Bagaimana Sebuah Proses Bekerja? -->
close
Pojok Seni
18 July 2016, 7/18/2016 07:37:00 PM WIB
Terbaru 2016-07-18T12:37:55Z
ArtikelSeni

Bagaimana Sebuah Proses Bekerja?

Advertisement
Mutia Husna Avezahra

Penulis : Mutia Husna Avezahra*

Kata ‘berkesenian’, kedengarannya begitu megah, mengenai sebuah pencapaian yang memanen rasa candu berupa kebanggaan. Seyogyanya menjadi muda adalah menemukan dan memungut potensi yang ada dalam diri, setelahsekian perjalanan membawa pada beberapa kegagalan, sebelum titik yang dituju itu ada di genggaman.

Titik itu bukanlah sebenar-benarnya puncak dalam kehidupan. Betapapun berprestasinya diri seorang manusia, yakinlah bahwa tiada puncak yang paling puncak dalam kehidupan manusia, karena manusia tak pernah puas. Saya justru sedang tertarik untuk mengulas sebuah hal—mungkin kedengarannya sedikit klise—yakni disebut proses.

Keyakinan baru dalam kehidupan saya, selain mengamalkan pancasila dan rukun-rukun agama, adalah berproses. Satu kata itu saya pungut dari seorang tua yang mengenalkan tentang cara berpikir konsekuen dalam sebuah panggung pertunjukkan. Mungkin saya sudah pernah bersinggungan dengan cara berfikir yang demikian sebelumnya, namun barangkali luput menyadarinya. Pertama kali saya dengar kata ‘berproses’ itu dari seorang Arswendy Nasution, aktor senior dari Teater Mandiri Jakarta, sekaligus coach di Teater Komunitas (Teko) tempat saya menyalurkan kelebihan energi. Beberapa saat setelah mendengar ceramah singkat tentang berproses di atas panggung pertunjukkan, saya terilhami untuk menerapkan hukum berproses dalam kehidupan sehari-hari. Disitulah saya terinspirasi. Mungkin moment itu dapat disebut moment kreatif, semacam moment Eureka, Voila dan lain sebagainya.

Mulanya, mengapa berproses itu menarik perhatian saya? Di dunia pertunjukkan jarang disinggung-singgung soal bakat, semua hal yang terjadi di atas panggung ketika pentas berlangsung adalah karena latihan. Tentu saja latihan dengan keras, sikap mau belajar yang lapang, pantang menyerah dan sederet aksi militan lainnya. Dari situ saya percaya bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, bahwa proses yang telah dilalui tidak akan mengkhianati hasil. Berproses memang mengandung harapan yang dalam, ibarat menuju puncak tertinggi yang kau inginkan, maka kita perlu bersiap dengan berbagai petualangan: seperti menemukan duri-duri dari bebatuan yang malang melintang, berjumpa semak belukar dan rusa-rusa yang mengamuk liar, dan pastinya melalui perjalanan maha berat yang akan melumpuhkan sisi-sisi terlemah dalam diri manusia. Sejatinya tantangan demi tantangan dalam berproses tidak ubahnya mengalahkan ego yang bertengger di ubun-ubun manusia. Berproses dalam bidang apapun memang lekat mengundang perenungan, ada situasi yang membuat diri menjadi begitu kontemplatif, semacam
penghayatan yang mengaktifkan kemampuan terbesar yang pernah dimiliki seseorang.

Itulah sebabnya saya tergila-gila dengan sebuah proses. Ia ajaib tapi juga sebenarnya realistis. Ada sebuah contoh, Pak Rhenald Kasali dalam sebuah kolom di Kompas pernah menulis tentang kecerdasan metakognisi 3 wanita populer di Indonesia, yakni Mooryati Soedibyo, Dian Sastro dan Ibu Susi mentri kelautan dan perikanan. Dalam tulisan Pak Rhenald, ketiga sosok yang sedang dibahasnya itu memiliki satu kesamaan: sedang diuji oleh sebagian orang yang mengaku pandai, entah hanya karena stereotyping atau buruknya metakognisi bangsa, begitu dugaan Rhenald. Apa yang disebut kecerdasan non kognisi itu begitu dominan pada ketiga wanita itu, mereka pintar dengan perjalanan kehidupan yang telah mereka lalui, dengan segenap perjuangan, kedisiplinan dan yang paling penting adalah adanya proses penghayatan tentang apa yang sebenarnya mereka kerjakan. Dengan demikian kecerdasan non kognisi yang naik kelas namanya menjadi meta kognisi itu, tumbuh bergeliat dan memberikan fokus bukan pada hasil semata, melainkan pada bagaimana seorang diri dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan proses yang dialaminya.

Saya tidak hendak menjadikan subyek yang disebut Pak Rhenald sebagai premis dalam tulisan ini. Hanya saja, saya hanya mencoba untuk merefleksikan bagaimana suatu proses dalam kehidupan individu dapat mempengaruhi definisi kesuksesan yang terbentuk dalam aspek kognitif seseorang. Saya pun mencoba berkaca melalui panggung teater, dimana saya menyadari bagaimana sebuah proses dapat bekerja. Meskipun terkadang proses berkarya sering dianggap orang tidak punya masa depan yang cerah, tetapi saya pun yakin apa yang disebut prospek kehidupan itu tidak melulu soal materi, sebagaimana saya pribadi masih selalu mencari apa ujung dari hidup di dunia yang indah ini. (**/pojokseni.com)

*Penulis adalah seorang pegiat teater, Bergiat di Teater Komunitas (Malang)

Ads