Memandang dari ‘Tempat yang Jauh dan Gelap’ tentang “Rindu Mamak” -->
close
Pojok Seni
12 July 2025, 7/12/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-07-12T01:00:00Z
SeniUlasan

Memandang dari ‘Tempat yang Jauh dan Gelap’ tentang “Rindu Mamak”

Advertisement



Oleh Hoirul Hafifi[1]


Sebenarnya, saya bermaksud merilis siaran pers; untuk karya Muhamad Iqbal, seorang koreografer asal Minangkabau, dalam tugas akhirnya, Penciptaan Seni, Program Studi Seni Program Magister; pada Kamis, 17 Juli 2025, pukul 07.00 WIB, di Sungai Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah 57791. Namun, setelah membaca tiga paragraf dalam setengah halaman—saya mengubah rencana menjadi pengantar karya ini yang sebenarnya tidak memiliki ‘hak’ untuk dilakukan, di luar inisiatif saya yang ‘berlebihan’ untuk melatih kemampuan dan keterampilan menulis. Tanpa harus berpikir ulang apa pun hasilnya, itu bukanlah hal yang krusial, melainkan bagaimana saya hanya ingin menyebarluaskan karya ini ‘sejauh-jauhnya’ bahwasanya sudah dilangsungkan sebuah peristiwa karya di Sungai Karangpandan.


Selain itu, saya sedikit tahu tentang perjalanan proses karya ini dari arah yang ‘jauh dan gelap’, tempat saya memandangnya. Sebab sebagian dari mereka, saya cukup tahu tentang rekan-rekan yang terlibat di dalamnya, termasuk Iqbal yang sering saya temui setiap kali saya ‘nyusu/ngopi/ngeteh’ di Bedjono, tempat saya nongkrong akhir-akhir ini bersama M. Safrizal, biasa disapa DekJal—yang mana dalam karya ini bertindak sebagai rekan ‘ngobrol’ Iqbal. Akhirnya, inilah modal awal untuk mempersiapkan diri membaca karya Iqbal yang dibimbing oleh Dr. Dr. Eko Supriyanto, S.Sn., M.F.A., yang biasa disapa MasE, penguji Dr. Drs. Budi Setyono, M.Si (ketua), dan penguji lainnya; Dr. Silvester Pamardi, S.Kar., M.Hum., untuk masuk ke dalam perasaan Iqbal tentang kerinduan terhadap sosok Paman atau Mamak, kemudian ia menemukan gasiang tingkurak, saluang sirompak, dan batuang gilo sebagai pengobatan alternatif untuk kerinduan pada masyarakat Minangkabau di masa lalu, membuat saya ingin tahu lebih jauh dengan ‘temuan’ Iqbal.


Menurut Wulandari, gasiang tangkurak adalah salah satu bentuk ilmu hitam yang digunakan untuk mantra yang dipercayai masyarakat Minangkabau memiliki energi kuat, tidak hanya memengaruhi jiwa seseorang tetapi juga kehidupan korbannya. Gasiang tangkurak berasal dari tengkorak manusia yang dibuat oleh seorang dukun sebagai medium, biasanya diambil dari dahi dan dibentuk seperti gasing yang diikat dengan anyaman tali kafan.[2] Menurut Rahmadani, gasiang tangkurak merupakan sejenis alat musik yang dibuat dari dahi orang yang sudah meninggal dipercaya memiliki ilmu spiritual tinggi; masyarakat Taeh Baruah sebelumnya mempercayai bahwa tulang dahi merupakan tempat atau lambang kualitas hidup seseorang; kegunaannya adalah sebagai tanda penyemangat bagi individu tertentu yang tinggal di pedalaman Minangkabau.[3]


Pengetahuan ini membuat saya menjelajahi internet, mengingat Iqbal dalam perjumpaannya dengan saya di Bedjono ‘tidak terlalu berani’ untuk mengungkapkan apa yang ingin dilakukannya di sana, ketika saya menyodorkan sejumlah pertanyaan—juga DekJal yang banyak menceritakan ‘masalah’ sebagaimana tari atau koreografi, begitu pula teater, musik, karawitan, dan seni lainnya juga merupakan sejumlah masalah yang ‘dirumus-rumuskan’ tanpa menyebutkan tiga ‘temuan’ ini.


Menurut Arianda dan Yensharti; bahwa gasiang tangkurak ini hadir dalam setiap pertunjukan basirompak; dimulai dengan soga (panggilan) oleh pemain sirompak dan itu menjadi awal basirompak, yang dimainkan dari awal soga hingga akhir. Saluang sirompak adalah alat musik tiup Minangkabau yang terbuat dari bambu, yang menurut wawancaranya dengan Eri; bentuk magis juga dapat digunakan sebagai rompak (merampok atau mencuri) hati wanita. Dalam bentuk ini, wanita yang akan menjadi sirompak menolak cinta seorang pria dan mempermalukan pria itu dengan mengatakan hal-hal buruk kepadanya. Basirompak kemudian dilakukan karena seorang pria terluka oleh wanita yang sebelumnya menolaknya. Namun, jika wanita itu menolak cinta pria itu secara positif, pria itu tidak akan menggunakan mantranya.[4]


Sementara itu, batuang gilo, atau “bambu gila”, adalah permainan tradisional Minangkabau yang melibatkan beberapa orang memegang bambu dan mencoba mengangkatnya. Seorang penabuh memainkan ‘mantra’ atau perintah yang membuat bambu terasa berat dan sulit dikendalikan. Permainan ini juga merupakan simbol rasa syukur, yang dilestarikan secara turun-temurun sebagai bagian dari budaya Minangkabau,[5] di mana bagi saya kata kunci dari temuan yang saling berhubungan ini adalah ‘mantra’, ketika saya menulis ini pun juga merupakan bagian dari ‘mantra’ dalam transendensi—beberapa di antaranya juga pasti dianggap sepele oleh sebagian orang atas pengantar yang bakal dibawa ke ‘tempat yang jauh dan gelap’.


Iqbal kemudian mencoba menarik ‘masalah’ ini ke arah yang lebih global dan universal, bagaimana karya ini juga akan mengajak kita sebagai penonton untuk mengingat kembali memori-memori masa lalu yang mungkin terlewatkan. Jika saya menghubungkannya dengan sebuah ‘mantra’ dalam konteks kekinian; kita akan menemukan apa, dan bagaimana kita memaknai ‘mantra’ itu sendiri. Jika misalnya Iqbal ingin mengajak kita menjelajahi sungai Karangpandan, memori apa saja yang mungkin terhubung sehingga saya dapat mengeksplorasi ‘mantra’ yang dapat dimaknai ulang saat ini di luar konteks spiritualitas dan religiusitas, membawa saya pada sebuah tindakan yang diulang-ulang dalam jumlah tertentu, di mana Iqbal dan rekan-rekannya sedang bolak-balik ke sungai, seolah-olah mereka sedang berjumpa dengan sebuah ‘mantra’ di sungai, bagian dari ritus sosial mereka baru-baru ini, sekalipun konteksnya dalam menyelesaikan karya.


Pada akhirnya, Iqbal memandang sungai sebagai tempat yang ia yakini menyimpan memori dan ingatan, baik memori masa kecilnya tentang kedekatannya dengan sungai dan alam, maupun memori diri sebagai  penari yang juga merupakan koreografer, coba diciptakan kembali dalam karya ini. Memori ini langsung mengingatkan pada salah satu novel saya, khusus untuk anak-anak, berjudul “Gambir”,[6] yang membentang sungai di belakang rumah dengan sungai Tonjung, tempat setiap anak laki-laki puber mengalami ereksi penis dengan bantuan pusaran air di satu titik, tempat yang kerap dikunjungi setiap kali berada di sungai, refleksivitas yang diinginkan Iqbal dalam konteks ‘mantra’, saya ingin membawanya pada kajian teoretis site-specific art yang dirujuk pada Nick Kaye; Dekan Fakultas Humaniora dan Profesor Studi Pertunjukan di Universitas Exeter, Inggris—inilah yang ingin saya renungkan tentang ‘tempat yang jauh dan gelap’.

 

Refleksivitas Sungai Membawa pada Pemahaman Site-Specific Art


Sungai yang mirip dengan sungai Tonjung, di Kec. Burneh, Bangkalan

(Sumber: Screenshot WhatsApp MasE)

 

Di akhir paragraf, Iqbal mencoba menawarkan narasi glorifikasi yang akan beresonansi baik bagi penonton maupun pendukung karyanya, sehingga diharapkan karya ini dapat memberikan efek reflektif kolektif. Maka, izinkan saya untuk mulai ‘mengganggu’ refleksi Iqbal. Jika diperkenalkan seperti ini, hal-hal tak terduga akan terjadi dengan racauan tulisan semacam ini.


Hal ini juga mengingatkan saya pada Sungai Stail Genteng di Banyuwangi, tempat saya ‘menyendiri’ selama di Banyuwangi, dan Sungai Bengawan di Surakarta, yang rencananya akan saya gunakan sebagai ruang pameran setahun yang lalu, tetapi dibatalkan—merujuk pada yang transitif; menempatkan; intransitif; ditempatkan; untuk mampu mengartikulasikan dan mendefinisikan dirinya melalui properti, kualitas, atau makna yang dihasilkan dalam hubungan spesifik antara sebuah ‘objek’ atau ‘peristiwa’ dan posisi yang ditempatinya. Menurut Kaye; Menggemakan tanggapan pematung Richard Serra terhadap debat publik, dan gugatan aturan, atas pemindahan patung site-specific miliknya, Tilted Arc, pada tahun 1981. Serra, yang memberikan definisi kunci tentang karya site-specific art, menyimpulkan dengan sederhana dan tegas bahwa “memindahkan sebuah karya berarti menghancurkannya,” memindahkan sebuah karya yang site-specific berarti menggantinya, menjadikannya sesuatu yang lain—[7]dari sini saja site-specific art bisa membawa pemahaman ke ‘tempat yang jauh dan gelap’.


Kaye, dalam tulisannya, banyak mengambil inspirasi dari karya Robert Morris, Frank Stella, Donald Judd, Michael Fried, dan lain-lain, serta de Certeau. Saya memahami ini sebagai tempat yang dipraktikkan untuk menciptakan sistem aturan bagi tubuh, pengalamannya sendiri, konfigurasinya, ingatannya, dan bagaimana praktik spasial dapat memberikan beragam ekspresi stabilitas diri dalam kaitan dengan lingkungannya. Tempat adalah sistem tatanan, sementara praktik spasial tidak mereproduksi fragmen-fragmen tatanan tertentu, melainkan beroperasi sebagai aktivitas pengorganisasian, baik berjalan, membaca, mendengarkan, maupun melihat.


Dengan demikian, ruang yang berbeda dan bahkan tidak kompatibel dapat mewujudkan berbagai kemungkinan suatu tempat. Kembali ke metafora bahasa, menurut de Certeau dalam Kaye, menguraikan situasi yang lebih kompleks, menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan tempat, ruang bagaikan sebuah kata ketika diucapkan: yaitu, terperangkap dalam ambiguitas aktualisasi, ditransformasikan menjadi sebuah istilah yang bergantung pada berbagai konvensi, diposisikan sebagai tindakan saat ini (atau sebuah momen), dan dimodifikasi oleh transformasi yang ditimbulkan oleh konteks-konteks yang berurutan. Berbeda dengan tempat, ruang dengan demikian tidak memiliki univositas atau stabilitas sebuah “keaslian”.


Oleh karena itu, jika Iqbal memposisikannya sebagai sebuah memori, sebuah tempat yang dipraktikkan, dan mengandung ketidakpastian, ia tidak hanya rentan terhadap transformasi tetapi juga ambiguitas. Site-specific art sepenuhnya terwujud atau terselesaikan dalam tatanan yang mendasarinya. Jika saya hadir di sebuah sungai dan meresponsnya berdasarkan memori, sebuah kesadaran akan keterlibatan kita yang berkelanjutan dengan tempat, tetapi ketidakmampuan untuk bersandar pada stabilitas ‘yang tepat’, maka saya secara otomatis membawanya ke pemahaman site-specific art, tetapi belum tentu pasti bahwa saya berada dalam site-specific art. Karena sangat mungkin bahwa identitas yang diberikan oleh Sungai Karangpandan mewujudkan situs dalam arti transitifnya, selalu dalam tindakan atau upaya untuk menemukan, dan tidak pernah dalam tatanan yang tetap, ‘tempat yang tepat’, dari lokasi itu sendiri.


Jika ada penonton yang kurang memiliki kesadaran untuk menetapkan lokasi melalui ‘(yang disebut) simbolik’, bergabunglah dalam gerakan ini. Mungkin hal ini kurang dipahami, karena DekJal sering memprotes betapa mudahnya setiap koreografer/sutradara menyebutnya site-specific art; karena tempat tidak dibentuk ke dalam sistem tatanan yang diimplikasikannya, representasi yang ditawarkan oleh ‘kata’ juga menjauhkan seseorang dari ‘lokasi’. Sebagaimana praktik-praktik spasial ini berfungsi tanpa tempat, dalam ketidakmampuannya untuk mewujudkan tatanan dan stabilitas yang tepat, demikian pula ‘(yang disebut) simbolik’ terikat pada pengalaman ketiadaan tempat justru karena representasi, menurut definisinya sendiri, menampilkan dirinya sendiri tanpa objeknya.


Rekan-rekan Iqbal yang terlibat dalam “Rindu Mamak”

(Dok. Muhamad Iqbal)

 

Saya agak setuju dengan protes DekJal mengenai hal ini, dan saya memahami bahwa ia berhati-hati untuk tidak langsung memasukkan sungai ke dalam pemahaman ini. Namun, sangat mungkin jika saya menontonnya, saya akan terlibat dengan Sungai Karangpandan—karena narasi Iqbal mengharapkan kita untuk terlibat dengan keberadaan autentik atau nyata dari tempat yang akan ia ungkapkan. Sungai dapat merepresentasikan tempat tersebut, merepresentasikan sebuah ‘mantra’ bagi saya, untuk mendefinisikannya dalam hubungan yang cair, berubah, dan sementara, mengungkap hubungan lebih lanjut antara pendekatan terhadap situs melalui peristiwa seni dan peristiwa nonseni.


Dapat dikatakan bahwa DekJal juga ragu untuk menyebut sungai dalam “Rindu Mamak” sebagai site-specific art yang epik; sangat mungkin bahwa setiap persona tidak memiliki cara sadar untuk memanipulasi fragmen tekstual yang diapropriasi, bagaimana sungai menjadi konstruksi ketegangan pada peran, identitas, dan tempat. Ketika saya meminta serangkaian latihan dari Iqbal, salah satu gambar di atas dikirimkan, bersama dengan tiga gambar lainnya, yang tidak satu pun mungkin menunjukkan koreografi dalam konteks tari. Iqbal, pada kenyataannya, memberikan pilihan gambar yang menyerupai realitas; ini juga mengungkap peta kondisi pikirannya saat ini, yang mencerminkan gagasan tentang “Mamak yang dirindukan”, yang dialaminya, yang benar-benar menjadi ‘mantra’ semacam ruang yang dimediasi oleh tubuh dan ingatannya.


Kaye menekankan artikulasi perpindahan yang ‘aneh’ suatu lokasi yang kekhususannya tidak dapat dinyatakan dengan mudah atau tepat. Hal ini bergantung pada kualitas khusus suatu tempat, nilainya sendiri, yang ditimbulkan oleh nama yang diberikan kepadanya. Termasuk Sungai Karangpandan dan Iqbal, membentuk identitas individu, melalui keterlibatan bahasa, referensi lokal, dan aturan pengetahuan yang belum dirumuskan.


Jika semua penonton di sungai kemudian berbagi kesadaran akan ingatan masa lalu, sebuah proyeksi ke depan, dalam hubungan individu dengan perpindahan ini dan dengan demikian dalam mobilitas yang menekan perbedaan membentuk tempat-tempat antropologis. Perbedaan di sungai yang saya sebutkan sebelumnya, sebagai perjalanan melalui, atau melalui tempat ini, ‘individu merasa dirinya sebagai penonton tanpa terlalu memperhatikan tontonan.’ Seolah-olah posisi penonton merupakan hakikat tontonan itu sendiri, seolah-olah penonton dalam posisinya pada hakikatnya adalah ‘tontonan itu sendiri’.


Citra-citra yang disaksikan merepresentasikan alur kehidupan sehari-hari, mungkin berisi peristiwa yang dikonstruksi untuk penonton di kemudian hari, yang mengharuskan seseorang untuk mencarinya kembali. Namun, ketika melihat ke ‘luar’, melalui jejak-jejak refleksi saya sendiri, seolah mengamati dari ‘tempat yang jauh dan gelap’, tatapan ini dibalas oleh orang-orang yang lewat, dan, terkadang, para pelaku kemudian akan mengintervensi dengan cara tertentu. Saya akan mengintervensi balik sebagai balasannya, dengan para pelaku yang dikenali dan dipantulkan kembali kepada penonton sebagai tempat untuk menatap, memicu persepsi sadar diri yang melaluinya representasi “Rindu Mamak” ini dikonstruksi melalui sungai.


Pernyataan saya adalah: kelonggaran keterlibatan penonton ini, seolah-olah saya hadir dalam jumlah ‘besar’, siap untuk intervensi tatapan pengamatan diri ini, sebenarnya menunjukkan penulisan ulang tempat melalui citraan yang diantisipasi oleh Iqbal, sebuah gerakan yang dilambangkan oleh perjalanan kontemporer. Tatapan refleksif hanya ingin menawarkan kesempatan kepada calon penonton untuk mencoba mendefinisikan diri mereka sendiri di tempat-tempat di mana mereka terperangkap dalam proses ‘penghapusan’. Dalam konteks inilah site-specific art sering kali berupaya melampaui konflik antara situs dan karya, dan dalam konflik kontradiksi inilah koreografi menemukan dan mewujudkan ‘mantra’-nya sendiri.


Site-specific art, bagi saya, mencerminkan eklektisisme ini dan pentingnya pertukaran antara seni visual, arsitektur, dan peristiwa yang telah saya alami di kota-kota sebelumnya dan wilayah yang akan saya tonton nanti. Alih-alih, saya ingin mengajak penonton untuk mengorganisasikan karya ini di sekitar serangkaian titik awal tematik, alih-alih kodifikasi formal praktik site-specific. Dengan mempertimbangkan berbagai pendekatan terhadap ruang, situs, material, pembingkaian, dan dokumentasi tubuh sebagai instrumen karya site-specific, di mana volume ini bergerak melintasi beragam praktik yang secara konvensional berbeda, mulai dari minimalis hingga seni lahan, arsitektur kontemporer, teater, eventing, seni tubuh, dan intervensi formal yang evasif ke dalam ruang-ruang urban, yang kemudian dapat dihubungkan dengan bentuk tari/teater dokumenter—dan untuk kesekian kalinya DekJal yang menemani Iqbal proses tentu tidak akan sepakat dengan ‘pemahaman’ ini.

 

Refleksivitas Sungai Membawa pada Pemahaman ‘Tari Dokumenter’



Salah satu tindakan lainnya oleh rekan-rekan Iqbal

(Dok. Muhamad Iqbal)

 

Dokumentasi yang dirujuk pada tulisan Kaye; dalam mengintervensi narasi “Rindu Mamak”, berdasarkan kata kunci ‘mantra’ yang saya tawarkan kepada diri saya sendiri; saya bertanya apa tanggapan rekan pendukung karya Iqbal jika paradoks pertunjukan yang tidak dipersiapkan terjadi, tetapi penonton, seperti saya, membawa pemahaman ini ke dalam “Rindu Mamak”? Dalam hal ini, saya ingin menekankan site-specific art, tidak hanya sebagai seperangkat istilah kritis dan sebagai sebuah cara berkarya, tetapi juga sebagai cara untuk mengkarakterisasi tempat di mana praktik site-specific ini tercermin. Istilah Iqbal “refleksi tempat” segera menyadarkan saya bahwa sebuah karya tari dapat berubah menjadi sebuah peristiwa, seperti dalam dua gambar di atas, di samping dua gambar lain yang dikirimkan Iqbal.


Sebagai seorang calon penonton yang menyadari banyak hal, meskipun mungkin bertentangan; sekadar untuk menegaskan bahwa sungai adalah tempat relevan yang dipilih sebagai penanda “Rindu Mamak”, karena bagi saya sungai juga memiliki ‘mantra’ yang menghubungkan banyak kota seperti Padang, Banyuwangi, Bangkalan, Surakarta, dan Karanganyar, serta lain-lain, dengan berbagai disiplin dan cara, yang masing-masing memberikan efeknya kepada penonton dalam pertunjukan, atau dalam peristiwa selanjutnya. Alih-alih menegaskan independensi objek seni, bentuk terpadu itu justru melakukan intervensi skulptural ke dalam sungai, sebuah tempat yang menampilkan dirinya, secara tekstual, sebagai ‘kehampaan’ perasaan Iqbal. Tempat inilah yang, ketika dibaca nantinya untuk menentukan hakikat karya seni yang tak tereduksi dari hal lainnya, di mana semua kejadian selama proses berlangsung yang mengganggu fakta bahwa ia adalah “seni”’ di mana karya seni terisolasi dari segala hal yang akan merusak evaluasinya sendiri terhadap dirinya sendiri—yang kemudian dapat mengarah pada tari dokumenter.


Sebagai referensi, saya ingin merujuk pada sebuah artikel yang diajukan ke Konferensi Teater dan Pertunjukan Indonesia 2020; salah satu artikel saya membahas teater dokumenter. Carol Martin (Profesor drama di Tisch School of the Arts, New York University), dalam esainya, menyatakan bahwa praktik menciptakan tari/teater dokumenter melibatkan interogasi yang cermat terhadap peristiwa-peristiwa tertentu, sistem kepercayaan, dan afiliasi politik. Seorang koreografer/sutradara didorong untuk melakukan riset mendalam tentang isu-isu yang diangkat dalam dokumenter tersebut untuk memvalidasi data dan mengkurasinya secara efektif.[8] 

Kemudian Pawel Demirski (jurnalis dan penulis naskah drama Polandia yang menerima beasiswa pada tahun 2003 dari Royal Court Theatre di London), berpendapat bahwa penggunaan metode perjalanan untuk melihat dan berbincang dengan orang-orang di sekitar objek riset sangat efektif dalam menemukan data riset yang valid. Sementara Derek Paget (Profesor di University of Reading, Inggris, Departemen Film, Teater, dan Televisi), menilai bahwa kekuatan utama dalam tari/teater dokumenter terletak pada kemampuan unik seorang koreografer/sutradara untuk melaporkan dan merekam peristiwa yang diriset secara mendalam. Dengan demikian, praktik tari/teater dokumenter secara tidak langsung memunculkan kerja ganda yang berlapis; antara kerja koreografer/sutradara sebagai etnografer, antropolog, sosiolog, dan psikolog,[9] yang sangat mungkin ini bisa dirujuk dalam konteks “Rindu Mamak”.


Berdasarkan pemahaman di atas, jika saya hadir sebagai penonton, saya akan dengan sendirinya mengintervensi—yang juga dapat mengalihkan arah tindakan yang telah dipersiapkan, dengan cermat merekam semua objek di Sungai Karangpandan, untuk menempatkan diri saya sebagai ‘kehadiran’ di ruang tersebut. Sementara penonton lain juga akan mengintervensi (mungkin seperlunya); antara lain, terlibat dalam dialog dan mengajukan banyak pertanyaan di sana. Dengan demikian, Iqbal atas pengajuan hubungan refleksif antara penonton dan pendukung karya tersebut, berada dalam pemeliharaan perhatian bersama dalam kerangkanya, dan ia juga semakin leluasa tidak mengklaim batasan apa pun—jika intervensi yang diharapkannya dari refleksivitas ini.


Dengan cara ini, alih-alih menawarkan dirinya sebagai ‘karya untuk dibaca,’ bentuk kesatuan melalui sungai menghadirkan semacam tari dokumenter dengan dramaturgi yang khas (misalnya dramaturgi intervensi). Namun, justru dalam peristiwa inilah bentuk ini menuntut penonton untuk secara fisik menegosiasikan penempatan dan dimensinya. Kita harus benar-benar berjumpa dengan tubuh yang mendukung karya Iqbal, di mana idenya adalah bahwa objek tersebut surut ke dalam signifikansinya sendiri.


Tempat berpartisipasi dalam pengalaman kompleks yang mencakup objek, tubuh kita, tempat, dan waktu pengalaman kita—lebih lanjut mengasumsikan bahwa saya berada dalam site-specific art, meskipun saya tidak yakin semua penonton siap dengan ini, karena itu saya coba memberikan gambaran yang akan terjadi nanti agar tidak ‘terkunci’ dengan kata respons dan refleksivitas. DekJal bisa saja mengklaim bahwa ini tidak digerakkan dengan dramaturgi intervensi, tetapi dua kata tersebut memberikan klaim lanjutan atas netralitas dan penolakan atas konten yang disediakan. Apa pun yang saya bawa atau penonton lainnya dapat saling mengalihkan perhatian penonton dari dinamika yang beroperasi di antara dirinya, objek, dan “tempat rindu”, yang menumbangkan alih-alih menegaskan estetika mapan yang biasa selama ini dimiliki para pengagum produk seni—sebab kenyataannya hingga kini masih terjebak dalam suspensi ini, di mana perbedaan konvensional antara batas-batas karya seni dan kerangka ruangnya terancam ‘terbatalkan’ semuanya, tetapi sangat berharga untuk ditonton sebagai pengetahuan.



Serangkaian peristiwa lainnya dalam latihan “Rindu Mamak”

(Dok. Muhamad Iqbal)

 

Sumber penciptaan tari dokumenter adalah data yang diperoleh melalui riset. Hasil riset ini direpresentasikan dalam ruang pertunjukan dengan pertimbangan estetika—yang mungkin berbeda dengan pada umumnya. Ketika akhirnya saya mengajukan banyak pertanyaan tentang temuan riset atau temuan dari waktu saya di Sungai Karangpandan, hubungan antara objek dan konteksnya seolah melarutkan kekokohan bentuk-bentuk tersebut, yang melebur menjadi berbagai refleksi dari “tempat rindu” yang dituju Iqbal.


Dengan demikian, ‘mantra’ yang saya pantulkan sebagai kata kunci dapat dikatakan membuat gestur keseluruhannya menjadi transparan. ‘Cermin-cermin’ tersebut melalui sungai menghadirkan ilusi kepada penonton bahwa Iqbal bersama rekan-rekannya sedang memasuki sebuah “ruang kerja ingatan”, hanya untuk menemukan bahwa, dengan melihat ke dalam sungai ini, kita hanya menemukan kondisi “dari luar” peristiwa tontonan tersebut. Lebih lanjut, pada situasi tertentu bisa bertolak belakang untuk membiarkan penonton melepaskan durasi refleksifnya, karena mereka menghasilkan beragam refleksi dari setiap pergeseran perspektif atau posisi apa pun yang diajukan oleh Iqbal.


Martin juga menambahkan bahwa tari/teater dokumenter membutuhkan penelusuran asal-usul arsip yang ditemukan di lapangan. Dalam hal ini, Sungai Karangpandan—jika saya diberi kebebasan, pembacaan penonton tentang kedalaman, pusat, atau stabilitas internal “ingatan”, dalam sebuah eksposisi karakter kontingen dari intervensi suatu bentuk terpadu ke dalam keadaan yang dipersepsikan penonton—maka dari itu, saya mengantar ini. Namun, “cermin-cermin” tersebut juga menghadirkan kontradiksi, kebingungan, dan permainan antartatanan spasial yang berbeda nantinya.


Sambil merefleksikan di sungai dan menghadirkan penonton dengan aktivitas dan konteks pengamatan mereka sendiri, pengorganisasian ‘cermin-cermin’ Iqbal, sejatinya dipersiapkan perluasan konstruksi bentuk terpadu ini melampaui ‘interior’ penonton yang tidak terjangkau. Kalau misalnya masih dibatasi selayaknya keterlibatan penonton pada banyak karya pada umumnya yang ditemukan di Surakarta dan sekitarnya, sungai itu sendiri tidak hanya menekankan ‘kebuntuan’ dari “Rindu Mamak”, bisa sangat mungkin kekhawatiran DekJal terhadap Iqbal terjadi. Meskipun saya yakin tidak sepenuhnya DekJal ‘mengganggu’ Iqbal, tetapi pengorganisasian atas ‘cermin-cermin’ di sungai, saya rasa Dekjal cukup memahami sedemikian rupa sehingga ‘tempat’ dengan volume gabungan dari keseluruhan sungai itu ikut mengungkapkan logika formal yang beroperasi melampaui fungsi refleksi.


Demirski kemudian menekankan bahwa tari/teater dokumenter bukan sekadar teknik; Ini adalah cara berpikir dan, khususnya, alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia. Tari/teater dokumenter juga membutuhkan tatapan orang lain di sekitar objek, meskipun hal ini menghasilkan drama di dalamnya. Termasuk ‘drama’ sepanjang proses latihan, atau ‘drama’ di luar latihan, sebutlah DekJal merefleksikan karakter dualistik diri di antara bekerja sebagai rekan ‘ngobrol’ Iqbal ataupun rekan ‘yang bertegangan’ pemikiran, sebagai bentuk dokumen yang juga mesti diamati, ditransformasikan ke dalam ‘cermin’ sungai, progresif, dan sirkular dengan segala objek material yang dipersiapkan—jika betul-betul serius mendudukkan penonton sebagai tempat intervensi.


Sayangnya dua hal yang dibawa saya ini dari ‘tempat yang jauh dan gelap’ hanyalah kemungkinan yang akan terjadi untuk dibayangkan sebagai sistem tatanan. Tatanan apa pun, beroperasi di luar objek fisik Sungai Karangpandan. Oleh karena itu, meskipun ‘cermin’ dari sungai tampaknya membingungkan sebagai “ruang interior” sebuah karya dengan menggunakan kata kunci, dari upaya Iqbal membawa ke ranah universal dan global, kiranya ini hanya sekadar pengantar ilusi peristiwa untuk menciptakan keadaan eksterior presentasinya, sebagai bentuk “kerinduan” yang menciptakan “ruang interior” yang hanya dapat diakses oleh ‘cermin’ Iqbal melalui sungai.


Paget menekankan bahwa dalam praktik tari/teater dokumenter, poin-poin dramatis diperlukan dan menambah konstruksi. Memang, banyaknya refleksi ini tidak benar-benar berada di dalam maupun di luar “Rindu Mamak”, dengan memperkuat posisi penonton yang terus berubah dan mendefinisikan ulang persepsi mereka tentang ‘ruang nyata’, menciptakan ilusi ‘interioritas’ di mana pertentangan antara tempat karya seni dan ‘ruang nyata’, sebagaimana Sungai Karangpandan menjadi membingungkan. Namun, justru inilah sangat mungkin secara eksplisit membuka pertanyaan tentang hubungan antara tatanan spasial yang secara fundamental berbeda tentang tempat sebagai site-specific, atau tempat sebagai lokasi pertunjukan, namun keduanya saling bergantung, yang pertentangannya menentukan stabilitas bagaimana menempatkan dan ditempatkan dan identitas karya.


Dalam situasi yang berbeda pula, sering kali DekJal mempertanyakan apa yang seebetulnya disebut site-specific art? Bagaimana seharusnya menggambarkan Lokasi yang disebut sebagai site-specific art atau hanya sebagai tempat berlangsungnya pertunjukan? Lantas istilah apa yang bisa digunakan untuk membatasi keduanya? Saya kira sepanjang tulisan ini, yang menjadi berharga “Rindu Mamak” untuk ditonton bersama-sama, kemungkinan kelonggaran atau intervensi yang ‘jauh’ dan ‘cair’ diberikan sepenuhnya kepada kita; sebagai korespondensi dengan kategori-kategori pengalaman kita terhadap sungai, dari ruang ‘nyata’, yang merupakan ruang praktik sosial masing-masing.


Sekali lagi, dua hal yang saya bawa ini dari ‘tempat yang jauh dan gelap’, bisa sangat mengartikan bahwa Sungai Karangpandan itu telah  melibatkan, mendasari, dan mengandaikan yang lain—melalui tulisan ‘meracau’ ini. Di mana site-specific art, dalam hal ini, sangat berhubungan bagaimana kita memperlakukan tari/teater dokumenter sebagai alat historiografi untuk mengeksplorasi sejarah sebagai pengetahuan berbeda, sebuah reaksi pembacaan masa kini terhadap masa lalu, dan menghasilkan gagasan-gagasan berbeda yang lahir dari rasa rindu terhadap Mamak dan bagitu berharganya orang-orang di sekeliling kita. Melalui DekJal, saya rasa Iqbal sudah melakukan pendekatan kultural terhadap masyarakat kontemporer atau lintas budaya, di mana DekJal yang berasal dari Aceh—dan MasE yang sudah lama tinggal di Surakarta, dengan cermat saling menelusuri ketegangan-ketegangan budayanya melalui sungai.


Di sinilah, pada titik disjungsi, upaya penonton untuk ‘menemukan’, ‘menempatkan’ dan ‘memindahkan’ kerinduan bakal terasa. Dalam masalah bentuk kesatuan semacam ini, dalam upaya membangun “Rindu Mamak” yang sudah pasti selama prosesnya, Iqbal sudah dirundung dengan sejumlah pertanyaan—yang kemungkinan pertanyaan itu sebagiannya mengandung intervensi. Intervensi penonton sudah diciptakan dari sini, seolah-olah untuk mendapatkan peta identitas berbeda nantinya dari keterlibatan penonton, bukan hanya sekadar respons yang biasa tanpa mendapati ‘kerinduan’ yang dimaksud Iqbal, dengan  mereka menyaksikan intruksi mereka sendiri ke dalam diri yang terpantul dari ‘cermin’ sungai, semakin menempatkan “Rindu Mamak” di persimpangan ruang yang saling tidak dapat didamaikan.



Tindakan berbeda lainnya dalam latihan “Rindu Mamak”

(Dok. Muhamad Iqbal)

 

Dalam kedua hal yang dibawa sebagai pengantar pertunjukan, atas proyeksi saya menuliskan pertunjukan nantinya, tindakan ini memandang karya dari ‘tempat yang jauh dan gelap’ sebagai tempat observasi/riset artistik dan site-specific art (kalau mau dipahaminya demikian) sebagai tempat karya tersebut kemungkinan ditempatkan menjadi sangat reflektif. Memang, untuk ‘mengobjektifikasi’ atau menyelesaikan proses ini, kita sebagai penonton nantinya tidak hanya harus merespons atas rute yang ditentukan oleh pendukung karya sebagaimana umumnya, kemungkinan kita bisa memisahkan diri dari rute yang telah dibuat. Dalam konteks ini, saya sebagai penonton ingin memprovokasi bahwa tidak semua karya mau  dipaksakan pada dirinya sendiri, tetapi bisa sangat mungkin pada sisi lainnya dipenuhi kepada orang lain.


Jadi intinya saya bercuriga, ajakan Iqbal kepada penonton untuk terlibat, secara tidak langsung, dipersiapkan oleh MasE (sebagai pembimbing yang bisa disebut dramaturg) tentang kemungkinan berlangsungnya dramaturgi intervensi. Atas pertemuan kita dengan objek-objek di sungai; memaksa kita untuk merenungkan diri kita sendiri terhadap ‘kerinduan’ Iqbal, yang tak pernah bisa dirasakan oleh saya, yang tak pernah bisa menjadi objek observasi eksternalnya Iqbal. Sebab bagaimanapun kata kunci ‘mantra’ diperoleh dari tiga temuannya di awal; gasiang tingkurak, saluang sirompak, dan batuang gilo yang juga tak pernah bisa dipahami secara sungguh-sungguh, termasuk oleh Iqbal sendiri.


Oleh karena itu, dalam keterlibatan nanti, pengalaman kita sebagai penonton terhadap karya tersebut menjadi tak terpisahkan dari setiap peristiwa, tak terpisahkan dari perjumpaan—yang dalam hal ini saya katakan site-specific art, yang juga saya katakan sebagai tari dokumenter, layaknya saya ‘dukun’ yang menggerakkan  gasiang tingkurak, saluang sirompak, dan batuang gilo dalam refleksi dan kesadaran kita dengan aktivitasnya sendiri nantinya. Yuk ah, jangan lewatkan karya ini dengan memperhatikan ‘hubungan erat antara pengalaman ruang fisik dan masa kini yang berkelanjutan’, sebagai tempat untuk mengamati, sebagai tempat yang seharusnya ditempatkan menjadi sangat reflektif terhadap diri sendiri.



[1] Lulusan Program Studi Seni Program Doktor ISI Surakarta, penciptaan seni.

[3] Lih. Rahmadani. 2016. “Garak jo Garik.” Pengkajian Dan Penciptaan Seni ISI Padang Panjang, 9.

[4] Lih. Arianda, Muhammad & Yensharti Yensharti, 2023. “Gasiang Tangkurak/Sirompak Sebagai Inspirasi Karya Musik Dalam Seni Pertunjukan Tradisi Minangkabau.” Jurnal Riset Rumpun Seni, Desain dan Media (JURRSENDEM) Vol.2, No.2 Oktober 2023e-ISSN: 2829-0186; p-ISSN: 2829-0283, Hal 180-189 DOI: https://doi.org/10.55606/jurrsendem.v2i2.1638.

[6] Sumber: https://perpuskita.perpustakaandigital.com/detail/gambir/21410, diakses terakhir kali pada tanggal 11 Juli 2025.

[7] Lih. Kaye, Nick. 2000. Site-Specific Art: Performance, Place and Documentation. London dan New York: Routledge.

[8] Lih. Martin, Carol. 2010. Dramaturgy of the Real on The Word Stage, (ed.).  London: Palgrave Micmillan.

[9] Lih. Forsyth, Alison & Megson, Chris (ed.). 2009. Get Real: Documentary Theatre Past and Present. London: Palgrave Micmillan. 

Ads