Sastra Menangkal Radikalisme dan Terorisme -->
close
Pojok Seni
14 May 2017, 5/14/2017 12:13:00 PM WIB
Terbaru 2017-05-14T05:13:38Z
ArtikelBeritaSastra

Sastra Menangkal Radikalisme dan Terorisme

Advertisement

pojokseni.com - Sebuah dialog digelar oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Bengkulu yang merupakan ujung tombak dari Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) di Bengkulu, beberapa waktu lalu. Dialog tersebut mengusung tajuk utama pelibatan komunitas seni budaya dalam pencegahan terorisme. Salah satu fokusnya adalah sastra, yang dianggap bisa menjadi salah satu jalan untuk menangkal radikalisme dan terorisme.

Salah satu pemateri yang dihadirkan adalah Kasubdit Bidang Propaganda, Kolonel Sudjatmiko. Kepada para peserta, Sudjatmiko memaparkan sejumlah data dan fakta yang mencengangkan terkait tindak terorisme dan radikalisme yang terjadi di Indonesia. Mulai dari seorang anak berusia 18 tahun yang nekat melakukan pengeboman di salah satu gereja, atau seorang pemuda yang melakukan bom bunuh diri di hotel JW Marriot dan sejumlah aksi lain yang menimbulkan banyak kerugian, dari jiwa, harta dan kerugian materil lainnya.

Intinya, para pelaku tersebut terpedaya oleh segerombolan orang berfaham radikal. Buktinya, terdapat pada video seorang pemuda yang kemudian melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot. Ia berkata, melakukan itu agar Tuhan meridhoinya, dan dapat memberi 72 bidadari cantik di Surga. 

"Pengeboman hotel ini saya lakukan sebagai mahar untuk mendapatkan 72 bidadari," kata pemuda itu di video.

Miris benar. Tetapi, itulah yang terjadi di Indonesia. Fakta lain yang tidak kalah mencengangkan adalah lebih dari ratusan orang warga Indonesia berangkat ke Syiria dan memilih bergabung dengan ISIS. Bahkan, di lokasi tersebut terdapat camp Indonesia, yang isinya bala tentara ISIS asal Indonesia.

Mereka dipersenjatai dan dilatih perang. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh Tuhan. Apakah benar yang berangkat kesana hanya karena hidup susah di Indonesia? Tidak. Ada juga yang berangkat ke sana bersama seluruh anggota keluarga, padahal sudah bekerja sebagai direktur dengan penghasilan yang cukup tinggi.

Fakta lain, ada seorang pemuda yang masih gemar bermain game, menonton kartun dan anime dan bermain di warnet hingga usia 16 tahun. Namun dalam usia 17 tahun sudah menjadi seorang teroris yang melakukan pengeboman. Berapa waktu untuk pembaiatan, pencucian otak dan lain sebagainya? Hanya 6 bulan. Sangat singkat untuk menjadikan anak muda Indonesia menjadi seorang teroris.

Oleh karena itu, Kolonel Sujatmiko berharap kecintaan terhadap Indonesia tidak lekang. Ia berharap para budayawan, sastrawan, seniman dan berbagai komunitas seni dapat ikut andil memberi perlawanan dan bersama-sama menangkal radikalisme dan terorisme.

Meski demikian, masih belum ada konsep yang substansial dari kegiatan tersebut terkait cara sastra dan seni mengatasi radikalisme. Cara yang masuk akal, dari pemaparan para pemateri, hanyalah aktif berproses seni dan sastra, agar memiliki kesibukan dan tidak terlibat tindakan terorisme. Metode yang bias dan belum jelas ke mana muaranya.

Satu-satunya yang bisa dilakukan pasca kegiatan tersebut adalah komunitas seni terus berkumpul dan memikirkan sendiri bagaimana caranya. Berdiskusi dan sibukkan diri dengan persiapan pementasan, dengan tema melawan radikalisme. 

Bukan tidak mungkin, justru seni dan sastra nantinya akan dijadikan media bagi para militan dan simpatisan faham radikal untuk terus mengembangkan dan mencari anggota baru. Oleh karena itu, sikap sigap dari para seniman dan budayawan diperlukan untuk mencegah hal tersebut terjadi. (ai/pojokseni.com)

Ads