Analisis Cerpen “Lelaki Tua dan Kaca Pembesar” Karya Lea Pamungkas -->
close
13 August 2015, 8/13/2015 10:56:00 PM WIB
Terbaru 2015-08-13T15:56:12Z
Sastra

Analisis Cerpen “Lelaki Tua dan Kaca Pembesar” Karya Lea Pamungkas

Advertisement

Analisis Cerita Pendek (Cerpen)
"Lelaki Tua dan Kaca Pembesar"
Karya Lea Pamungkas

Oleh : Adhyra Irianto & Diah Irawati S.S, M.Pd

Sinopsis Cerpen “Lelaki Tua dan Kaca Pembesar” Karya : Lea Pamungkas

pojokseni.com - Kisah dicerita ini bermula ketika “Aku” yang mulai memikirkan keadaan ayahnya. Ayahnya adalah seorang direktur umum disebuah perusahaan penerbitan. Sikap ayahnya yang keras dan mandiri, sebenarnya sebuah nilai plus untuknya. Namun, semua itu berubah ketika enyakit stroke karena kelebihan kolesterol menyerang ayahnya. Dokter, keluarga dan “aku” sendiri berkali meminta tokoh “Ayah” untuk istirahat atau dengan kata lain pensiun, tapi si “ayah” masih berkeras ingin bekerja, melanjutkan pekerjaannya. Hal ini ditambah lagi dnegan rongrongan rekan kerjanya, yang merasa tidak bias kerja bila tidak dipimpin oleh “ayah”. Kegetiran dan kesangsian “Aku” pada kondisi ayahnya mencapai puncaknya, ketika melihat buku sejarah yang diterbitkan perusahaan ayahnya ternyata kurang. Ia ingat ketika tiga puluh tahun yang lalu, ketika ada kejadian berdarah dirumahnya. Seorang pembantu rumah tangga, bernama Mak Inah, menyelamatkannya dari maut. Hebatnya, menurut si aku, kisah itu tidak termaktub dalam buku terbitan ayahnya. Padahal begitu dalam nilai historisnya. Lantas ia menyalahkan pandangan ayahnya yang mulai menurun karena penyakitnya. Ia juga menyalahkan ayahnya yang selalu menggunakan kaca pembesar untuk memeriksa ratusan naskah yang hendak diterbitkan. Ia dengan tegas menuding, ayahnya sudah berkurang tingkat ketelitiannya. Nyatanya, tidak ada yang salah pada ayahnya dan buku terbitannya. Tidak ada yang kurang dan tidak ada yang dihilangkan. Sebenarnya, kisah berdarah dan heroiknya mak Inah hingga menyelamatkan dia, hanya ilusinya saja. Semacam dongeng yang bercampur dengan kenyataan dikepalanya, hingga ia bias menuding ayahnya mengurangi kisah tragedy yang (menurut “aku”) pernah terjadi tepat didepan matanya.

Analisis Unsur Interinsik

1. Tema : Hubungan Kekeluargaan.

Secara garis besar, cerpen berjudul lelaki Tua dan Kaca Pembesar ini menceritakan hubungan baik secara nyata maupun secara psikologis antara seorang anak (aku) dengan ayahnya (lelaki tua). Ada banyak yang tidak dirasakan orang, namun dirasakan oleh anaknya sendiri. Seperti kekhawatirannya tentang keadaan kesehatan sang ayah, bahkan ia hafal segala gerak-gerik dan kebiasaan ayahnya.

2. Alur : Alur campuran

Meskipun ia menceritakan kembali masa lalu, namun alur di Cerpen ini tetap sesuai dengan perjalanan waktu. Kejadian masa lalu yang muncul berbentuk ingatan dan ilusi sang “aku” baik kenangan bersama ayahnya,maupun ilusinya yang masih berbentuk perdebatan dengan ayahnya, tentang Mak Inah.

3. Sudut Pandang : Orang Pertama

Cerita ini diambil dari sudut pandang orang pertama. Selain tokoh utamanya juga seorang “aku”, seluruh bagian cerita ini semuanya berasal dari sudut pandang dan persepsi si “aku” atau orang pertama.

4. Latar : Disebuah kota besar, tahun 90-an

Latar sebuah kota terbukti dengan adanya usaha penerbitan yang dipimpin ayah si Aku, juga beberapa pertemuan dengan kolega. Kejadian seperti itu, hanya ada di Kota yang termasuk dalam kategori maju, dimana bisnis menjadi hal yang utama, meeting dengan kolega bisnis diadakan ditempat makan. Terakhir, penulis menggambarkan tentang jalanan macet dengan mobil mewah yang berjejer. Tentu pemandangan tersebut tidak akan ditemui di Desa atau Kota yang tidak begitu maju.
“Jalanan Macet oleh mobil mewah yang berjejer menjumput murid…..”
Sedangkan untuk latar waktu, selain dinyatakan penulis sendiri bahwa cerpen itu selesai dikerjakannya pada tahun 90-an, ada kalimat yang menyatakan bahwa si “ayah” masih terbiasa berkomunikasi menggunakan pager. Pager tersebut, terakhir dilihat sebagai alat komunikasi oleh warga umum sekitar tahun 2003. Setelah itu, rata-rata diatas tahun 2000-an, warga biasa apalagi seorang “direktur perusahaan penerbitan” rasanya tidak akan mungkin lagi menggunakan pager untuk berkomunikasi.
“….. malahan untuk ke WC, ia memanggil supirnya lewat pager….”

5. Amanat : Rasa optimis, dampak negatif dari rasa pesimis

Cerpen ini mengisahkan bagaimana kuatnya seorang lelaki tua, yang pandangannya sudah mulai berkurang, sehingga menggunakan kaca pembesar untuk membantu penglihatan. Namun, karena rasa optimisnya, meskipun didera penyakit stroke yang membuatnya harus dituntun terus oleh supir pribadinya, tapi ia tetap merasa mampu untuk memimpin perusahaannya. hasilnya, sekretarisnya mengakui bahkan meskipun sakit, perusahannya tetap dapat keuntungan, malahan lebih besar.
“…Bahkan, begitu menurut karyawannya, sejak ayah pulang dari rumah sakit, usaha penerbitan itu semakin laris.”
Berlawanan dengan ayahnya yang begitu tangguh, justru tokoh “aku” begitu pesimis dan diliputi kesangsian terhadap keadaan ayahnya. Akibatnya, ia terus meminta ayahnya untuk segera beristirahat, dengan kata lain pension dari pekerjaannya. Ia seakan menyatakan bahwa ayahnya sudah tidak mampu lagi bekerja, melihat keadaan ayahnya saat ini. 
Puncak dari kesangsiannya terhadap ayahnya adalah, ia menyatakan bahwa ayahnya telah keliru dalam mencetak buku sejarah sehingga melewatkan kisah heroic Mak Inah, pembantunya saat si “aku” masih kecil. Ternyata, semua itu hanya berupa ilusi yang muncul dari rasa kesangsian dan pesimisnya.

Bila ingin mengutip sebagian atau keseluruhan isi situs ini, harap menyertakan sumber : www.pojokseni.com
Analisis Unsur Ekstrinsik

Kisah didalam cerpen “Lelaki Tua dan Kaca Pembesar” ini menyiratkan masyarakat pada umumnya. Setelah membaca cerpen ini, anggap saja ada dua jenis manusia. Satu manusia yang kuat, tabah dan selalu optimis. Tipe manusia yang pertama ini, meskipun mendapatkan ujian yang berat, rintangan hingga cobaan yang mendera namun tetap berani tegak menantang, demi tujuannya sejak awal.
Tipe manusia yang kedua adalah, yang selalu menyerah bahkan sebelum peperangan dimulai. Ia selalu pesimis, sehingga selalu menyangsikan dirinya dan orang lain. Padahal, tidak segalanya hanya bias diraih apabila seseorang itu sempurna saja. Tipe manusia pertama digambarkan dengan sosok “lelaki tua” atau “ayah” sedangkan tipe manusia kedua digambarkan dengan sosok “aku”. 

Bila disangkutkan dengan masyarakat Indonesia, maka cerpen ini mewakili seluruh era. Tetapi, kalimat terakhir sang ayah menyatakan bahwa sebagai orang muda, si “aku” ini selalu saja kusut dan tumpang tindih menindih fikirannya. Ilusinya tentang kisah heroic bahkan membuatnya berani membentak ayahnya sendiri, yang berdasarkan cerpen itu, merupakan bentakan pertama terhadap seorang direktur penerbitan itu. Kenyataannya, ia hanya terjebak dalam kusut fikirannya sendiri, yang membuat mitos, dongeng dan kenyataan bercampur baur difikirannnya.

Satu nilai edukasi yang baik, cerpen ini seakan menyindir kawula muda yang begitu panas dan berapi-api. Begitu cepat mengambil kesimpulan, tanpa memikirkan manfaat dan faedahnya. Situasi tersebut membuat rata-rata pemuda lebih mudah “galau” dibandingkan dengan orang yang sudah dewasa. Meskipun dianalisa, latar waktu tulisan ini berasal dari tahun 90-an, namun pesan moral dari tulisan ini malah cukup mengena bila dikenakan pada era terkini.
Sekilas didalam cerpen ini juga disebutkan bahwa, ketika “Ayah” terkena stroke sehingga kesusahan berjalan, keluarganya lebih menyayangkan apabila guci antik mahal bias tertendang oleh ayahnya. Tentu saja, disisi fikiran sang ayah, hal itu benar-benar menyakitkan. Dalam kondisinya seperti itu, ia harus berhati-hati dalam berjalan, agar tak merusak guci antic, seakan-akan guci tersebut lebih berharga daripada dirinya.

Sebagai bentuk perlawanan, “ayah” lebih memilih untuk dengan sengaja memecahkan guci antic tersebut.
“Tetapi saya sering melihat, Ayah dengan sengaja menendangnya hingga berantakan. Sudah tujuh guci antic habis ditabraknya.”

Nilai sosial didalam cerpen ini adlaah, bagaimanapun kita masih membutuhkan orang lain. Sebagai makhluk social, tentu manusia akan saling membutuhkan dengan mahkluk lainnya. Tokoh “Ayah” yang diceritakan begitu mandiri, sampai ia menunjukkan ekspresi marah ketika hendak mengambil Koran namun dibantu oleh “aku”. Seakan-akan, ia menyiratkan bahwa ia biasa melakukan hal yang ia mau dengan tangannya sendiri dan tidak butuh pertolongan orang lain. Namun, ia juga harus dituntun ketika berjalan. Pernah sekali ketika ia berjalan sendiri, ia justru menabrak tembok dinding rumahnya.  Kemudian, “ayah” juga akhirnya masih butuh bantuan orang lain. Bahkan untuk urusan yang sangat pribadi pun, seperti ke WC, ia akan menghubungi supir pribadinya melalui pager. Sekilas kisah ini juga menggambarkan perlunya manusia untuk saling menolong. (@pojokseni)

Follow twitter kami @pojokseni atau like page kami Pojokseni.com untuk update analisis sastra, informasi event kesenian dan lain-lain.


Ads