Randai Monolog Malin Kundang: Distorsi Randai dan Dekonstruksi Legenda -->
close
Pojok Seni
15 December 2017, 12/15/2017 02:44:00 AM WIB
Terbaru 2017-12-14T19:46:50Z
Artikel

Randai Monolog Malin Kundang: Distorsi Randai dan Dekonstruksi Legenda

Advertisement

Oleh Ikhsan Satria Irianto

“Berpuluh perang telah kumenangkan dalam hidupku, tapi tidak perang melawan hati mande! Dahulu di gunuang padang, tampek basarang si ula nago. Iyo dahulu lah takatokan, malin kundang anak amaknyo. Malin malin si Malin Kundang.”

pojokseni.com -  Legenda Malin Kundang adalah sebuah cerita rakyat monumental yang tumbuh dan berkembang di ranah Minang Kabau. Kisah Malin Kundang ini menceritakan tentang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya sendiri. Malin Kudang sebagai sosok anak durhaka telah menjadi pelajaran yang mendidik anak-anak di Indonesia sampai hari ini untuk tidak durhaka kepada ibunya. Namun, apakah Malin ikhlas menerimaa semua tudingan durhaka terhadapnya yang terlalu dibesar-besarkan?

Pertunjukan randai monolog bertajuk “Malin Kundang” sutradara Fabio Yuda dan koreografer Shindi Larasati, persembahan kelompok Send 15 Jurusan Seni Drama Tari dan Musik FBS Universitas Padang merupakan bintang tamu dalam perayaan Dies Natalis Institut Seni Indonesia Padangpanjang ke 52. Pertunjukan yang helat pada rabu (13/12/2017) di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padang Panjang mencoba menyuguhkan legenda Malin Kundang dalam perspektif yang berbeda. Antitesis ini merupakan capaian dari proses dekonstruksi legenda dengan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan baru pada sudut pandang yang berbeda. Titik fokus pada proses dekonstruksi ini lebih kepada psikologi Malin Kundang sebagai figur anak durhaka Indonesia.

Pertunjukan randai monolog “Malin Kundang” ini digagas oleh Fabio Yuda, Robby Ferdians, Fajry Sinaga, dan Hengki Armes (Alumni ISI Padang Panjang) terhitung telah dipentaskan sebelumnya sebanyak dua kali. Pertama pada Festival Randai Kreasi di Padang Panjang dan kedua pada Panggung Ekspresi di Padang dan pada hari jumat mendatang (22/12/2017) karya ini akan dipentaskan kembali di Taman Budaya Sumatra Barat.

Inovasi Randai Monolog


Tidak hanya pada ide cerita, inovasi-inovasi lainya juga disuguhkan Send 15 pada konsep karya yang mereka namakan “Distorsi Randai”. Setiap aspek artistik tak luput menjadi media eksplorasi pada proses inovasi kreatif Send 15. Inovasi pertama adalah, garapan Randai Monolog “Malin Kundang” menggunakan pola dan konsep yang berbeda dari konsep Randai konvensional. Dalam pertunjukkan Randai, biasanya dimainkan oleh beberapa peran utama sebagai penggerak cerita. Terkadang 3 orang atau bahkan lebih sesuai kebutuhan cerita. Namun dalam penggarapan “Distorsi Randai” semua adegan dimainkan oleh satu orang dengan mengadopsi konvensi teater monolog. Selain teknik monolog, pada proses ekplorasi geraknya juga mengadopsi teknik teater tubuh guna memperkuat simbol-simbol pada proses penyampaian makna. 

Inovasi selanjutnya disuguhkan pada pola Galombang (Legaran). Legaran biasanya selalu berbentuk lingkaran. Akan tetapi dalam distorsi randai, bentuk pemain legaran dimodifikasi menjadi berbentuk X, berbentuk segitiga, persegi panjang, garis lurus, berbentuk huruf V, membentuk dua ligkaran, serta bentuk tak beraturan. Pada konteks musik pengiring, inovasinya pada lagu populer yang dipadupadankan dengan dendang tradisi sebagai penyampai jalan cerita. Selain itu, alat-alat musik tradisional minangkabau diganti dengan alat musik modern seperti flute, celo, violin, keyboard, dan perkusi.  

Inovasi selanjutnya dapat ditemukan pada penggarapan gerak tari. Dalam randai tradisional, gerakan randai berasal dari gerakan silat, hanya saja tidak mementingkan ketangkasan, tetapi keindahan gerak yang senada dan seirama dengan alunan dendang yang dinyanyikan. Namun dalam distorsi randai, Send 15 memadukan gerakan silat dengan teknik-teknik tari modern seperti gerakan hip-hop, ballet, dance dan gerakan-gerakan lainnya.

Kelompok Send 15 Sendratasik UNP dengan cermat telah mengemas pertunjukan yang sangat kaya. Kelompok belia yang dibentuk pada pertengahan 2017 ini telah menunjukkan taringnya di belantika seni pertunjukan di Indonesia. Dengan konsep “Distorsi Randai” mereka mencoba memberi inovasi pada tradisi agar dapat dikonsumsi pasar seni hari ini. Dengan perspektif-perspektif baru yang dihadirkan, pertunjukan randai monolog “Malin Kundang” terasa sangat segar dikonsumsi hari ini, namun masih sangat kental nuansa legendanya. Melalui randai monolog “Malin Kundang” kelompok Send 15 memberikan konklusi bahwa menjadi kaya dan berbeda belum tentu durhaka. (isi/pojokseni.com)

Ads