Teater Tradisional Indonesia (Bagian II) -->
close
Pojok Seni
08 July 2016, 7/08/2016 07:40:00 PM WIB
Terbaru 2016-07-08T12:40:28Z
ArtikelBeritateater

Teater Tradisional Indonesia (Bagian II)

Advertisement

pojokseni.com - Sebelumnya, pojokseni.com sempat membahas tentang 10 bentuk teater tradisional Indonesia. Kesempatan kali ini, pojokseni.com akan kembali membahas tentang teater tradisional Indonesia lainnya. Diantaranya, Sandur dan Mendu.  


1. Sandur

Pentas Sandur

Sebagai seni pertunjukan yang berbentuk teater tradisional, bentuk pertunjukan Sandur juga mirip dengan teater tradisional lainnya. Hanya saja, perbedaannya terletak di unsur mistis, lantaran Sandur kerap menghadirkan makhluk halus yang disebut sebagai Danyang.

Hal itu juga disebabkan asal mula Sandur yang merupakan produk kesenian yang bertumpu pada kegiatan ritual. Sandur memang dikenal sudah ada sejak zaman dahulu, ketika nenek moyang masih menganut animisme.

"Informasi terhimpun pojokseni.com, kata Sandur berasal dari san yang berarti selesai panen (isan) dan dhur yang berarti ngedhur (Cerita panjang yang tidak habis sampai pagi)."

Sandur berkembang diawal era 60-an. Namun, pasca peristiwa G30/S/PKI tahun 1965, Sandur diduga telah disusupi oleh Ormas milik PKI. Hal itu membuat Sandur mengalami kemunduran. Baru tahun 1993, muncul festival kesenian rakyat yang memunculkan kembali kesenian Sandur.

Sandur disebut berasal dari permainan anak-anak yang kemudian berkembang menjadi upacara ritual. Sandur adalah sebuah produk budaya masyarakat Bojonegoro. Kehadirannya sebagai bentuk media interaksi dalam norma kehidupan.

Sandur juga sering dimainkan pada pukul 23.00 hingga 03.00 dinihari. Pemain Sandur biasanya berjumlah 20-an orang, beberapa diantaranya pemain musik. Alat musik yang digunakan adalah Gong Bumbung dan sebuah Kendang Batangan atau Ciblon juga Panjak Hore atau pelantun tembang.


2. Mendu

Pementasan Mendu

Mendu, dari berbagai sumber disebut-sebut berkembang pesat di Asia Tenggara, mulai dari Siam, Yunan, Vietnam, Kamboja hingga Riau dan Kepulauan Riau, dengan perbedaan disetiap masing-masing daerah. Hanya saja, diwilayah luar Indonesia, kesenian ini dikenal sebagai Mendura.

Awalnya, Mendu hanya dimainkan oleh laki-laki, sebelum era tahun 70-an. Sementara itu, berdasarkan pendapat B.M Syamsudin (1987), Mendu disebut berkembang pesat di daerah Bunguran Barat, Kepulauan Riau (Kepri) sekitar tahun 1870 silam. Kemudian menyebar ke pulau-pulau lainnya di Kepri.

Salah satu ciri Mendu adalah pertunjukan tersebut dimainkan tanpa naskah. Dengan demikian, pemain harus memiliki kemampuan improvisasi yang baik juga harus hafal benar alur ceritanya. Selain itu, dialognya juga disampaikan dengan tari dan nyanyian.

"Ceritera yang dimainkan adalah Hikayat Dewa Mendu yang diangkat dari ceritera rakyat masyarakat Bunguran-Natuna. Ceritera itu terbagi dalam tujuh episode."

Pertunjukan biasa dilakukan dengan menggunakan Bahasa Melayu juga Bahasa Mendu. Bahasa Mendu biasanya dipakai oleh para tokoh utama. Seperti pertunjukan teater tradisional lainnya, Mendu juga membawa pesan moral dalam setiap pementasannya. Saat ini, Mendu kerap ditampilkan dalam berbagai Festival Kesenian atau oleh grup-grup teater setempat. (ai/pojokseni.com)

Ads