Kolaborasi Futuristik-Mistis dalam Pertunjukan "Robohnya Surau Kami" -->
close
Pojok Seni
15 July 2025, 7/15/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-07-15T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Kolaborasi Futuristik-Mistis dalam Pertunjukan "Robohnya Surau Kami"

Advertisement



 
Oleh: Cecep Ahmad Hidayat
 
Seorang lelaki dengan busana sederhana, layaknya penghuni surau atau tajuk di sebuah perkampungan, menggunakan kain sarung dengan peci lapuk serta kemeja usangnya duduk bersila di hadapan penoton paling belakang. Suara dzikir dan lantunan sholawatan yang dilantunkan oleh performer, Wail, diringi sound effect yang menguatkan suasana sakral.
 
Opening pertunjukan yang sakral dengan suara dzikir langsung menarik perhatian penonton dan menciptakan suasana yang khidmat. Suara dzikir yang mengalun dengan lembut dan merdu membangkitkan rasa spiritualitas dan kesadaran akan kehadiran yang lebih tinggi.

 
Wail menampilkan kemampuan yang luar biasa dengan kelenturan tubuhnya yang prima. Ia mampu menghadirkan karakter dengan sangat meyakinkan dan menghayati peran dengan sangat baik. Penampilannya yang dinamis dan ekspresif disertai penggunaan kamera CCTV (yang dimainkan sendiri) membuat penonton terpesona dan terikat dengan cerita yang sedang dibawakan.
 
Efek audio dan visual digitalisasi yang digunakan dalam pertunjukan ini juga sangat memukau. Penggunaan teknologi digital yang di kemas dengan sungguh2 menciptakan suasana yang futuristik dan fantastis, sehingga menambah kesan dramatis dan emosional dari pertunjukan. Kolaborasi antara suara dzikir dan audio visual digital menciptakan pengalaman multisensorik yang unik dan tidak terlupakan.
 
Pertunjukan "Robohnya Surau Kami" berhasil menghipnotis penonton dari awal sampai akhir dengan cerita yang kuat, akting yang maksimal, dan penggunaan teknologi yang canggih. Pertunjukan ini adalah sebuah contoh yang baik dari bagaimana teater dapat menjadi sebuah pengalaman yang mendalam dan berkesan dengan menggunakan berbagai elemen seni dan teknologi.

Perform Wail Robohnya Surau Kami
 
Pertunjukan teater "Robohnya Surau Kami" karya AA Navis, di Pusat Kebudayaan Peranci yang sekarang bernama IFI pada hari JUmat tanggal 11 Juli 2025 yang disutradarai oleh Deden Bulkini dan dibintangi oleh Wail, adalah sebuah karya seni yang memukau dan menghipnotis penonton dari awal sampai akhir. Pertunjukan ini merupakan kolaborasi yang cemerlang antara suara dzikir yang sakral dengan audio visual digital yang fantastis dan futuristik. Opening pertunjukan yang sakral dengan suara dzikir langsung menarik perhatian penonton dan menciptakan suasana yang khidmat. Suara dzikir yang mengalun dengan lembut dan merdu membangkitkan rasa spiritualitas dan kesadaran akan kehadiran yang lebih tinggi.
 
Ada Geliat Pertunjukan KASPAR
 
Menariknya, Wail sebagai aktor yang pernah dekat dengan kelompok payung hitam dalam pertunjukan "Kaspar" yang disutradarai oleh Rahman Sabur dengan aktor Tonny Broer, Wail sepertinya membawa pengalaman itu ke dalam pertunjukan "Robohnya Surau Kami". Dengan tema konflik psikologis dalam ritual agama, "Robohnya Surau Kami" dapat dikatakan sebagai permainan olah tubuh "Kaspar" yang syar'i, di mana simbolisme dan metafora digunakan untuk menggambarkan perjuangan spiritual dan emosional. Dimana Islam dalam pertunjukan ini di jadikan ideom konplik psikologis peran Kakek penjaga Surau (Masjid Kecil)
 
Sebetulnya "Robohnya Surau Kami" dalam pertunjukan ini menjadi sebuah karya yang dapat ditafsirkan lebih leluasa oleh penontonnya, membuka ruang untuk refleksi dan diskusi tentang tema yang diangkat. Dengan demikian, pertunjukan ini tidak hanya menjadi sebuah pengalaman seni yang unik, tetapi juga sebuah kesempatan untuk memperdalam pemahaman tentang diri sendiri dan masyarakat.

Dalam cerita cerpen yang dikarang AA Navis tersebut, menggambarkan sosok kelemahan iman seorang menjaga Surau yang dihasut keyakinannya oleh seorang pembual bernama Ajo Pidi, komflik batinnya bergumuruh  karena atas hasutan si pembual itu iya merasa bahwa selama hidupnya itu ternyata sia sia. Akhirnya dia mengakhiri hidupnya dengan tragis – menggorok lehernya dengan pisaunya sendiri.
 
Ungkapan tersirat dari si pembual ini sebetulnya suatu sindiran yang tajam pada para pemuka agama yang terlalu asyik masyuk dengan ritual kehidupan beragamanya. Dimana masyarakat dan keluarganya sendiri di abaikan karena sudah merasa tenang dengan ritual agamanya. Padahal hak umat dan keluarganya diterlantarkan dan diambil (bahkan dicuri) diam-diam oleh masyarakat minoritas dan dijual kepada penjajah neokolonialisme 
 
Sepertinya Penonton akan lebih larut dengan pertunjukan tersebut setelah membaca terlebih dahulu cerpen karya AA Navis ini berjudul Robohnya Surau Kami
 
Bandung 12 Juli 2025

Ads