Advertisement
Oleh: Cecep Ahmad Hidayat
Seorang lelaki dengan busana sederhana,
layaknya penghuni surau atau tajuk di sebuah perkampungan, menggunakan kain
sarung dengan peci lapuk serta kemeja usangnya duduk bersila di hadapan penoton
paling belakang. Suara dzikir dan lantunan sholawatan yang dilantunkan oleh performer,
Wail, diringi sound effect yang menguatkan suasana sakral.
Opening
pertunjukan yang sakral dengan suara dzikir langsung menarik perhatian penonton
dan menciptakan suasana yang khidmat. Suara dzikir yang mengalun dengan lembut
dan merdu membangkitkan rasa spiritualitas dan kesadaran akan kehadiran yang
lebih tinggi.
Wail menampilkan kemampuan yang luar
biasa dengan kelenturan tubuhnya yang prima. Ia mampu menghadirkan karakter
dengan sangat meyakinkan dan menghayati peran dengan sangat baik. Penampilannya
yang dinamis dan ekspresif disertai penggunaan kamera CCTV (yang dimainkan
sendiri) membuat penonton terpesona dan terikat dengan cerita yang sedang
dibawakan.
Efek audio dan visual digitalisasi yang
digunakan dalam pertunjukan ini juga sangat memukau. Penggunaan teknologi
digital yang di kemas dengan sungguh2 menciptakan suasana yang futuristik dan
fantastis, sehingga menambah kesan dramatis dan emosional dari pertunjukan.
Kolaborasi antara suara dzikir dan audio visual digital menciptakan pengalaman
multisensorik yang unik dan tidak terlupakan.
Pertunjukan "Robohnya Surau
Kami" berhasil menghipnotis penonton dari awal sampai akhir dengan cerita
yang kuat, akting yang maksimal, dan penggunaan teknologi yang canggih.
Pertunjukan ini adalah sebuah contoh yang baik dari bagaimana teater dapat
menjadi sebuah pengalaman yang mendalam dan berkesan dengan menggunakan
berbagai elemen seni dan teknologi.
Pertunjukan teater "Robohnya Surau
Kami" karya AA Navis, di Pusat Kebudayaan Peranci yang sekarang bernama
IFI pada hari JUmat tanggal 11 Juli 2025 yang disutradarai oleh Deden Bulkini
dan dibintangi oleh Wail, adalah sebuah karya seni yang memukau dan
menghipnotis penonton dari awal sampai akhir. Pertunjukan ini merupakan
kolaborasi yang cemerlang antara suara dzikir yang sakral dengan audio visual
digital yang fantastis dan futuristik. Opening pertunjukan yang sakral dengan
suara dzikir langsung menarik perhatian penonton dan menciptakan suasana yang
khidmat. Suara dzikir yang mengalun dengan lembut dan merdu membangkitkan rasa
spiritualitas dan kesadaran akan kehadiran yang lebih tinggi.
Ada
Geliat Pertunjukan KASPAR
Menariknya, Wail sebagai aktor yang
pernah dekat dengan kelompok payung hitam dalam pertunjukan "Kaspar"
yang disutradarai oleh Rahman Sabur dengan aktor Tonny Broer, Wail sepertinya
membawa pengalaman itu ke dalam pertunjukan "Robohnya Surau Kami".
Dengan tema konflik psikologis dalam ritual agama, "Robohnya Surau
Kami" dapat dikatakan sebagai permainan olah tubuh "Kaspar" yang
syar'i, di mana simbolisme dan metafora digunakan untuk menggambarkan
perjuangan spiritual dan emosional. Dimana Islam dalam pertunjukan ini di
jadikan ideom konplik psikologis peran Kakek penjaga Surau (Masjid Kecil)
Sebetulnya "Robohnya Surau
Kami" dalam pertunjukan ini menjadi sebuah karya yang dapat ditafsirkan
lebih leluasa oleh penontonnya, membuka ruang untuk refleksi dan diskusi
tentang tema yang diangkat. Dengan demikian, pertunjukan ini tidak hanya
menjadi sebuah pengalaman seni yang unik, tetapi juga sebuah kesempatan untuk
memperdalam pemahaman tentang diri sendiri dan masyarakat.
Dalam cerita cerpen yang dikarang AA Navis tersebut, menggambarkan sosok kelemahan iman seorang menjaga Surau yang
dihasut keyakinannya oleh seorang pembual bernama Ajo Pidi, komflik batinnya
bergumuruh karena atas hasutan si
pembual itu iya merasa bahwa selama hidupnya itu ternyata sia sia. Akhirnya dia
mengakhiri hidupnya dengan tragis – menggorok lehernya dengan pisaunya sendiri.
Ungkapan tersirat dari si pembual ini
sebetulnya suatu sindiran yang tajam pada para pemuka agama yang terlalu asyik
masyuk dengan ritual kehidupan beragamanya. Dimana masyarakat dan keluarganya
sendiri di abaikan karena sudah merasa tenang dengan ritual agamanya. Padahal
hak umat dan keluarganya diterlantarkan dan diambil (bahkan dicuri) diam-diam
oleh masyarakat minoritas dan dijual kepada penjajah neokolonialisme
Sepertinya Penonton akan lebih larut
dengan pertunjukan tersebut setelah membaca terlebih dahulu cerpen karya AA
Navis ini berjudul Robohnya Surau Kami
Bandung 12 Juli 2025