Kacang Kontemporer dan Kerinduan Pada Tata Dunia Agraris -->
close
Pojok Seni
01 September 2025, 9/01/2025 03:04:00 AM WIB
Terbaru 2025-08-31T20:04:41Z
SeniUlasan

Kacang Kontemporer dan Kerinduan Pada Tata Dunia Agraris

Advertisement
Kacang Kontemporer, karya Jimmy Kartolo dipamerkan di Pekan Nan Tumpah 2025


Oleh: Adhyra Irianto*


PojokSeni/Sumatera Barat - Di ruang pameran karya instalasi Pekan Nan Tumpah 2025, sebuah peti kemas kayu yang biasa digunakan untuk packaging barang ekspor-impor, ditempatkan di tengah ruang pameran. Bersandar pada peti kemas itu, satu karung goni besar berisi kacang kulit warna-warni. Kacang kulit itu juga ada di bagian atas peti kemas tersebut dalam kondisi terbungkus plastik.


Untuk menegaskan bahwa instalasi tersebut ditujukan untuk menggambarkan "jualan kacang", diletakkan papan harga, sebuah lampu teplok, dan speaker kecil yang mengumumkan harga dan barang yang sedang dijajakan. Inilah karya dari seniman bernama Jimmy Kartolo, seorang seniman muda asal Sumatera Barat yang cukup unik, dan menjadi daya tarik di ruang pameran dalam Pekan Nan Tumpah 2025 tersebut.


Kacang, menurut Jimmy, adalah simbol proletar yang paling bawah, sebuah simbol barang yang paling murah. Sampai semua yang murah, akan dianalogikan sebagai "kacang". Seorang yang sangat kaya, sehingga bisa membeli mobil dalam jumlah banyak, akan disebut "membeli mobil seperti membeli kacang". Namun, di balik kecenderungan untuk menyimbolkan "murah", ada deretan proses yang sangat panjang dan melelahkan dari para petani kacang.


Benih kacang mesti dipilih mana yang paling berkualitas, lalu tanah yang menjadi media tanam, mesti digemburkan berulang, dipastikan kesuburannya, disiangi secara rutin gulma dan ilalangnya, lalu diberi pupuk dan disiram secara rutin pula. Kacang baru bisa dipanen dalam waktu tiga bulan, dan belum tentu pula berhasil panennya. Kalaupun berhasil panen, belum tentu pula harga jualnya akan memberi keuntungan bagi para petani kacang. Tahun 2024 misalnya, setelah cukup beruntung bisa menjual seharga Rp26 ribu per kilogram pada awal tahun, petani kacang mesti gigit jari karena harganya terjun bebas menjadi Rp14 ribu per kilogram di bulan-bulan berikutnya.


Kerinduan Akan Budaya Agrarian



Terlepas murahnya harga kacang yang menjadikannya sebagai simbol "remeh-temeh", karya bertajuk "Kacang Kontemporer" ini memadukan simbol-simbol "globalisasi" yang langsung terikat dengan sistem kapitalis dunia, dengan simbol kultural yang erat dengan budaya lokal. 


Peti kemas kayu menjadi simbol ekspor-impor, hal yang sangat terkait dengan jantung sistem ekonomi kapitalis dunia. Produk impor, juga produk kualitas ekspor, adalah warna bagi budaya urban. Biji kopi yang ada di kafe-kafe kelas atas, item busana bermerek, sampai pop culture dan budaya yang didominasi luar. Begitu pula speaker bluetooth yang semakin memperkuat warna budaya urban dalam karya ini.


Lalu, bagaimana kacang kulit sangrai bisa mengintervensi ruang tersebut? Jimmy Kartolo mewarnai setiap kacangnya, berwarna-warni, seperti kerlap-kerlip lampu tumbler atau string lights yang saat ini tidak hanya ada di kafe-kafe, tapi sudah menjadi hiasan kamar tidur. Ditambah dengan lampu teplok yang menjadi ciri khas lapak penjual kacang tanah, didesain untuk mewakili budaya agrarian.


Kacang kontemporer lalu hadir sebagai identitas hibrid, apa yang disebut Stuart Hall sebagai cara negosiasi pada globalisasi yang didominasi Barat. Karena sejatinya, seseorang yang sekarang tinggal di "kota", akan selalu membutuhkan pelepasan dari rasa keterasingan. Kehidupan kota dan urban terasa sangat cepat dan individual, menjadikan orang-orang yang biasa hidup dalam tata dunia agraris mulai merasakan ada "nilai" yang hilang.


Kehilangan (atau setidaknya dislokasi) nilai ini ditandai dengan pergeseran tradisi (kosmologi) dari yang biasanya tertata, teratur, bersama-sama, dan harmonis ala budaya agrarian menjadi tidak teratur, tidak pasti, individual, dan berkeping-keping ala budaya urban. Maka, orang-orang yang sejak lama terbiasa dengan budaya agrarian, ketika bergeser ke kota, maka bergeser pula kosmologinya. Karena ini, perasaan keterasingan itu perlahan muncul, hingga akhirnya menekan diri.


Jimmy Kartolo membawa kerinduan itu, selayaknya seorang yang mudik dari kota ketika lebaran. Bila seni adalah sebuah pelepasan, selayaknya desa sebagai tempat relaksasi, maka Kacang Kontemporer adalah cara Jimmy kembali ke ruang harmonis di desa, dengan membawa warna-warni kota, serta semua atribut urban yang sudah terlanjur melekat.


*Adhyra Irianto bertugas sebagai Pengamat dalam gelaran Pekan Nan Tumpah 2025. Tulisan berbentuk ulasan karya ini terdiri dari beberapa bagian yang akan diterbitkan secara berkala di PojokSeni.com 

Ads