Advertisement
![]() |
| Adhyra Irianto |
Oleh: Adhyra Irianto
Dalam kelas menulis naskah drama yang digelar beberapa waktu lalu, saya membahas tentang inciting incident, yang saya terjemahkan menjadi "insiden pemicu". Saya bilang, menulis drama berarti menulis cerita dengan konflik. Dan konflik tidak pernah terjadi dengan sekonyong-konyong. Artinya, Anda butuh pemicu agar konflik tersebut terjadi.
Mari kita lihat lagi piramida Freytag yang paling sering digunakan menjadi struktur naskah drama berikut ini.
![]() |
| Piramida Freytag |
Bisa dilihat, setelah eksposisi, maka perlahan alurnya naik yang disebut dengan rising action (aksi naik). Terus naik sampai akhirnya mencapai klimaks (puncak). Nah, satu hal yang paling sering dilupakan adalah, lihat titik terakhir sebelum akhirnya rising action. Yah, saya lingkari merah di bagian bawah. Itu adalah insiden pemicu.
![]() |
| Inciting Incident satu titik penting sebelum klimaks |
Insiden pemicu adalah jawaban utama dari pertanyaan "mengapa" dalam sebuah drama. Kenapa Romeo dan Juliet akhirnya tak bisa bersatu? Jawabannya adalah karena hubungan keduanya tidak disetujui. Mengapa hubungan keduanya tidak disetujui? Jawabannya adalah karena hubungan yang buruk dari kedua keluarga. Dan itu adalah inciting incident-nya.
Dalam bagian eksposisi, penulis drama akan memaparkan siapa saja tokohnya, latar belakang, situasi terberi (given circumstances) dan lain-lain. Dengan satu insiden pemicu, maka alur dramatik akan perlahan naik.
Misalnya, saya contohkan Anda menulis adegan yang sama berulang-ulang.
Contoh cerita:
Si Badu datang belanja ke warung sebelah rumahnya untuk membeli mie instan. Besoknya, ia pergi lagi ke warung sebelah rumahnya untuk membeli mie instan.
Bayangkan, Anda menulis adegan yang sama berulang-ulang, sampai akhirnya Anda menuliskan satu insiden pemicu.
Katakanlah, untuk ilustrasi adegan di atas, insiden pemicunya adalah, di suatu hari, Badu datang dan anak pemilik warung yang melayaninya. Anak pemilik warung ini adalah seorang gadis cantik, yang selama ini kuliah di luar kota dan jarang pulang. Badu langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Maka, satu kejadian pemicu ini mengubah alur cerita menjadi lebih naik.
Yah, adegan berikutnya, si Badu datang ke warung sebelah rumahnya membeli mie instan dan mulai bertanya pada pemilik warung tentang anak gadisnya. Di sini, tensi dramatik sudah mulai berbeda, bukan?
Alur A
Anda bisa saja membuat si pemilik warung tidak setuju Badu mendekati anaknya. Hingga karakter si pemilik warung perlahan bergerak, dari yang tadinya ramah, mulai menjadi judes dan cerewet, apalagi kalau Badu berhutang. Sampai akhirnya, Badu mulai kesal dengan perubahan sikap pemilik warung, dan konflik antara keduanya terjadi. Mereka ribut, karena Badu kembali berhutang sedangkan hutang lamanya masih belum dibayarkan.
Alur B
Bayangkan bila Anda memilih pemilik warung setuju dengan hubungan tersebut. Maka, pemilik warung mulai perlahan menganggap Badu sebagai anaknya, sering memberikan potongan harga, bahkan mengajak makan di rumah. Namun, si gadis itu sudah punya kekasih dan akhirnya puncak konfliknya adalah keributan antara gadis itu dengan pasangannya, juga dengan ibunya sendiri.
Anda bisa melihat bahwa konflik tersebut tercapai dengan memberikan satu titik di mana aksi mulai meningkat. Dan titik tersebut adalah inciting incident. Karena itu, di judul tulisan ini, saya menulis bahwa bagian inciting incident adalah perangkat plot yang penting, dan tidak boleh tidak ada dalam drama yang Anda tulis.
Tidak semua cerita mengikuti piramida Freytag, tapi percayalah, semua cerita pasti memiliki inciting incident.
Apa yang Membedakan Insiden Utama dengan Insiden Pemicu?
Karena drama membutuhkan bumbu yang disebut "konflik" maka sudah dipastikan bahwa drama yang ditulis akan memiliki insiden. Hanya saja, mana yang dikategorikan sebagai insiden utama (key incident) dengan mana yang insiden pemicu (inciting incident)?
Adegan per adegan dalam drama semuanya saling terkait seperti rantai. Dan insiden pemicu adalah pemicu dari insiden utama. Bahkan, mungkin terlihat seperti insiden pemicu lebih "konflik" dari insiden utama.
Mari kita mulai dengan contoh cerita. Si Badu (ah, si Badu lagi...) difitnah dan ditangkap polisi, lalu dipenjarakan. Di dalam penjara, Badu terus memikirkan cara untuk membalas dendam pada orang-orang yang memfitnah dirinya. Maka, setelah keluar dari penjara, Badu mulai membalas satu per satu orang-orang yang memfitnahnya. Siapapun yang memfitnahnya, semuanya dijebak dan difitnah oleh Badu, hingga satu per satu juga dipenjara dan hancur hidupnya.
Baik. Kita melihat tiga poin utama yang mirip dengan "insiden".
- Pertama, Badu difitnah dan ditangkap polisi, kemudian dipenjarakan.
- Kedua, Badu merencanakan untuk membalas dendam pada orang-orang yang memfitnahnya.
- Ketiga, Badu membalas dendam.
Mana yang merupakan insiden pemicu, dan mana yang insiden utama? Mari kita mulai dengan pertanyaan "mengapa". Mengapa Badu menghabiskan semua waktu dan uangnya, untuk membalas dendam?
Apakah jawabannya karena Badu difitnah dan dipenjara? Oh, ternyata bukan. Protagonis kita melakukannya karena "sudah merencanakannya dengan matang". Keputusan Badu untuk membalas dendam adalah inciting incident dalam cerita ini.
Badu membalas dendam adalah key incident, yang menjadi puncak konflik.
Badu difitnah dan ditangkap adalah bagian "situasi terberi" yang digunakan untuk menjelaskan "siapa Badu". Berarti, bagian tersebut adalah bagian eksposisi.
Perang Dunia Pertama misalnya, bila Anda tulis menjadi drama, maka insiden pemicunya adalah pembunuhan Franz Ferdinand. Sedangkan pertempuran antar negara adalah insiden utama.
Nah, Anda bisa mulai dengan menganalisis drama yang Anda tonton, novel yang Anda baca, atau teater yang Anda tonton. Mana insiden pemicunya?
Terpenting, insiden pemicu menjadi jawaban utama untuk seseorang mendefinisikan suatu cerita. Dalam naskah A, mereka menjadi bertarung karena B. Nah, B ini adalah inciting incident.
Apa yang terjadi, bila seorang penulis mengabaikan inciting incident dalam ceritanya? Maka, yang terjadi adalah "jump" alias lompatan cerita yang berpotensi tidak kuat motifnya. Seseorang yang marah tiba-tiba meledak-ledak tanpa alasan jelas. Atau, pasangan yang tidak direstui juga karena alasan yang tidak kuat.
Maka, pertama temukan premis yang paling ingin Anda sampaikan. Kedua, dari premis tersebut, bangun satu "log line" cerita. Nah, saat sedang mulai menulis, pikirkan inciting incident, yang akan membuat perjalanan dari eksposisi menuju klimaks (melalui jalur yang kita sebut sebagai rising action) bisa berjalan dengan mulus.







