Paradigma Estetik Seniman Dalam Perspektif Jalanan : Antara Vandalistis dan Kreativitas -->
close
Pojok Seni
27 November 2017, 11/27/2017 06:11:00 AM WIB
Terbaru 2017-11-26T23:11:20Z
ArtikelSeni

Paradigma Estetik Seniman Dalam Perspektif Jalanan : Antara Vandalistis dan Kreativitas

Advertisement
Ilustrasi Seni Jalanan

Oleh Ikhsan Satria Irianto


Titik temu antara perwujudan nilai seni dan sikap estetik pengamatnya merupakan hubungan timbal balik yang esensial dalam peristiwa kesenian, karena pada hakikatnya, spektakel dan spektaktor memiliki korelasi yang sangat erat. Perwujudan ide milikseniman haruslah terkomunikasikan dengan baik oleh penikmatnya melalui benda seni. Ekspresi jiwa seniman yang telah diwujudkan kedalam karya seni tak akan bernilai jika tidak mendapatkan sikap estetik dari pengamatnya.

Melihat seni sebagai media komunikasi adalah salah satu cara pandang untuk memahami subtansi seni. Hingga lahirlah pemahaman bahwa seni bukanlah karya yang ekslusif atau secara eksplisit dapat diartikan bahwa sebuah karya yang dilahirkan hanya untuk dinikmati sebagian golongan saja. Namun seni adalah sebuah mahakarya yang intensionalitas. Karena seni selain memiliki kebutuhan ekspresi, seniman juga membutuhkannya sebagai media berinteraksi dan berkomunikasi dengan publik.

Bagi kalangan seniman, komunikasi menjadi hal yang pokok untuk memenuhi kebutuhan estetiknya, begitu pun dengan seniman jalanan. Seniman yang telah mengabdikan dirinya untuk seni dan jalanan ini,  juga berkomunikasi melalui seni untuk memenuhi kebutuhan estetik mereka.  Seniman jalanan adalah ahli seni yang memilih ruang publik sebagai media ekplorasi estetiknya. 

Ilustrasi Seni jalanan

Untuk melengkapi eksistensi seniman jalanan sebagai bagian dari suatu golongan masyarakat, merekajuga turut serta dalam melakukan interaksi dengan publik melalui media seni. Mewujudkan idenya dalam bentuk benda seni dan menjangkau publik langsung ke ruang-ruang publik. Berbeda dengan pameran di galeri atau pertunjukan di gedung yang terkesan angkuh dan milik kaum borjuis. Karya-karya seniman jalanan terkesan lebih akrab dan bersahaja. Dengan mengangkat problematika realitas dan isu-isu sosial kemudian menuangkannya kedalam karya kreatif yang ringan dan sarat akan makna. Gagasan-gagasan tersebut diwujudkan melalui karya seni yang bebas secara estetika tanpa mempertimbangkan pasar. Karena capaian akhir dari ekspresi jiwa para seniman jalanan adalah sebuah kepuasan bukanlah kekayaan.

Seniman jalanan selalu tekun mempertahankan eksistensinya. Karena sebagai seniman yang memilih berproses langsung keruang publik, mereka selalu dan terus berusaha untukmemperjelas keberadaan mereka beserta karya-karyanya di tengah-tengah masyarakat. Hingga dewasa ini keberadaan seniman jalanan begitu mengundang animo masyarakat.

Seniman jalanan secara stereotip dianggap sebagai pengimis atau gelandangan. Namun, hal itu sangatlah berbeda. Meskipun seniman jalanan dan pengemis atau gelandangan sama-sama telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk jalanan. Perbedaan yang sangat jelas terlihat adalah seniman jalanan memiliki ketrampilan atau kemampuan teknis untuk melahirkan sebuah karya seni. Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa gelandangan hanya mengabdikan hidupnya untuk jalanan sedangkan seniman jalanan mengabdikan hidupnya dengan berkarya dan jalanan menjadi media eksplorasi estetiknya. Karya-karya para seniman jalanan pun juga tak bisa dipandang dengan sebelah mata, tak mustahil bila seniman jalanan juga melahirkan karya-karya yang monumental. Seperti kata pepatah, “Gunung api yang bahkan belum diberi nama sekalipun, juga dapat melutus dengan dasyat.”
Sebagai contoh dari keagungan karya-karya dari para seniman jalanan,sejarah telah mencatat bahwa ada beberapa nama besar yang lahir di jalanan.

Mereka adalah Mark Jenkis, Julian Beever, JR, Blu, Bansky, Roa, Gaia, Natalia Rak, Oakoak, Lisbon, ETAM Cru, Sowoon, INTI, Eduardo Cobra, Bordallo, Shamsia Hassani, Jaz, Joe Iurato, David Zin, Swampy, dan banyak lagi yang lainnya. Meskipun dengan segala keterbatasan material, karya-karya yang lahir dari jalanan terkadang sangat representatif dan  menyita perhatian publik.

Paradigma estetik dari para seniman jalanan begitu kentara memperlihatkan proses eksperimental seni alternatif. Yang mana karya-karya seni yang dihasilkan selalu segar dan tak akan tergilas roda zaman. Dalam proses penciptaan karyanya, para seniman jalanan sangat peka pada keadaan dan mampu memanfaatkan keadaan. Mereka dengan cermat mensiasati publik dengan karya yang apik meskipun dengan segala keterbatasan kodisinya. 

Kreativitas Jalanan Lebih Kreatif dan Jujur

Ilustrasi seni jala

Berdasarkan penilaian komparatif, paradigma estetik yang dimiliki oleh seniman jalanan memiliki dayakreatif yang lebih kuat dibandingkan seniman konvensional. Keadaan memaksa seniman jalanan untuk menghancurkan dinding-dinding konvensi demi tercapainya kepuasan berkarya dalam setiap proses penciptaanya. Berbeda dari seniman konvensional yang selalu patuh pada konvensi dan berjalan di jalur yang selalu sama. Karya-karya seniman jalan terkadang lebih kreatif, inovatif dan bahkan bersifat provokatif.

Baca juga : Mau Buat "Gravity Lumut"? Perhatikan Caranya Disini

Ketersediaan material seni menjadi salah satu faktor krusial dari proses penciptaan karya oleh seniman. Lain halnya dengan seniman jalanan, mereka selalu dipusingkan akan serba keterbatasannya material seni yang diberikan jalanan kepada mereka. Namun hal ini justru menumbuhkan kepekaan mereka terhadap lingkungan sekitar. Keterbatasan tersebut kian menumbuhkan daya kreatif dan mampu menciptakan inovasi-inovasi dalam perspektif jalanan. Dapat diasumsikan bahwa, perspektif jalanan memberikan gambaran proses militansi dalam berkesenian.

Jika seniman lukis konvensional selalu berhadapan dengan material seni yang sama, seperti kanvas, kuas dan cat. Seniman jalanan selalu berhadapan dengan material seni yang berbeda setiap harinya. Secara komparatif, seniman konvensional dan seniman jalanan sama-sama memiliki gagasan seni dan kemampuan teknis, namun mereka mengalami proses penciptaan yang sangat berbeda karena perbedaan kepemilikan material seni. 


Namun, asumsi masyarakat atas dampak negatif akan kehadiran para seniman jalanan tidaklah sepenuhnya salah. Kebebasan berkarya yang disediakan jalanan terkadang menjadikan para seniman jalanan tak terkendali. Tak jarang karya-karya seniman jalanan terkesan amoral, abnormal dan sangat menganggu ketentraman publik. Tak jarang juga para seniman jalanan ditertibkan secara paksa oleh pihak yang berwajib atas proses vandalisme yang mereka jalani. Kehadiran para seniman jalanan bagi sebagian orang dinilai sebagai perusak pemandangan kota.

Kebebasan yang disediakan oleh jalanan terkadang membuat para seniman jalanan lupa dan terlena akan kebebasan berkarya tanpa batas. Padahal seniman-seniman jalanan yang telah hidup dan berproses di ruang publik,seharusnya memberikan ruang-ruang yang berpihak kepada publik pada setiap karya-karyanya. Dengan cara meminimkan subjektivitas dalam berkarya.


Vandalisme oleh masyarakat awam sering dikaitkan dengan moralitas seniman, terutama seniman jalanan. Aksi vandalistis diasumsikan oleh masyarakat seperti refleksi dari kehidupan seniman jalanan yang dianggap tak bermoral. Sehingga karya seni yang mereka lahirkan seakan berkurang nilainya karena terganggu oleh moralnya yang buruk. Spekulasi-spekulasi masyarakat awam seni inilah yang juga menjadi faktor pendukung rusaknya eksistensi seniman jalanan.

Vonis tersebut jika dikaji ulang, tidaklah relevan untuk menghubungkan sifat seorang seniman dengan karya seninya. Karena modal seniman yang utama adalah kejujuran dalam berkarya. Dan keindahan harusnya ditangkap dan dihayati oleh indra, bukan dari moral.

Diluar dari moralitas seniman jalanan yang tidak baik, seniman jalanan memiliki kekuatan tersendiri dalam berkarya, yaitu kejujuran terhadap kenyataan. Karya-karya dari seniman jalanan mengungkapkan kebenaran, kesalahan, kebaikan, kejahatan, keindahan secara eksplisit. Dapat diasumsikan bahwa seniman jalanan berkarya dengan hati nurani yang bersih, meskipun pribadinya sehari-hari tidak baik.

Vandalisme Sebagai Reaksi dari Minim Apresiasi

Seni jalanan

Gerakan vandalisme acap kali dilakukan para seniman jalanan sebagai sebuah bentuk protes. Minimnya apresiasi publik terhadap karya-karya mereka menjadi suatu alasan utama. Serta kegelisahan atas gagasan-gagasan mereka yang tidak terkomunikasikan degan baik dan nilai yang terkandung dalam benda seni mereka tak mendapatkan sikap estetik dari publik seni sebagai subyek estetik. Memaksa seniman jalanan untuk berbuat lebih nakal, berani dan frontal untuk mempertahankan eksistensi mereka. Implikasinya adalah terganggunya indra publik sebagai penghayat seni. Hal inilah yang menimbulkan spekulasi bahwa seniman jalanan adalah oknum dari aksi vandalisme.

Namun, aksi-aksi vadalisme juga tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan oleh oknum seniman jalanan. Terkadang kaum yang memiliki material seni dan mengatasnamakan seniman jalanan dengan tanpa aturan melakukan aksi vandal. Kaum tersebut mencoba mengekspresikan jiwanya di jalanan, namun mereka tidak memiliki gagasan dan tidak mempunyai bekal teknis seni yang mumpuni. Euforia kaum yang miskin gagasan inilah yang terkadang merusak reputasi dari seniman jalanan. Hal itu berpengaruh kepada pergeseran nilai yang drastis dari karya seni seniman jalanan danmengundang asumsi negatif masyarakat terhadap eksistensi seniman jalanan.


Paradigma estetik seniman dalam perspektif jalanan kiranya mampu mengungkapkan bahwa keindahan tidaklah mengenal waktu, ruang, dan keadaan. Begitupun dengan seni, ia tidak mengenal miskin atau kaya, perempuan dan laki-laki atau tua dan muda. Serta jalanan juga mengajarkan tentang kejujuran dan militansi dalam berkarya dengan segala keterbatasan.

Dan para publik seni yang memiliki tugas untuk memberi sikap estetik atas benda seni. Seharusnya dengan cerdas dapat menilai suatu karya seni murni dengan indra, tidak terpengaruhi oleh moral. Karena sangat tidak adil jika publik seni menghayati suatu karya hanya dari sikap pengkaryanya. Karena bukan tidak mungkin, karya seni yang mulia lahir dari tangan-tangan seniman yang bermoral buruk.

Seperti kata pepatah,“Jangan menilai buku dari sampulnya”



Ads