Advertisement
Oleh: Adhyra Irianto
Ada satu konten yang lewat di lini masa Instagram saya, dan jujur saja ini cukup menggelitik untuk ditanggapi. Pertanyaannya sederhana yang muncul adalah: apa guna teori bagi seorang seniman?
Mari kita urai pelan-pelan.
Secara umum, teori bisa dibagi menjadi lima jenis besar berdasarkan karakteristik dan fungsinya.
Pertama, teori yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau membantu pemahaman atas suatu fenomena. Jenis teori ini banyak dijumpai dalam ilmu sosial. Dalam seni, bentuknya bisa berupa piramida Freytag atau struktur dramatik lainnya yang tujuannya memberi gambaran bagaimana sebuah peristiwa berlangsung dan berkembang.
Kedua, teori yang menjawab pertanyaan “bagaimana”. Teori-teori dalam sains biasanya masuk ke kategori ini. Dalam dunia seni, contohnya bisa ditemukan pada teater realisme yang berusaha menjawab bagaimana menghadirkan realitas di atas panggung.
Ketiga, teori yang berfungsi sebagai panduan. Dalam teater, teori akting seperti Stanislavsky, Brecht, atau Grotowski digunakan untuk membimbing proses penciptaan seni peran. Teori jenis ini yang paling sering digunakan langsung oleh seniman dalam proses kreatifnya.
Keempat, teori yang berfungsi untuk memprediksi atau memperkirakan hasil dari suatu tindakan. Dalam konteks seni pertunjukan, hal ini bisa berupa teori komunikasi, manajemen pertunjukan, hingga strategi pemasaran.
Kelima, teori yang berfungsi untuk mengujikan atau menyangkal sesuatu. Ia hadir sebagai alat verifikasi, atau bahkan sebagai cara untuk menggugat teori lain yang sudah ada.
Apa pun bentuknya, fungsi utama teori tetap sama: menjadi bahasa universal yang memungkinkan manusia berpikir dan bekerja secara sistematis, membandingkan gagasan, serta berdialog dalam kerangka yang bisa dipahami bersama.
Kembali ke topik awal: teori seperti apa yang digunakan oleh seniman? Kemungkinan besar, teori yang mereka pakai adalah teori jenis panduan. Sementara teori lainnya lebih sering digunakan oleh kurator, kritikus, atau akademisi yang menelaah karya tersebut.
Meski begitu, banyak pula seniman yang secara sadar memilih untuk menghindari panduan itu, dengan alasan eksplorasi dan eksperimen. Pada titik ini, muncullah peran pengkaji seni yang memakai jenis teori lain untuk membaca atau menjelaskan karya tersebut.
Teater absurd, misalnya. Baik dari segi metode akting, alur cerita, maupun struktur dramaturginya, ia justru menentang teori-teori panduan yang mapan. Hingga akhirnya, muncul Martin Esslin yang mengamati gerakan “pelawan teori” ini dan merumuskannya menjadi teori baru: Theatre of the Absurd.
Begitulah, teori dalam seni tidak selalu untuk diikuti, tapi juga untuk dilawan, bahkan dilampaui. Dan, di antara keteraturan dan pembangkangan terhadap teori inilah kesenian masih bisa terus berdenyut, berkembang, dan tetap hidup sampai hari ini..





