Kepongahan Intelektual dan Krisis Etika Sastra: Sebuah Cermin dari Luka Kebudayaan -->
close
Pojok Seni
21 October 2025, 10/21/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-10-21T01:00:00Z
Artikel

Kepongahan Intelektual dan Krisis Etika Sastra: Sebuah Cermin dari Luka Kebudayaan

Advertisement



Oleh: Zackir L Makmur*


Tanggal 18 Oktober 2025, di grup WhatsApp Kampung Seni Jakarta (sebuah wadah silaturahmi yang terdiri dari para seniman, sastrawan dan budayawan, yang sudah senior maupun yang junior), justru malah terjadi diskusi sastra yang begitu pongah. Di mana AN yang mengirimkan tulisan kritik sastra membahas Puisi Mirza Rahcmansyah, yang saya baca cukup bagus, namun ada “Sang Kritikus” begitu pongah dengan mempertanyanyakan: “Yang dibahas resensi atau puisi?” 

Dengan begitu bijaksananya AN menjawab: “Tolong ajari Masmu ini Adindaku, agar lebih menjurus ke arah benar, adinda.” Lantas “Sang Kritikus” itu begitu congkak menjawab: “Baca buku lengkap saya,” sambil menyertakan foto sampul buku berjudul “Menjadi Satrawan Serbabisa.” Kepongahan dalam dunia sastra, juga seni, yang terjangkit oleh sejumlah subyek karena demikian punya mental feodalisme. Seakan-seakan mereka yang punya hak memberikan ulasan kritik seni, maka selain mereka tentu saja dinilai ekstremis. 

Padahal sastra, seperti pernah dikatakan Rabindranath Tagore, bukan sekadar “permainan kata,” melainkan “napas bangsa yang mencari makna keberadaannya.” Maka dunia sastra tidak dapat berdiri di atas kesombongan, karena ia berakar pada empati, pada kemampuan manusia untuk memahami batin orang lain. Dalam ruang yang seharusnya menjadi perjamuan makna, justru muncul semangat dominasi yang menindas tafsir berbeda. 

Ironinya, para pelaku seni yang seharusnya menjadi penjaga kebebasan makna malah terjebak dalam semangat penguasaan. Di sinilah tragedi sejati kebudayaan terjadi: ketika pengetahuan kehilangan kelembutan, dan kritik kehilangan kasih sayang. Sebab di balik setiap kata yang ditulis dan setiap puisi yang ditafsirkan, yang seharusnya memimpin bukan intelektualitas, melainkan etikualitas.

Kepongahan “Sang Kritikus” menjadi cermin dari penyakit lama yang belum sembuh: feodalisme simbolik dalam dunia intelektual. Mereka yang memiliki buku, gelar, atau reputasi sering kali merasa memiliki hak untuk menilai dan menentukan standar “kebenaran estetis.” Fenomena ini, pernah dijelaskan Pierre Bourdieu, merupakan hasil dari perebutan modal simbolik, di mana pengetahuan berubah menjadi alat dominasi sosial. Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, bentuk-bentuk kekuasaan semacam ini masih berulang dalam berbagai ruang diskusi, baik di panggung akademik maupun media sosial. 

Padahal, kritik sejati bukanlah alat untuk meruntuhkan, melainkan jembatan untuk memahami. Dalam tradisi pemikiran Paulo Freire, dialog yang sehat hanya dapat lahir dari kerendahan hati, bukan dari superioritas intelektual. Dunia sastra seharusnya menjadi ruang kesadaran kritis di mana semua orang, baik senior maupun muda, dapat belajar bersama dalam suasana egaliter. 

Namun di tengah derasnya arus media digital, ruang itu kerap berubah menjadi gelanggang ego, tempat di mana para penulis saling menegakkan otoritas simbolik. Dalam situasi ini, kebijaksanaan AN yang memilih menanggapi dengan kelembutan justru menjadi bentuk perlawanan sunyi terhadap budaya pongah yang kian mengeras.

Sastra Indonesia membutuhkan pembaruan moral, bukan hanya pembaruan gaya. Dunia kritik harus kembali menemukan kesantunan dan empati sebagai dasar etikanya. Bila seni adalah cermin kehidupan, maka para pelakunya harus belajar memantulkan cahaya, bukan bayangan diri. Seperti diingatkan Goenawan Mohamad, “Menulis adalah cara lain untuk berdoa.” Maka berdialog dalam sastra pun harus menjadi cara untuk memuliakan kemanusiaan. Dalam dunia yang haus pengakuan, rendah hati adalah bentuk keberanian tertinggi. Sebab di atas segala teori dan penghargaan, sastra tetaplah rumah bagi jiwa yang ingin mengerti, bukan bagi suara yang ingin menguasai.

Feodalisme Simbolik


Kepongahan dalam dunia sastra bukanlah fenomena baru. Sejak masa Balai Pustaka hingga polemik klasik antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, sejarah kesusastraan Indonesia senantiasa diwarnai oleh ketegangan antara dua kutub: mereka yang mengklaim diri sebagai “penentu selera” dan mereka yang memperjuangkan kebebasan makna. Di balik perdebatan itu, selalu tersembunyi satu motif abadi, hasrat untuk diakui. Kini, bentuk feodalisme lama yang berlandaskan darah biru atau garis keturunan telah menjelma menjadi feodalisme simbolik, sistem baru yang menjadikan legitimasi akademis, reputasi, dan jejaring kuasa budaya sebagai alat untuk menentukan siapa yang layak bicara dan siapa yang harus diam.

Pierre Bourdieu, dalam Distinction (1979), menyingkap wajah sejati dunia kebudayaan sebagai arena perebutan modal simbolik. Dalam ruang itu, para pelaku bersaing bukan hanya untuk mencipta karya, tetapi untuk memperoleh pengakuan, prestise, dan otoritas. Dunia sastra Indonesia, meskipun sering mengaku berpihak pada kejujuran artistik, ternyata tak luput dari hukum sosial ini. 

Di balik setiap kritik, seminar, atau antologi, kerap tersembunyi kontestasi diam-diam tentang siapa yang paling pantas menjadi penafsir sah atas makna. Ketika seseorang merasa telah mengumpulkan cukup modal simbolik—entah berupa penghargaan, publikasi, atau kedekatan dengan lingkar elite budaya—ia mulai menempatkan dirinya sebagai penjaga gerbang estetika, seolah hanya suaranya yang patut didengar. Nietzsche sudah mengingatkan dalam Thus Spoke Zarathustra: “Waspadalah terhadap mereka yang mencari kekuasaan dengan dalih ilmu. 

Peristiwa di grup Kampung Seni Jakarta beberapa waktu lalu menjadi miniatur dari drama sosial ini. “Sang Kritikus” yang menyoal kelayakan seseorang berbicara tanpa “menulis buku lengkap” menunjukkan bagaimana pengetahuan bisa berubah menjadi senjata untuk menegakkan hierarki. Dalam pandangannya, hak untuk menilai adalah hak eksklusif milik mereka yang telah diakui secara formal. Padahal, sebagaimana diungkapkan Pramoedya Ananta Toer, “Setiap orang bisa menjadi guru bagi yang lain jika ia mau jujur dalam pengalaman.” Di situlah letak kemuliaan sejati intelektualitas: bukan pada gelar, bukan pada jumlah karya, melainkan pada kesediaan untuk mendengar dengan hati terbuka.

Tetapi sesungguhnya krisis otoritas intelektual dimulai ketika simbol menggantikan substansi, ketika reputasi menjadi lebih penting daripada perenungan, dan ketika penghargaan lebih diutamakan daripada keberanian bertanya. Dalam situasi seperti itu, dunia sastra kehilangan daya reflektifnya. Ia bukan lagi ruang pencarian makna, melainkan pasar gengsi tempat nama dan prestise dipertukarkan layaknya komoditas.  Dan kini, perjuangan bergeser: sepertinya bukan lagi melawan kekuasaan politik, melainkan melawan kesombongan intelektual yang membuat sastra lupa pada hakikatnya sendiri, sebagai ruang empati, sebagai rumah bagi keberagaman suara.

Sastra yang sejati selalu berangkat dari kesadaran bahwa makna tidak dimonopoli siapa pun. Ia tumbuh dari kerendahan hati untuk memahami dunia dari mata orang lain. Ketika pengetahuan berubah menjadi kekuasaan, dan kritik kehilangan kebijaksanaan, maka sastra hanya akan menjadi gema kosong dalam ruang yang megah namun sunyi. Tugas kita bukan lagi sekadar menulis, tetapi memulihkan martabat berpikir; bukan sekadar menafsir, tetapi menghidupkan kembali roh kejujuran dan cinta dalam bahasa. 

Kritik dan Kerendahan Hati


Kritik sejati lahir dari cinta terhadap karya, bukan dari ambisi untuk menaklukkan penulisnya. Dalam cinta, kritik menemukan wajahnya yang paling manusiawi, ia menuntun, bukan menghakimi; ia menyingkap, bukan menyingkirkan. Namun ketika kritik kehilangan cinta dan kerendahan hati, ia menjelma menjadi instrumen kekuasaan, menebar luka di tempat seharusnya tumbuh pemahaman. Tanpa kerendahan hati, tidak ada dialog, hanya monolog yang bising dan mematikan. Di sinilah bahaya sesungguhnya dari kritik yang pongah: ia membunuh jiwa kebudayaan dengan cara yang sunyi, tanpa darah, tapi mengeringkan empati.

Sejarah sastra Indonesia sebenarnya telah memberi banyak teladan tentang etika intelektual yang berakar pada kelembutan. Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir, selalu menulis dengan nada perenungan, bukan penghakiman. Ia mendekati teks bukan sebagai hakim, melainkan sebagai penyelam yang perlahan turun ke dasar makna, mencari kilau mutiara di antara lumpur tafsir. Begitu pula Sapardi Djoko Damono yang pernah berkata, “Puisi bukan untuk dihakimi, melainkan untuk dimasuki.” Dari keduanya kita belajar bahwa kritik yang beretika adalah bentuk kasih sayang intelektual, upaya memahami karya sebagai perpanjangan dari pengalaman batin manusia, bukan sekadar struktur yang harus dipreteli oleh teori.

Namun, di banyak forum sastra kontemporer, etos ini kian pudar. Ruang diskusi, baik di media sosial maupun di panggung konvensional, sering kali berubah menjadi arena unjuk kuasa intelektual. Di sana, keindahan dialog digantikan oleh kompetisi kutipan; seolah-olah kedalaman berpikir diukur dari seberapa cepat seseorang menyebut nama Derrida, Barthes, atau Foucault. Padahal, kritik yang sejati bukanlah peluru teori, melainkan percakapan kreatif antara dua kesadaran: pencipta dan pembaca. Ia membutuhkan imajinasi, empati, dan keterbukaan untuk menerima ambiguitas yang menjadi denyut kehidupan sastra itu sendiri.

Krisis etika dialogis yang kini melanda dunia sastra sebenarnya merupakan refleksi dari krisis spiritual yang lebih luas dalam kebudayaan kita. Masyarakat modern terlalu sibuk berbicara hingga lupa mendengar. Padahal, dalam kearifan Jawa, ada tiga tahapan pengetahuan sejati: ngerti, ngrasa, lan nglakoni. Mengetahui, merasakan, lalu menghayati. “Ngrasa”—merasakan—selalu mendahului “ngomong.” Tanpa rasa, pengetahuan menjadi gersang, dan kritik kehilangan arah. Dalam kehilangan rasa inilah, lahir generasi kritikus yang cerewet secara intelektual, namun miskin secara spiritual; banyak bicara tentang makna, tetapi jarang menyentuh maknanya sendiri.

Sastra akan kehilangan rohnya bila kehilangan kerendahan hati. Ia hidup justru karena ruang dialog yang lembut dan penuh kasih, tempat setiap kata mendapat kesempatan untuk bernapas. Maka tugas kita, baik sebagai pembaca, penulis, maupun kritikus, adalah memulihkan keheningan yang bijaksana itu—keheningan yang memungkinkan pemahaman tumbuh tanpa perlu kekerasan argumentasi. 

Kritik harus kembali menjadi jembatan, bukan tembok; menjadi percakapan yang memuliakan perbedaan, bukan menegakkan hierarki. Sebab, sebagaimana setiap puisi lahir dari cinta terhadap kehidupan, demikian pula setiap kritik sejati seharusnya lahir dari cinta terhadap sesama pencari makna.

Menyembuhkan Luka Sastra

 
Peristiwa kecil di grup WhatsApp Kampung Seni Jakarta, pada 18 Oktober 2025 itu seharusnya tidak dilihat sebagai konflik pribadi antara dua individu, melainkan sebagai panggilan moral bagi seluruh dunia sastra Indonesia. Ia adalah cermin kecil dari kegelisahan besar: bagaimana pengetahuan sering terlepas dari kebijaksanaan, dan bagaimana kritik sering kehilangan kasih sayangnya. 

Tanpa kasih sayang, pengetahuan hanya menjadi batu yang dilemparkan ke arah sesama; tanpa kebijaksanaan, kritik berubah menjadi senjata yang melukai, bukan menyembuhkan. Dunia sastra, yang seharusnya menjadi taman perjumpaan jiwa, perlahan menjelma menjadi arena perebutan otoritas dan gengsi. Maka tugas kita adalah menata ulang relasi antara intelektualitas dan kemanusiaan, antara ketajaman berpikir dan kelembutan hati.

Banyak sastrawan besar dunia telah menegaskan bahwa kerendahan hati adalah syarat pertama bagi kreativitas. Maka kritik sastra pun semestinya berangkat dari kedalaman semacam itu—dari kesediaan untuk memahami, bukan dari hasrat menaklukkan. Kahlil Gibran begitu puitis memberikan petuah: “Anda berbicara ketika Anda tidak lagi berdamai dengan pikiran Anda.” Maka kritik yang lahir dari kegelisahan ego, bukan dari kedamaian batin, akan kehilangan roh spiritualnya. Ia mungkin terdengar cerdas, tetapi hampa dari kearifan. Ia menebar bunyi, bukan makna. 

Dunia sastra kita dewasa ini, sayangnya, masih memelihara sisa-sisa feodalisme simbolik, di mana suara-suara “beda” dianggap belum pantas, dan keberanian dianggap kesombongan. Bila kebudayaan ingin maju, maka ia harus membuka pintu bagi kebaruan tanpa ketakutan, memberi ruang bagi suara yang masih “terbuang” agar ikut menulis peta makna bangsa. Sebab sastra sejati lahir dari keberagaman pengalaman, dari dialog antara yang tua dan yang muda, antara yang mapan dan yang baru tumbuh.

Sastra yang luhur adalah sastra yang mendengarkan. Ia tidak datang untuk menaklukkan, melainkan untuk menghidupkan. Kehidupan sejati adalah pertemuan, dan sastra adalah pertemuan tertinggi antara jiwa manusia. Karena itu, tugas seorang penulis, pembaca, maupun kritikus adalah menjaga agar pertemuan itu tetap hangat, terbuka, dan beradab. Jalaluddin Rumi mengingatkan: "Angkat kata-katamu, bukan suaramu. Hujanlah yang menumbuhkan bunga, bukan guntur."
 Biarlah dunia sastra kita tumbuh dari hujan kata yang menumbuhkan pengertian, bukan dari petir ego yang menimbulkan ketakutan. Peristiwa 18 Oktober 2025 itu hanyalah setetes kecil dalam sejarah panjang kebudayaan kita, namun dari tetesan kecil itulah semoga lahir kesadaran besar, bahwa dalam setiap dialog, yang paling berharga bukan kemenangan argumen, melainkan kemenangan hati.***

* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads