Mission Impossible : Karcis Teater Rp 50.000 di Bengkulu -->
close
Pojok Seni
16 December 2017, 12/16/2017 01:10:00 AM WIB
Terbaru 2017-12-15T18:18:33Z
Artikelteater

Mission Impossible : Karcis Teater Rp 50.000 di Bengkulu

Advertisement


Oleh : Adhyra Irianto

(Bagian I)

pojokseni.com - Di Bengkulu, ada dua bioskop. Satunya terletak di Mega Mall lantai 2 dan satu lagi ada di Bengkulu Indah Mall (BIM). Untuk menyaksikan film di bioskop, Anda harus membayar tiket mulai dari Rp 30.000 untuk hari biasa, sampai Rp 50.000 untuk hari libur atau akhir pekan. Namun, jangan pernah meletakkan tarif segitu untuk sebuah pertunjukan teater di daerah ini. Ah, paling banyak hanya 20 orang yang menonton.

Di daerah ini, teater masih dalam proses "perkenalan". Terinspirasi oleh tulisan status bang Alexander Gabe dari Komunitas Berkat Yakin Lampung di akun Facebooknya, kondisi di Bengkulu rasanya 11-12 saja. Apalagi, pertunjukan teater eksperimental sedang semangat-semangatnya menjaga eksistensi di daerah ini. Anak-anak muda, menciptakan konsep yang liar, membiarkan para aktor bebas berekspresi, dan menciptakan pertunjukan yang begitu sulit dijangkau penonton awam. Akhirnya, penonton semakin jauh dari panggung.

Pementasan Teater Senyawa di Curup, dengan naskah Barabah

Di daerah ini, seni teater adalah barang langka, tapi tidak mahal. Kembali ke tarif karcis untuk menyaksikan bioskop, maka dikembalikan lagi ke pertunjukan teater, berarti tiket dengan harga mulai dari Rp 25.000 hingga Rp 50.000 adalah hal yang bisa dicapai, dengan jaminan yang diberikan pada penonton, bahwa mereka akan mendapatkan "perasaan" dan "pengalaman" yang berbeda ketika menonton teater. Tentu saja, pertunjukan drama realis menjadi solusinya. Masuk akal, bukan?

Ternyata tidak semudah bicaranya. Saya duduk bersama rekan-rekan saya di Teater Senyawa, dan hasilnya, kami menyadari bahwa ini adalah misi yang tidak mungkin, mission impossible. Namun, ada satu cara yang perlu dilakukan agar misi ini bisa berhasil.

Harga tiket tidak konstan. Naik secara perlahan,dan berkala. Saya memulainya dari angka yang sangat murah, Rp 5.000 per lembar. Angka tersebut akan terus naik, melihat dari biaya produksi yang dikeluarkan. Kenaikan dimulai dari angka Rp 2.500 hingga Rp 5.000 per produksi baru. Jadi, anggap saja pertunjukan pertama dimulai dengan tiket seharga Rp 5.000, kemudian pertunjukan kedua tiket seharga Rp 7.500, begitu seterusnya. Sampai akhirnya mencapai angka "aman" pertama yakni Rp 25.000.

Sampai Rp 25.000, rasanya masih masuk akal dan akan mendapatkan penonton, setidaknya 250 orang. Namun, bila naik lagi, maka mungkin kami akan kehilangan penonton. Dan itu berbahaya bagi teater "berkembang" seperti kami ingin meraih cita-cita menjadi teater "maju" apalagi menjadi teater "adidaya" yang harga tiketnya mencapai Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000 per lembar.

Nah, sebelum mencanangkan tiket menjadi Rp 50.000, berarti tontonan tersebut harus bisa menjadi tuntunan, juga mendapat penonton setia yang rela merogoh kocek sebesar itu untuk menyaksikan pertunjukan yang dimaksud. Syaratnya, teater tersebut harus menjadi grup yang bisa menjaga eksistensi, proses yang tidak berhenti, pertunjukan berkala, serta kemampuan SDM anggotanya juga sudah mumpuni. Agar hal itu tercapai, maka anggota dari grup teater harus tetap berada di teaternya, sampai kapanpun. Itu berarti, grup teater itu juga bisa setidaknya membantu anggotanya bisa hidup layak, sehingga latihan teater menjadi hal yang fundamental dan prioritas bagi anggotanya.

Bagaimana caranya? Saya dan rekan-rekan dari Teater Senyawa Curup setelah berdiskusi memutuskan untuk melakukan hal-hal berikut. Ini, saya bocorkan pada Anda, hasil diskusi kami.

1. Stripping dan Pelatihan Teater

Pertunjukan Teater Senyawa di Bengkulu dengan naskah "Ayahku Pulang" (sumber : potretbengkulu.com)

Untuk setiap produksi akan memakan waktu hingga 3 bulan. Dan produksi tersebut paling banyak hanya bisa dipentaskan hingga 5 kali, itupun dengan catatan harus di 5 tempat atau kota berbeda, dan itu juga akan memakan waktu hingga 2 sampai 3 bulan.

Seandainya per tiga bulan itu, dengan total 5 kali pentas, bisa meraup keuntungan bersih hingga Rp 15 juta, maka berarti jumlah itu akan dibagikan dengan setiap anggota teater, dikurangi lagi dengan "setoran" ke kas teater. Kalau teater itu punya anggota hanya 15 orang saja, maka berapa honor yang akan mereka dapatkan dalam produksi 3 bulan dan 5 kali pentas yang juga akan memakan waktu hingga 2 bulan itu?

Ah, uang? Uang bukan segalanya. Iya, tapi karena hal itu satu persatu dari anggota grup teater mulai mundur dan "pensiun dini" dari panggung. Lantas, bagaimana grup itu bisa hidup? Meski kita bersikukuh bahwa uang bukan segalanya bagi seniman, namun perlu disadari bahwa mereka butuh uang untuk makan, apalagi yang sudah berkeluarga. Kalau saja rata-rata usia menikah adalah 30 tahun, maka di usia itu para aktor akan mundur. Jerih payah mereka tidak sebanding dengan apa yang didapatkan. Kalau saja waktu 5 bulan itu dipakai untuk mencangkul dan menanam cabe, tentunya mereka akan mendapat hasil yang jauh lebih baik. Nah, bagaimana cara menyelesaikan masalah itu?

Pada akhirnya, seniman yang masih bertahan adalah seniman yang punya pekerjaan dengan penghasilan yang cukup, dan pekerjaan itu memungkinkan ia untuk memiliki waktu yang banyak untuk berproses, bukan?

Karena itu, saya terpikir untuk produksi stripping dengan tujuan ke sekolah-sekolah. Di tengah-tengah 5 bulan proses latihan, produksi dan pentas, ada beberapa anggota teater lainnya dilibatkan dalam proses produksi stripping. Naskahnya pendek, mungkin hanya akan pentas dalam waktu 15 - 30 menit saja, bisa monolog, drama, musikalisasi puisi atau baca puisi saja.

Ke mana arahnya? Tentu saja, sekolah! Setidaknya ada 10 sekolah yang menjadi sasaran program ini dalam satu kali produksi stripping. Di satu sekolah, setidak-tidaknya ada 100 penonton yang disiapkan, dengan tujuan pembelajaran drama, resensi karya sastra atau sekedar mendapat hiburan saja. Tiket yang perlu dibayar oleh penonton jangan terlalu besar, mungkin hanya sekitar Rp 5.000 saja per lembar, bisa dibeli oleh siswa atau dibayar penuh oleh sekolah. Dengan demikian, untuk satu sekolah, setiap pertunjukan akan mendapat bayaran hingga Rp 500.000. Dalam sekali produksi yang mungkin hanya akan dihabiskan dalam waktu setengah bulan saja, grup teater akan mengunjungi 10 sekolah dengan total pendapatan hingga Rp 5.000.000 per setengah bulan.

Produksi stripping setidaknya menjadikan grup teater lebih hemat biaya untuk artistik dan kostum. Ada berapa sekolah di satu daerah? Mungkin bila hanya menghitung SMP dan SMA saja, ada sekitar 25 sekolah. Anggap saja hanya 20 yang menerima program tersebut, dan dihabiskan dalam waktu satu bulan, maka ada pendapatan hingga Rp 10.000.000 per bulan, bukan?

Manfaat yang didapatkan dari program ini bagi siswa adalah pembelajaran untuk mempersiapkan sebuah pertunjukan drama. Toh, para siswa juga akan menampilkan drama dalam berbagai momentum, seperti ambil nilai, ujian praktek, sampai ikut lomba. Siapa yang akan menjadi pelatih anak-anak sekolah tersebut? Yah, itu manfaat selanjutnya dari stripping ini. Anggota teater tersebut nantinya akan ditunjuk oleh sekolah sebagai pelatih di sekolah bersangkutan.

Dengan cara ini, satu grup teater, selain mendapatkan penghasilan "per lima bulan" dari sebuah produksi pementasan, juga akan dapat penghasilan "per bulan" dari stripping dan pelatihan anak sekolah. Tapi, masih terlalu sedikit penghasilan seorang seniman, apalagi bila dibandingkan dengan pegawai Bank dan PNS. Oleh karena itu, grup teater juga bisa menambahkan beberapa cara lain yang akan diulas dalam tulisan berikutnya.

(Bersambung ke bagian II)    

Ads