Bisakah Mengadopsi Prinsip Permainan Kooperatif pada Kerja Kolaboratif Komunitas Seni? -->
close
Pojok Seni
08 May 2025, 5/08/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-05-08T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Bisakah Mengadopsi Prinsip Permainan Kooperatif pada Kerja Kolaboratif Komunitas Seni?

Advertisement
Prinsip permainan kooperatif dalam kerja kolaboratif komunitas seni
Prinsip permainan kooperatif dalam kerja kolaboratif komunitas seni


Oleh: Adhyra Irianto


Pojokseni - Mari kita bayangkan ada empat orang (kita sebut saja mereka A, B, C, dan D) yang membentuk satu komunitas diberi nama Komunitas ABCD. Kemudian, mereka merumuskan tujuan grup atau komunitas tersebut. Untuk mencapai visi tersebut, mereka berkumpul untuk mendiskusikan apa yang harus/akan mereka lakukan untuk mendapatkan uang. 


Perkumpulan tersebut dilakukan seminggu sekali, untuk merumuskan apa yang akan mereka kerjakan bersama-sama selama 6 hari sisanya. Namun, permasalahan klasik komunitas pada umumnya akhirnya menimpa mereka setelah grup itu berjalan beberapa tahun; D tidak pernah datang dan tidak pernah peduli dengan apapun yang dilakukan komunitas.


Maka, grup ini dihadapkan pada tiga kemungkinan;


  1.  A, B, dan C terus melakukan apa yang telah mereka rencanakan sebagai visi komunitas. Tentunya, dengan "tenaga berkurang" karena kurang satu orang yakni D. Namun, D tetap dianggap bagian dari komunitas ABCD.
  2. A, B, dan C akan mencoba berbicara dengan D, mencari solusi agar D kembali ke komunitas tersebut. Mereka mencoba segala cara agar grup ABCD itu utuh seperti awal.
  3. A, B, dan C akan merekrut orang baru sebagai pengganti D. Dengan atau tanpa izin dari D.


Poin 1 dan 2 adalah cara yang terafirmasi, dianggap sebagai pola pikir positif. Namun bila kita telaah, poin 1 adalah langkah "mengorbankan kepentingan kelompok karena merasa tidak enak dengan D". 


Dalam kasus ini, si D seperti "AFK" (away from keyboard) yang berarti seorang pemain dalam sebuah permainan yang memilih tidak berada di depan komputer untuk sementara waktu. Komunitas tetap berjalan, namun pincang, karena kekurangan tenaga dan orang.


Sedangkan poin 2, juga sebuah afirmasi positif. Namun, lagi-lagi hal ini juga bentuk "mengorbankan kepentingan kelompok karena merasa tidak enak dengan D." Bayangkan, waktu yang bisa mereka lakukan untuk membuat kemajuan pada pengembangan kelompok mereka, dihabiskan hanya untuk "merayu" D agar bisa disiplin seperti yang lain.


Poin ketiga, adalah satu-satunya langkah "negatif", tapi ditujukan untuk kemajuan dan pengembangan grup. Tapi, tampak tidak manusiawi, bukan?


Poin ketiga ini memiliki dampak yang serius. A, B, maupun C akan saling mencurigai. Mereka menganggap, bila suatu hari salah satu dari mereka melakukan pelanggaran seperti D, atau mungkin dianggap tidak berguna lagi, maka mereka juga akan digantikan. 


Maka, setiap orang di dalam grup itu akan memilih "cari selamat" masing-masing, alih-alih berjuang bersama demi kepentingan grup. Tentunya menjadikan grup tersebut tinggal menunggu waktu untuk bubar.


Apakah komunitas Anda juga terkena masalah yang identik dengan komunitas ABCD tersebut?


Komunitas sebagai Pengejawantahan dari Prinsip "Permainan Kooperatif"


Prinsip permainan kooperatif dalam kerja kolaboratif komunitas seni
Dalam prinsip "permainan kooperatif" semua anggota tim adalah setara


Ini masalah klasik, mungkin sejak zaman manusia pertama bikin komunitas, masalah ini muncul. Bila terkena masalah seperti kasus komunitas ABCD di atas, banyak grup akan mengambil salah satu dari tiga poin kemungkinan yang disebutkan di atas sebagai solusi.


Cara keempat orang itu membentuk komunitas, menjalani dan mencoba menyelesaikan masalah sebenarnya adalah artikulasi dari prinsi "permainan kooperatif". Kondisi tersebut disebabkan adanya hubungan timbal balik dari setiap individu di dalam komunitas tersebut.


Dalam konteks "game theory" atau teori permainan (studi interaksi sosial secara strategis, yang dikaji dengan model matematis), permainan kooperatif merujuk pada adanya usaha pembentukan "koalisi" untuk suatu tujuan lewat perilaku kooperatif. Game theory ini sebenarnya dianggap, ditujukan untuk ilmu ekonomi. Namun, saat ini sudah diterapkan dalam sejumlah disiplin ilmu, termasuk ilmu sosial. Dalam hal ini, interaksi sosial dalam berkomunitas (Situmorang, 2015).


Bisa kita simpulkan, dalam konteks komunitas, prinsip "permainan kooperatif", ditandai dengan adanya: 

  • komunitas yang dibentuk, 
  • tujuan komunitas yang disusun, 
  • tindakan kelompok yang terencana,
  • manfaat kolektif bagi seluruh anggota grup. 


Terlihat menarik dan ideal, bukan? Tapi, mari kembali lagi ke problem yang disebutkan di awal artikel ini. Permainan kooperatif ini baru bisa berjalan dengan baik, bila:

  1. setiap individu dalam komunitas tahu apa perannya untuk mencapai tujuan berasama
  2. adanya interaksi yang baik dari setiap individu di dalam komunitas
  3. setiap anggota kelompok bertanggung jawab satu sama lain
  4. ada pemimpin yang punya visi untuk menentukan, mengawasi, dan menjalankan pergerakan komunitas.


Rata-rata, setiap komunitas akan merasa bahwa poin (4) adalah hal terpenting dalam bergeraknya komunitas. Faktanya, bukan itu yang paling penting. Terpenting adalah ketika setiap individu di dalam komunitas itu, tahu apa perannya, apa yang bisa ia berikan, dan (tentunya, ini yang paling penting) apa yang bisa ia dapatkan dari komunitas itu.


Pemimpin itu penting, tapi bukan yang terpenting


Prinsip permainan kooperatif dalam kerja kolaboratif komunitas seni
Pemimpin tetap unsur penting, namun bukan yang utama

Pemimpin suatu grup atau komunitas dipilih atas kecakapan, pengetahuan, keterampilan, dan kreativitas yang di atas rata-rata kelompoknya. Di samping itu, juga butuh kemampuan untuk memikul tugas dan tanggung jawab. Maka, pemimpin suatu komunitas itu, bukan orang biasa. Ia adalah orang yang berani untuk menentukan sikap, mengambil keputusan, dan melihat situasi dan kondisi untuk bertindak efektif (Jannah, Harahap, & Maidiana, 2024).


Pemimpin yang baik, cenderung akan mengarahkan satu komunitas ke arah yang baik. Tapi, itu bukan faktor utamanya. Sebaik apapun pemimpin, bila individu di dalam komunitas itu tidak tahu cara kerja kooperatif, maka komunitas itu akan gagal.


Maka, dalam konteks "permainan", pemimpin biasanya "hanya" anggota kelompok yang punya tugas dan tanggung jawab lebih. Salah satunya menjadi pengawas, dan pengambil keputusan. Dan (mungkin) sebagai ikon komunitas. Analoginya, pemimpin seperti kapten dalam pertandingan sepakbola. Ia penting, namun bukan itu yang terpenting untuk mencapai sebuah keberhasilan komunal.


Tapi, dalam konteks ini, individu di dalam satu komunitas adalah kunci dari berhasil atau tidaknya komunitas tersebut. Maka, harus ada tahapan atau hal yang dipelajari sebelum sampai ke tahap "kooperatif ideal" seperti yang direncanakan.


Karena ini adalah "permainan", tentu kita bisa mengadopsi pendekatan teori tentang permainan interaksi sosial untuk anak. Mari kita pinjam 6 tahap perkembangan "permainan" anak yang diperkenalkan sosiolog Amerika, Mildred Parten (Bernstorf, 2012). 


Dijelaskan Parten, bahwa tahapan "permainan kooperatif" bagi anak adalah tahapan terakhir dan "paripurna". Sebelum menuju ke tahapan permainan kooperatif, anak-anak mesti melewati 5 tahapan lain, yakni;

  1. permainan tanpa tujuan: ditujukan untuk mengenali diri sendiri, potensi diri, dan mengembangkan kemampuan diri
  2. permainan soliter: ditujukan untuk mulai menggunakan kemampuan dan potensi diri untuk mencapai suatu tujuan pribadi.
  3. permainan pengamat: ditujukan untuk menyadari adanya lingkungan sosial di sekitarnya, mengenali orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun tidak ada interaksi, hanya mengamati dan mengenali.
  4. permainan paralel: ditujukan untuk mengamati dengan lebih intensif, juga tanpa interaksi. Saat ini, individu akan mulai memelajari aturan, kondisi, dan sebagainya di sekitarnya.
  5. permainan asosiatif: dalam permainan ini, masing-masing individu mulai berinteraksi. Lebih dari itu, setiap individu juga akan mulai berkomunikasi, berkolaborasi, dan akhirnya memahami satu sama lainnya.


Setelah 5 tahapan itu dilalui, baru seorang individu bisa dengan nyaman menginjeksikan diri ke dalam sebuah komunitas. Masalah yang sering menimpa grup atau komunitas terjadi karena lima tahapan sebelum tahap kooperatif masih belum dibiasakan pada setiap individu dalam grupnya. Seseorang yang tidak begitu tahu potensi dirinya, ketika bergabung dengan komunitas yang sudah punya visi absolut, baru akan menyadari dirinya cocok atau tidak cocok dengan komunitas tersebut setelah menjalani selama bertahun-tahun. 


Bila kita adopsi pendekatan Parten, maka untuk level "permainan kooperatif" yang lebih kompleks dan rumit (seperti komunitas atau grup), maka ada 5 tingkatan yang perlu dipelajari seorang individu sebelum berkomunitas.

  1. individu tersebut telah mengenali dirinya sendiri, potensi diri, dan terus mengembangkan kemampuan diri,
  2. individu tersebut telah mampu menggunakan kemampuan dan potensi diri tersebut untuk suatu tujuan,
  3. individu tersebut telah mampu mengamati dan menyadari situasi sekeliling, dan mempelajarinya dengan cepat.
  4. individu tersebut telah mampu melakukan pengamatan yang lebih intensif, sekaligus mempelajari apa saja visi, aturan, kondisi, dan sebagainya dari situasi sekeliling
  5. individu tersebut telah mampu berinteraksi dengan tim, berdiskusi, berkomunikasi, dan berkolaborasi dalam satu tujuan


Setelah individu tersebut mampu atau mendapatkan pelatihan lima tahapan tersebut, maka proses dalam komunitas bisa berjalan dengan baik. Tanpa lima tahapan itu, maka yang terjadi adalah pemaksaan keinginan pribadi, egois, rencana tanpa aksi, aksi tanpa rencana, saling tidak peduli, individualis, dan hal-hal yang merusak tatanan "permainan kooperatif" tersebut.


Kurangnya kebiasaan berinteraksi dan mengamati satu sama lainnya, membuat setiap individu di dalam satu komunitas akan sibuk untuk menyelamatkan diri sendiri, alih-alih menyelamatkan komunitas. Problem yang dibicarakan di awal artikel ini, menurut saya, adalah buah dari kegagalan melihat keunikan setiap individu di dalam satu komunitas, untuk dipaksakan mencapai "visi spesifik" dari suatu grup.

Ads