Persoalan Brand, Branding dan Kekeliruan "Taste of Padang" yang Dibiayai Negara -->
close
Pojok Seni
04 December 2017, 12/04/2017 03:11:00 AM WIB
Terbaru 2017-12-03T20:11:56Z
Artikel

Persoalan Brand, Branding dan Kekeliruan "Taste of Padang" yang Dibiayai Negara

Advertisement



Oleh : Brian Fadli Fahmi

Saat ini masyarakat Sumatera Barat, khususnya mereka-mereka yang peduli tentang kelangsungan pariwisata urang awak, saat ini sedang dilanda badai opini. Terpilihnya "Taste of Padang" sebagai branding pariwisata Sumatera Barat, memicu perdebatan yang cukup sengit antara pihak yang pro, maupun yang kontra.

Namun, sebelum membahas hal ini lebih rinci, ada baiknya kita luruskan dulu pemahaman yang banyak orang tidak begitu paham. Tentang persoalan Brand, Branding, hingga strategi yang harus dilakukan dalam menjalankannya.

Brand dan branding adalah dua hal yang berbeda, namun saling berkaitan. Secara sederhana, definisi brand adalah merek dagang. Identitas dari barang yang akan di jual. Meliputi logo, istilah, slogan, simbol, desain, dll. Sedangkan Branding, adalah proses dan upaya komunikasi yang dilakukan pemilik brand, untuk membesarkan nama brand nya itu sendiri, mengikuti tahapan-tahapan branding dari brand awareness hingga brand loyality.

Saya ambil contoh, ada seorang teman saya yang membuka usaha penjualan buku-buku sastra, memberikan nama Aksara Corner sebagai brand atau merek dagangnya. Nah, yang dilakukan teman saya dalam proses branding adalah, mengkomunikasikan bagaimana Brand Aksara Corner dapat dikenal, di ingat, dan di cintai oleh konsumennya. Sesuai dengan namanya, Aksara corner tetap fokus kepada penjualan buku sastra, mereka tidak akan menjual komik, buku masakan, atau bahkan buku pemrograman komputer. Mereka hanya fokus menjual buku sastra. Selain itu, sebagai suatu proses branding, mereka menggunakan strategi penjualan buku di sudut-sudut kafe, tempat umum, dan sudut-sudut suatu acara. Sesuai dengan namanya "Corner".

Nah, kembali kepada persoalan "Taste of Padang" yang menjadi sebuah brand pariwisata untuk provinsi Sumatera Barat. Saya rasa hal ini adalah sebuah kekeliruan yang sangat amat fatal yang pernah di biayai oleh negara.

Ada beberapa alasan mendasar, yang mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk segera merevisi simbol pariwisata ini.


1. Dari pemilihan kata.


Taste adalah sebuah kata bahasa Inggris yang artinya Rasa. Rasa disini bisa jadi adalah rasa yang bisa dikecap oleh lidah, rasa yang bisa dilihat oleh mata, rasa yang terpaut dihati, rasa yang didengar oleh telinga, dan lain sebagainya. Sedangkan Padang, adalah sebuah kota yang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Barat. Dimana bagi etnis Minangkabau pada masa dahulu, daerah padang adalah daerah Rantau. Tempat anak laki-laki pergi merantau dan menjadi besar. "Taste of Padang" jika dirangkai menjadi kalimat, artinya Rasa Padang. Dimana apapun yang tersedia, terjadi, dan dibuat semuanya akan menjadi Rasa Padang. Ketika Taste of Padang digunakan sebagai simbol pariwisata Provinsi, kekeliruan disini adalah. Item-item pariwisata Sumatera barat selama ini tidak ada di Padang, dan tidak berasa Padang. Jam gadang, Ngarai sianok, ombak mentawai, rendang, dendeng balado, itiak lado mudo adalah sebagian item potensial pariwisata yang asalnya tidak dari Padang. Bagaimana mungkin jika nanti ada sebuah festival marandang di Bukitinggi, ada simbol Taste of Padang di materi publikasinya?

2. Membuat orang di luar Sumatera Barat semakin keliru.


Teman-teman saya di perantauan sering bercerita tentang, orang Jawa, Kalimantan, Sulawesi, di luar sana setiap kali bertemu dengan etnis Minang, pasti beranggapan semuanya orang Padang. Entah mereka berasal dari Payakumbuh, Bukittinggi, Pariaman, di luar Sumatera Barat mereka tetap akan dianggap sebagai Orang Padang. Nah, jika Taste of Padang digunakan sebagai Simbol pariwisata provinsi, hal ini justru membenarkan kekeliruan yang selama ini terjadi di luar sana. Orang-orang akan semakin yakin, bahwa julukan "Si Padang" untuk orang Bukitinggi sudah tepat. Mereka tidak akan pernah tau bahwa selama ini mereka telah keliru. Bukan malah ikut serta meluruskan, pemerintah justru saya anggap ikut membantu dan membiayai kekeliruan yang selama ini terjadi.

3. Akan menghambat Tahapan Branding di kemudian hari.


Dalam tahapan branding, sebuah brand harus dikenal, dipahami, hingga dicintai konsumen. Taste of Padang saya khawatirkan justru akan menghambat proses branding itu sendiri. Misalnya, pemerintah akan menjual "sate ajo" ke Norwegia, Sementara para ajo di padang yang menjual sate adalah perantau dari Pariaman, bukan orang Padang asli. Akan sangat membingungkan jika nanti ada turis Amerika yang datang ke Pariaman, justru malah menganggap sate Pariaman adalah sate Padang. Contoh lainnya, jika nanti pemerintah akan menjual jam gadang sebagai destinasi wisata kepada orang Jepang, sementera di Padang sendiri tidak pernah ada bangunan jam yang sebesar itu. Apa tidak lucu jika tiba-tiba turis Jepang tadi menggunakan google maps, dan tidak menemukan jam sebesar Jam Gadang di kota padang? Contoh terakhir, jika nanti ada event surfing Dunia di Kepulauan Mentawai, dan para atlet surfing kemudian akan lebih mengenal Ombak padang daripada Ombak Mentawai? Mereka justru malah akan saling berdebat kusir untuk menentukan ombak itu ada di mana.

Tiga poin mendasar di atas saya rasa cukup untuk menjadi bahan pertimbangan kita semua, khususnya pembuat kebijakan untuk segera meninjau kembali persoalan pemilihan "Taste of Padang" sebagai branding pariwisata. Melalui program ini, mari kita sama-sama bekerja demi kemajuan pariwisata di Sumatera Barat, bukan malah menambah kekeliruan akan pemahaman yang selama ini terjadi.

*Tulisan ini sudah dipublish oleh penulis dalam akun Facebook pribadinya. Pojokseni juga sudah mendapat izin untuk mempublish ulang tulisan ini.

Ads