Kejahatan Strata Sosial Terhadap Seniman -->
close
Pojok Seni
27 March 2024, 3/27/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-03-27T01:00:00Z
Artikel

Kejahatan Strata Sosial Terhadap Seniman

Advertisement
Lukisan karya seniman muda Indonesia, Roby Dwi Antono
Ilustrasi: Lukisan karya seniman muda Indonesia, Roby Dwi Antono


Oleh:  Zackir L Makmur*


Kejahatan strata sosial terhadap seniman merupakan fenomena yang mencerminkan perlakuan tidak adil dan penindasan terhadap para seniman di Indonesia. Aspek utama dari kejahatan ini, yang meliputi masalah ekonomi, penolakan sosial, eksploitasi intelektual, dan masalah keamanan fisik dan psikologis yang dihadapi oleh para seniman –dapat ditelusuri dengan gamblang.


Salah satu contoh yang mencolok dari kejahatan strata sosial terhadap seniman di Indonesia, adalah perlakuan tidak adil dalam bidang ekonomi. Banyak seniman Indonesia terkenal mengalami kesulitan finansial yang parah, meskipun karya-karya mereka memiliki nilai artistik yang tinggi. Sementara badut –yang menyebut dirinya komedian—yang selalu tampil tanpa kreasi dan tanpa otak di berbagai televisi, dibayar alangkah amat mahalnya.


Inilah negeri yang begitu tragis, di mana banyak seniman tradisional seperti pelukis wayang, atau pengrajin ukiran kayu, di daerah-daerah terpencil masih hidup dalam kondisi kemiskinan yang ekstrim, meskipun karya-karya mereka sangat dihargai. Belum lagi dibarengi pula menghadapi penolakan sosial dan stigmatisasi. 


Tambahan pula pada masa kini, masih ada pandangan bahwa pekerjaan seni tidaklah serius atau tidak menghasilkan, terutama di kalangan masyarakat yang lebih konservatif. Padahal eksploitasi intelektual menjadi masalah serius di kalangan seniman Indonesia. Banyak seniman di Indonesia yang terpaksa menyerahkan hak cipta, atau menerima pembayaran yang tidak sebanding dengan nilai karya mereka. Seniman-seniman ketika bekerja sama dengan industri kreatif –justru tidak mendapatkan royalti yang adil dari karya mereka yang sukses.


Belum lagi masalah keamanan fisik dan psikologis menjadi konsekuensi dari kejahatan strata sosial terhadap seniman di Indonesia. Banyak seniman di Indonesia menjadi korban kekerasan fisik, atau ancaman, karena karya seni mereka dianggap kontroversial atau mengganggu kepentingan tertentu. Seniman-seniman yang dianiaya atau ditahan, oleh pihak berwenang karena kritik mereka terhadap pemerintah atau institusi tertentu bukanlah barang di negeri yang terkenal ramah dan penuh senyum ini.


Dianggap Tidak Penting Dalam Masyarakat 


Karya seni seringkali dianggap sebagai hal yang "non-essential" atau tidak penting dalam masyarakat yang lebih mengutamakan nilai-nilai pragmatis. Seniman juga seringkali dihadapkan pada stereotip sebagai individu yang eksentrik atau tidak stabil secara emosional, yang menyebabkan mereka dijauhi atau bahkan tidak dihargai oleh masyarakat umum.


Kejahatan strata sosial terhadap seniman juga tercermin dalam bentuk eksploitasi intelektual. Seniman sering kali dipaksa untuk menyerahkan hak cipta atau mengorbankan karya seni mereka demi keuntungan finansial pihak lain, seperti produser atau penerbit. Ini menciptakan ketidakadilan yang mendalam, di mana seniman kehilangan kendali atas karya-karya mereka sendiri dan tidak mendapatkan pengakuan atau penghargaan yang layak atas kontribusi mereka.


Banyak seniman di Indonesia merasa terpinggirkan karena minimnya penghargaan ekonomi terhadap karya seni mereka. Mereka sering menghadapi kesulitan dalam memperoleh penghasilan dari bakat kreatif mereka, karena bayaran yang diterima tidak sebanding dengan nilai karya seni yang dihasilkan. Ironisnya, terdapat kasus-kasus di mana seniman dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa secara ekonomi, yang berujung pada kemiskinan, ketidakstabilan finansial, dan kesulitan dalam mendapatkan sumber daya yang diperlukan untuk berkembang sebagai seniman.


Tantangan tersebut nyata terjadi di berbagai bidang seni di Indonesia. Misalnya, banyak seniman lukisan, patung, atau seni rupa lainnya masih mengalami kesulitan dalam memasarkan karya-karya mereka dengan harga yang pantas. Mereka sering bersaing dengan barang seni impor yang lebih murah atau tidak mendapat perhatian di pasar seni lokal yang cenderung memilih tren atau gaya tertentu.


Selain itu, seniman musik, teater, atau seni pertunjukan sering menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan. Meskipun mereka sering tampil dalam acara-acara besar atau mendapatkan perhatian media, bayaran yang mereka terima seringkali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak seniman musik, terutama di daerah terpencil, masih hidup dalam kondisi kemiskinan yang ekstrim, meskipun mereka mungkin populer atau meraih prestasi dalam dunia seni.


Ketidakadilan ekonomi ini juga berdampak pada proses kreatif dan perkembangan seniman. Banyak seniman di Indonesia terpaksa mengorbankan visi atau nilai artistik mereka demi mendapatkan keuntungan finansial. Mereka mungkin harus menyesuaikan gaya atau isi karya mereka agar lebih "komersial" atau sesuai dengan selera pasar, yang pada akhirnya dapat mengurangi keragaman dan kualitas dalam seni Indonesia.


Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus lebih menghargai dan mendukung para seniman lokal. Dukungan ekonomi yang lebih baik, seperti pembayaran yang adil atas karya seni dan akses yang lebih mudah ke pasar seni, dapat membantu para seniman untuk berkembang dan berkontribusi secara lebih signifikan dalam kehidupan budaya dan sosial Indonesia.


Struktur Sosial Memprioritaskan Kekuasaan


Dalam struktur sosial yang memprioritaskan kekuasaan dan hierarki, kontribusi seniman selalu dianggap tidak sesuai atau bahkan mengganggu kepentingan yang ada. Banyak seniman kontemporer yang menciptakan karya-karya yang mengkritik kebijakan pemerintah, atau norma-norma sosial yang ada, dibungkam atau dikucilkan. Di dunia, seniman-seniman seperti Ai Weiwei dari Tiongkok, atau Shirin Neshat dari Iran, sering mengeksplorasi isu-isu politik dan sosial melalui karya-karya mereka yang kontroversial –acapkali diburu bagai babi. 


Sementara itu (sejumlah) seniman di Indonesia seringkali menghadapi tantangan serius dalam menjalankan karyanya, terutama dalam bidang musik dan seni pertunjukan. Pertunjukan pentas seni karya Butet Kartaredjasa dan Agus Noor mendapatkan intimidasi dari kepolisian. Pertunjukan teater bertajuk "Musuh Bebuyutan" itu digelar di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023), boleh pentas asalkan Butet menandatangani surat pernyataan oleh polisi. Menurut catatan Koalisi Seni ada 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022 dan diperkirakan masih ada kasus-kasus lain yang tak terdata. Ini mencederai hak publik untuk berkesenian dan mengakses seni.


Belum lagi penindasan terhadap ekspresi seni lainnya, dan ini menjadi kisah umum di tengah masyarakat. Berbagai kasus menunjukkan bahwa karya seni yang dianggap menciptakan ketidaknyamanan, atau menentang kekuasaan yang ada, dapat mengakibatkan konsekuensi serius bagi para seniman. Bukan Butet saja malahan seniman-seniman Indonesia selama orde baru begitu mengerikan diintimidasi, pembredelan, dan pembubaran paksa. 


Masyarakat masih ingat bagai penyair WS Rendra, Ratna Sarumpaet, dan Nano Riantiarno mencerminkan kesulitan berkarya pada masa tersebut. Pada Desember 1977, pembacaan puisi Rendra yang dianggap memprovokasi mahasiswa menyebabkan penangkapannya dan pengawasan ketat terhadap Bengkel Teater Rendra. Karya teater "Marsinah Menggugat" karya Ratna Sarumpaet mengangkat isu perjuangan buruh perempuan yang dicekal oleh aparat pada 1997. Teater Koma juga mengalami masa gelap saat pementasan mereka dicekal oleh pihak berwenang di Indonesia dan di luar negeri, seperti di Jepang. Ini menunjukkan kendala dan tekanan yang dihadapi seniman selama Orde Baru dalam berkarya.


Sementara itu dalam dunia musik Indonesia, beberapa seniman telah dilarang atau diintimidasi oleh pihak berwenang atau kelompok tertentu karena karya-karya mereka dianggap kontroversial. Misalnya, beberapa band atau musisi –antara lain Iwan Fals-- yang menciptakan lirik-lirik yang mengkritik kebijakan pemerintah, atau menyuarakan isu-isu sosial, seringkali menjadi target sensor atau pembatasan penyebaran karyanya. Larangan penampilan di acara-acara publik, atau bahkan penutupan tempat pertunjukan, telah menjadi kenyataan yang dihadapi oleh beberapa seniman.


Kondisi ini mencerminkan betapa kompleksitas dalam kebebasan berekspresi seniman di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki keragaman budaya yang kaya, namun batasan-batasan terhadap ekspresi seni seringkali menjadi hambatan bagi para seniman untuk berkarya secara bebas. Terutama di era digital saat ini, di mana akses terhadap berbagai jenis karya seni menjadi lebih mudah, penindasan terhadap ekspresi seniman semakin terlihat. Maka dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, penting bagi masyarakat untuk mendukung keberagaman suara dalam seni dan memperjuangkan hak para seniman untuk berekspresi secara bebas. Keterbukaan terhadap beragam perspektif dan pemahaman akan memperkaya budaya seni Indonesia dan memastikan keberlanjutan ekspresi kreatif dalam masyarakat yang demokratis dan inklusif.


Hambatan Seniman Jadi Legislatif


Sementara itu di sisi lainya terjadi begitu masif hambatan-hambatan yang dihadapi seniman dalam meraih posisi di lembaga legislatif atau eksekutif. Hal ini bisa berasal dari stereotip atau prasangka terhadap seniman sebagai individu yang kurang memiliki kemampuan atau pengalaman yang diperlukan dalam politik. Hal ini dapat mengakibatkan diskriminasi atau pengabaian terhadap aspirasi politik seniman, sehingga menjadikan langkah maju dalam karir politik menjadi sulit bagi para seniman.


Lantas persepsi negatif terhadap seniman dalam konteks politik, juga dapat memperkuat pandangan bahwa para seniman tidak berkualitas atau tidak mengerti apa-apa. Pandangan ini dapat menghambat penghargaan mereka sebagai pemimpin atau pembuat keputusan yang mampu dan kompeten. Selain itu, mengabaikan partisipasi politik seniman dapat berdampak merugikan, baik bagi masyarakat maupun bagi perkembangan demokrasi secara keseluruhan. 


Seniman seringkali memiliki wawasan unik dan sensitivitas terhadap isu-isu sosial dan budaya, yang mana hal ini dapat memperkaya diskusi politik dan memperluas perspektif yang dihadirkan dalam proses pengambilan keputusan. Maka tidak mengakomodasi kehadiran seniman dalam politik juga dapat mengurangi representasi yang memadai dari beragam kelompok masyarakat, menyempitkan cakupan pengalaman yang dihadirkan dalam proses pengambilan keputusan, dan meningkatkan risiko adanya bias dalam pembuatan kebijakan.


Oleh karena itu, penting bagi struktur sosial negara untuk mengakui nilai dan kontribusi seniman dalam politik, serta memastikan bahwa mereka memiliki akses yang setara dan dihargai dalam proses politik. Hal ini tidak hanya akan memberikan manfaat bagi seniman dan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga akan memperkuat integritas dan representasi demokrasi dalam masyarakat.


Kini, Bongkar Kejahatan Strata Sosial


Kini, di tengah keruwetan struktur sosial yang telah lama terbentuk, suara-suara bangkit menyerukan untuk mengungkap dan menangani tuntas kejahatan-kejahatan yang menghantui lapisan-lapisan sosial kita. Tantangan ini menggugah untuk membuka tabir ketidakadilan yang tersembunyi di balik hierarki sosial yang ada. Saatnya bagi kita untuk menghadapi realitas yang pahit ini, dan melangkah tegas menuju keadilan dan kesetaraan.


Dari tu kita harus memahami dengan mendalam apa yang dimaksud dengan "kejahatan-kejahatan strata sosial". Ini mencakup berbagai bentuk ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan yang dialami oleh individu atau kelompok tertentu sebagai hasil dari posisi mereka dalam struktur sosial yang tidak seimbang. Ini bisa meliputi eksploitasi ekonomi, marginalisasi sosial, diskriminasi rasial atau gender, serta segala bentuk ketidaksetaraan yang memperkuat kesenjangan sosial.


Salah satu aspek yang sangat penting untuk disingkap adalah ketidaksetaraan ekonomi yang merajalela dalam strata sosial. Banyak yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk ditinggalkan, sementara sebagian kecil menikmati kekayaan yang berlimpah. Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi yang menyakitkan, tetapi juga mengakibatkan kerentanan sosial dan ketidakstabilan yang meluas di masyarakat.


Tak hanya itu, diskriminasi sosial juga merupakan kejahatan strata sosial yang harus diungkap. Terlalu sering, individu atau kelompok tertentu dianggap memiliki nilai yang lebih rendah atau tidak layak mendapatkan hak-hak yang sama dalam masyarakat. Hal ini bisa terjadi di tempat kerja, dalam pendidikan, layanan kesehatan, dan dalam interaksi sosial sehari-hari. Maka dari ini untuk menyingkap ketidakadilan sistemik yang terkait dengan identitas rasial, gender, atau etnis. Diskriminasi struktural ini telah menyebabkan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya bagi individu dan komunitas yang terpinggirkan, serta menghalangi kemajuan menuju kesetaraan yang sejati.


Membongkar kejahatan-kejahatan strata sosial, memang, bukanlah perkara yang mudah. Ini memerlukan komitmen bersama untuk mengubah sistem yang telah memupuk ketidakadilan selama bertahun-tahun. Langkah-langkah konkret seperti reformasi kebijakan, penegakan hukum yang adil, pendidikan publik yang inklusif, dan pemberdayaan komunitas adalah beberapa langkah awal yang dapat diambil. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, setara, dan inklusif bagi semua individu.


Penting untuk menyadari bahwa kejahatan strata sosial juga mencakup pengabaian terhadap hak-hak asasi manusia dan perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok-kelompok rentan. Misalnya, orang-orang dengan disabilitas seringkali menghadapi hambatan akses ke layanan dan kesempatan yang sama dalam masyarakat, sehingga terpinggirkan secara sistematis. Begitu pula dengan komunitas minoritas etnis atau agama yang rentan menjadi korban intoleransi dan kekerasan atas dasar identitas mereka.


Harus diakui bahwa kejahatan strata sosial tidak hanya terjadi dalam skala individu, tetapi juga bersifat struktural. Sistem politik, ekonomi, dan sosial sering kali dirancang untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu dan menjaga status quo yang menguntungkan mereka, sementara merugikan yang lain. Ini menciptakan siklus ketidakadilan yang sulit untuk dipecahkan tanpa adanya perubahan yang mendasar dalam struktur masyarakat.


Oleh karena itu, untuk benar-benar mengatasi kejahatan strata sosial, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Ini melibatkan tidak hanya penegakan hukum dan reformasi kebijakan, tetapi juga perubahan budaya dan kesadaran masyarakat. Kita perlu membangun solidaritas dan empati di antara semua anggota masyarakat, serta memastikan bahwa keadilan dan kesetaraan menjadi prinsip utama dalam setiap aspek kehidupan sosial dan politik. Hanya dengan upaya bersama dan komitmen yang kokoh, kita dapat membongkar kejahatan strata sosial dan menciptakan masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi semua.


Saatnya bagi kita untuk bersatu dan bersama-sama menghadapi tantangan yang dihadirkan oleh kejahatan-kejahatan strata sosial. Dengan membongkar ketidakadilan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, setara, dan inklusif bagi semua individu. Langkah pertama adalah mengakui keberadaan masalah ini dan bersama-sama bergerak maju untuk mencapai perubahan yang diperlukan. ***


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads