Legacy of Dalideu: Transfigurasi Teater Tutur -->
close
Pojok Seni
16 November 2017, 11/16/2017 04:24:00 PM WIB
Terbaru 2017-11-21T07:38:30Z
ArtikelMedia Patnerteater

Legacy of Dalideu: Transfigurasi Teater Tutur

Advertisement
Pertunjukan Teater Ekperimental "Legacy of Dalideu" karya/sutradara Din Saaduddin
Foto By Fikri

Oleh Ikhsan Satria Irianto

“Ini setelah aku berkunoung kepada anakku selama tujuh tahun, setelah itu hening! Tak ada lagi yang berkunoung di Sungai Penuh!”.

pojokseni.com - Legacy of Dalideu adalah sebuah karya teater eksperimental karya dan sutradara Saaduddin. Karya ini merupakan capaian dari sebuah riset selama lebih kurang 10 tahun tentang teater tutur yang ada di daerah Kerinci, Jambi. Pertunjukan yang berdurasi sekitar 40 menit ini dihelat pada hari rabu (15/11/2017) di Teater Arena Mursal Esten ISI Padang Panjang. Pertunjukan teater ini, mencoba menyuguhkan kisah Dalideu dari tradisi bercerita masyarakat Kerinci.Teater Eksperimental one man show ini terselenggara berkat dukungan LPPMPP ISI Padang Panjang, Sherli Novalinda Dance Laboratory, Himpunan Mahasiswa Program Studi Seni Teater dan Himpunan Mahasiswa Kerinci ISI Padang Panjang. 

Din Saaduddin atau yang akrab di sapa Didin, mencoba meramu tradisi kunoung secara empirik sebagai ide penciptaan teater eksperimentalnya. Kunoung adalah tradisi bercerita dengan gaya bertutur yang dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Kerinci. Dengan pengertian yang lebih sederhana, Kunoung adalah cerita rakyat yang didongengkan.

Selama tujuh tahun, Didin rutin melakukan aktifitas berkunoung untuk anaknya, dan inilah yang menginspirasi karya tersebut untuk dapat dinikkamti sebagai sebuah tafsir baru dalam jagat literasi- bahwa mendongeng dapat dilahirkan dan dilakukan melalui media baru –pertunjukan. Menurutnya, tradisi berkunoung tak lagi eksis di antara perputaran roda modernisasi dalam kehidupan masyarakat yang sudah kena imbas kemajuan teknologi yang sudah terdapat banyak aplikasi literasi digital. Tak hanya penikmat dari tradisi berkunoung ini yang perlahan lenyap, penceritanya pun telah sangat jarang dijumpai. Kegelisahan atas problematika realitas inilah yang menggerakkan Didin untuk menghasilkan karya teater eksperimentalnya yang bertajuk “Legacy of Dalideu”.



Dalideu sendiri adalah sebuah kisah di dalam tradisi Kunoung yang menceritakan tentang sosok hantu yang buruk rupa, ada pula yang menyebutkan Dalideu adalah sosok manusia buruk rupa, jin yang jahat, atau makhluh gaip yang memiliki sifat jahat. Berbagai tafsiran atas arti dari Dalideu inilah yang membuat Dalideu menjadi unik dan memiliki ciri khas. Berbagai macam persfektif masyarakat telah melahirkan berbagai macam presepsi pula atas makna dari Dalideu. Karena mejadi suatu identitas mitos yang hidup di tengah masyarakat Kerinci, nama Dalideu  bahkan digunakan sebagai branding dalam kegiatan ekonomi masyarakat setempat.

Intinya, cerita Dalidue lebih menitik beratkan pada tokoh antagonis yang wujud dan sifatnya ditakuti anak-anak. Namun, Didin menemukan persepsi baru dalam proses penelusurannya tentang DelideuDalideu hari ini dipersepsikan sebagai sosok apa saja, dan hidup di tengah masyarakat Kerinci. Dalideu juga tidak memiliki satu karakter tokoh yang baku, dari anak-anak hingga orang dewasa memiliki tafsiran yang berbeda-beda tentang arti dari Dalideu.

Proses ekplorasi dan ekperimentasi dari Legacy of Dalieu ini menghabiskan waktu sekitar 4 bulan. Didin yang bertindak sebagai sutradara sekaligus aktor, mencoba melakukan ekplorasi tubuh guna memperkaya vocabulary gerak. Mengadopsi konsep mendongeng, membentuk tubuh menjadi wujud binatang-binatang tertentu, menjadi landasan ekplorasi Didin dalam karya ini. Proses ekplorasi tersebut dilalui untuk memenuhi capaian laku pentas yang Didin beri nama “Tubuh Teater”.

Legacy Of Dalideu merupakan sebuah pertunjukan yang menjadi titik pertemuan pengalaman seorang ayah sebagai pendongeng dan anak, serta ruang pertemuan tubuh aktor-penari yang selama ini pernah terlibat beberapa garapan tari kontemporer bersama Sherli Novalinda di Sherlilab (sherli Novalinda Dance Laboratory). Sebagai sebuah proses awal, pertunjukan ini merupakan sebuah kerja laboratorium, karena masih dapat dipentaskan kembali dan dikuatkan kembali pada struktur garapan pertunjukan.

Teks-teks pertunjukan yang disutradarai Din Saaduddin disusun berdasarkan relasi terhadap dramaturgi yang memiliki relasi dan dapat dipahami secara alur pertunjukan, tali temali yang berupa sebuah instalasi yang dapat dilihat dari berbagai arah menyerupai jalan, sudut pegunungan, dan tali-temali pengusir burung di sawah, tali temali yang tersusun menyerupai pintu dan jendela, serta sebuah jangki, sebuah tempat dari anayaman rotan yang sering dipergunakan oleh kehidupan masyarakat Kerinci untuk beraktifitas ke ladang dan lainnya.


Dalam Legacy of Dalideu, tergambar sebuah garapan teater eksperimental non instan. Kiranya proses yang ketat begitu mendapatkan perhatian lebih oleh Didin sebagai pengkarya. Dalam konteks karya, Didin telah melakukan riset panjang mengenai Delideu sebagai gagasan karyanya. Tak hanya sekadar riset, Didin pun juga mencoba mendekati dan mengenali keragaman budaya Kerinci tersebut dengan terlibat diskusi bersama Sherli Novalinda  (Koreografer) dan Iskandar Zakaria (budayawan Kerinci-2010-2015)

Dalam konteks penyutradaraan, proses eksperimental dalam teater telah ditekuni Didin sejak tahun 1996 bersama Yusril Katil. Dan dalam konteks pemeranan, Didin yang memulai proses ekeprimental  semenjak tahun 1996 ini telah memulai melakukan kontruksi gayanya terutama dalam garapan mempergunakan gerak tubuh teater denganh mengolah pengalaman ketubuhan melalui proses dalam garapan tari kontemporer, kemudian berkolaborasi selama 14 tahun bersama Sherli Novalinda Dance Laboratory. Hal itu telah memberikan pengalaman dan pengetahuan Didin untuk memahami tubuh teater dan tubuh tari.


Saaduddin bersama Legacy of Dalideu telah menggambarkan secara ekplisit bahwa “Proses tidak akan mengkhianati hasil”. 


Tubuh sebagai Teks Teater Tutur


Sebuah inovasi ditawarkan Didin dalam proses eksperimentalnya. Ia mencoba mengkonversikan ataupun mengkombinasikan teater tutur dan Physical Theater -teater tubuh. Dalam Legacy of Dalideu, Didin mencoba bertutur dengan tubuh sebagai teksnya. Tubuh direkontruksi dan diekplorasi guna mencapai materi yang kuat untuk menggantikan kata dalam tradisi teater tutur. Hasil capaian ekplorasi tubuh dalam Legacy of Dalideu pun tidak sidikitpun mengejar irama atau pola tertentu. Namun, daya hadir tubuhlah sebagai media penyampai makna.  

Legacy of Dalideu juga tak menihilkan dialog verbal. Dalam beberapa fragment, di awal bagian, suara menggunakan bahasa kerinci dengan berbagai dialek, seperti dialek Pulau Tengah, Kumun, Keliling Danau, menyatu dalam satu resonansi. Tidak dapat dimengerti karena menggunakan bahasa Kerinci yang merupakan budaya proto melayu. Namun, dialog verbal masih dipakai guna memperkuat makna. Beberapa dialog yang dilantangkan berulang-ulang, menggambarkan bahwa pada penggarapan eksperimentalnya, didin tak hanya memilih tubuh sebagai media penyampaian maknanya, namun juga memilih kata yang merupakan ciri khas dari tradisi bercerita dengan gaya bertutur.


Dengan tubuh yang ekspresif, dan menggunakan metode trance dalam beberapa bagian geraknya, Legacy of Dalideu mencoba menyuguhkan capaian pentas yang berbeda. Dengan menihilkan pemahaman tunggal, ekpresi yang lahir sebagai laku melahirkan bentuk yang multitafsir. Sehingga Legacy of Dalideu menyuguhkan makna yang berbeda-beda, tergantung pada persepsi dan perspeftif penontonnya. Seperti halnya Dalideu sendiri yang tak memiliki tafsiran tunggal dan mutlak. (isi/pojokseni.com)

Ads