikan pentas berdurasi 2 jam lebih ini berhasil menyihir penonton hingga akhir pertunjukan.

Oidipus di Kolonus mengisahkan kisah Oidipus yang sudah buta, diusir dari kerajaannya, Thebes dan hidup terlunta-lunta di hutan bersama anak perempuannya, Antigone. Sebelumnya, dalam kisah Oidipus sang Raja, Oidipus sejak lahir sudah dinujum akan membunuh ayahnya sendiri, Layus yang merupakan Raja Thebes. Oleh karena itu, ketika lahir, Oidipus dibuang ke hutan. Oidipus yang malang ditemukan oleh seorang penggembala dan akhirnya diasuh menjadi anak. Sampai akhirnya, ia remaja dan bertemu dengan para pemburu, lalu bertarung dengan mereka. Oidipus yang terdesak membunuh pemburu tersebut, yang tidak lain adalah Laius, ayahnya sendiri.

Tiba ke Thebes, Oidipus berhasil memenangkan sayembara yang menyelematkan seluruh warga Thebes. Sebagai hadiahnya, ia menjadi raja dan memperistri Jacosta, ibunya sendiri. Dari ibunya itu, ia mendapatkan 4 orang anak, Polynesies, Eteocles, Antigone dan Ismene.

Dimulai dari bencana yang menyerang Thebes tiada henti, ternyata semuanya berasal dari dari Oedipus. Oedipus telah mengotori kesucian tanah Thebes, karena membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri. Mendengar kenyataan itu, Jacosta bunuh diri dengan melompat dari atas gedung, sedangkan Oedipus melukai matanya hingga buta.

Perjalanan Oedipus buta setelah diusir dan dihinakan dari Thebes menjadi kisah dalam Oedipus di Kolonus. Dengan berteman anak perempuannya yang setia, Antigone, Oedipus mencari hutan keramat Athena, tempat di mana dia diramalkan akan mati dan memberi berkah pada pemimpin yang Athena.

Oedipus akhirnya diterima oleh raja Athena yang menjadi sahabatnya, Theseus putra Ageus. Ismene, anak ketiganya datang untuk memberi tahu nujuman terbaru untuk ayahnya, bahwa tubuhnya akan menjadi keramat bagi siapapun raja yang menguburkannya dengan layak. Itulah kenapa, sekarang tubuhnya yang diperebutkan oleh Creon (adik Jacosta) yang diutus oleh Eteocles, anak kedua Oedipus yang jadi raja di Thebes.

Sedangkan Polynecies juga datang untuk menjemput ayahnya dan memberi restu. Oedipus menolak keduanya dengan keras, bahkan mengutuk kedua anaknya, Eteocles dan Polynecies akan mati berbarengan. Darah mereka berdua akan tumpah di atas tanah Thebes yang hancur karena kutukan dari Oedipus.

Silat dan Teater

Pemeran Crean (Gandi) memeragakan aksi silat yang akrobatik

Kemegahan pementasan ini ditunjang dengan sebuah eksplorasi dan eksperimen dari Iswadi Pratama dalam memadukan teater dan silat. Tentunya, untuk memadukan unsur silat ke dalam teater untuk menajamkan teks lewat gerak tubuh butuh waktu dan proses yang panjang. Pengolahannya benar-benar butuh keseriusan agar lebih matang.

Untuk itulah, seperti dikatakan Iswadi pada penulis, lebih dari 6 bulan proses latihan untuk pementasan ini. Setiap spectacle dalam setiap adegan dibangun dengan kuat dan detail. Hal inilah yang kemudian seakan "mencengkeram" penonton untuk tidak beranjak dari kursinya selama 2 jam lebih. Beberapa aksi silat yang akrobatik menjadikan adegan peperangan lebih hidup dan mencengangkan.

Adegan pasca peperangan Thebes dan Argos


Pengalaman yang paling berkesan bagi penulis adalah kesempatan melihat langsung permainan dari sang sutradara, Iswadi Pratama pada hari kedua (30/6/2018). Dalam kesempatan tersebut, Iswadi memerankan Oedipus dan menjadikan level permainan menjadi lebih tinggi dari hari sebelumnya. Setiap gerakan yang diekspresikan mengarah ke teknik gerak laku konvensional klasik yang menjadikan Oedipus yang dinamis untuk menjadi metronome gerakan para aktor lainnya yang membawakan silat yang rapi. Kematangan Iswadi Pratama juga ditunjukkan lewat beberapa teknik adegan klimaks, seperti ketika bertemu dengan Polynecies dan ketika akan meninggal dunia menemui Zeus sang dewa.

Kostum Memukau

Kostum Theseus (Desi) dan para pasukan Athena

Satu lagi nilai tambah dari pentas ini adalah kostum yang sangat berbeda dengan pentas drama Yunani klasik pada umumnya. Para prajurit Athena hadir dengan nuansa yang tegas, dan menonjolkan kekuatan. Sedangkan prajurit Thebes hadir dengan kesan rebel, serta pemberontak dengan nuansa lebih gelap ketimbang pasukan Athena.

Kostum Antigone, menghadirkan dua sisi, kekuatan dan keanggunan. Kesan bahwa Antigone juga seorang "pendekar" terasa kuat lewat kostumnya. Sedangkan Ismene, hadir dengan lebih anggun dan menawan dengan kostum khas putri kerajaan.

Meski sudah berhasil mempertontonkan sebuah pertunjukan yang memukau, namun Iswadi Pratama menyatakan ia masih merasa penampilan Teater Satu masih belum maksimal. Tentunya, Antropodipus akan dipentaskan kembali dalam beberapa waktu ke depan. Bahkan, rencananya, pentas Antropodipus juga akan dibawa ke beberapa kota di Indonesia.


Dalam tulisan berikutnya, penulis akan mengulas petunjukan menarik lainnya dari Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung dengan tajuk "Pilgrim II". Simak terus di pojokseni.com.

Ads