Bagaimana Seharusnya "Melihat" Naskah Drama: Sebagai Sastra atau Sebagai Teater? -->
close
Adhyra Irianto
08 March 2024, 3/08/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-03-08T01:00:00Z
ArtikelBeritaUlasan

Bagaimana Seharusnya "Melihat" Naskah Drama: Sebagai Sastra atau Sebagai Teater?

Advertisement
Bagaimana seharusnya membaca naskah drama?


Oleh: Adhyra Irianto


Sejak dulu, saya menemukan satu hal yang menarik tentang naskah drama. Naskah drama ini merupakan hal yang paling penting bagi dua jenis seni dengan media berbeda; sastra dan teater. Bagi sastrawan, naskah drama adalah karya sastra. Bagi teaterawan, naskah drama adalah blueprint dari sebuah pertunjukan.


Perbedaan pandangan ini mendasari dua cara melihat naskah drama yang sangat berbeda dari kedua "kubu". Anda mungkin pernah mendengar bahwa "teater" itu adalah subdivisi dari "sastra". Sedangkan bagi "teater", sastra itu adalah seni berbahasa atau seni dengan media bahasa. Dengan atau tanpa "sastra", pertunjukan teater tetap bisa dilakukan.


Ingat bagaimana pertunjukan teater tradisional di Indonesia yang berjalan tanpa naskah. Sedangkan pertunjukan teater tubuh misalnya, menggunakan naskah berupa "rentetan peristiwa" alih-alih kata-kata.


Tapi, bagaimana cara melihat drama sebagai sastra dan sebagai teater? 


Drama sebagai Sastra


Dalam berbagai sumber literatur, seperti Penguin Dictionary of Literary Terms (ditulis oleh J.A Cuddon), Glossary of Literary Terms (disusun oleh M.H Abrams), Dictionary of Classical Literature (disusun oleh Harper & T. Shipley), the Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics, serta sejumlah buku lainnya yang memuat "apa itu sastra" semuanya menyebut (naskah) drama sebagai karya sastra.


Sebagai orang yang dulunya belajar sastra Inggris, maka saya harus mengatakan bahwa hingga saat ini naskah drama masih tetap diperlakukan sebagai karya sastra. Tidak hanya di Indonesia, tapi seingat saya ada sejumlah profesor sastra dari luar negeri yang juga tetap memperlakukan karya naskah drama sebagai sebuah karya sastra. 


Karena itu, kata-kata adalah "dewa". Seorang penulis naskah drama akan marah bila seseorang memotong, menambal, mengurangi, mengubah, mengadaptasi, atau menginterpretasikan sebuah naskah yang berlawanan dengan "kehendak" penulisnya.


Drama sebagai Teater


Dalam seni teater, naskah drama adalah blueprint sebuah pertunjukan. Semua yang ada di dalam naskah drama, semuanya ditujukan untuk dibaca oleh sutradara, aktor, dramaturg, performer, kru, penata artistik, dan sebagainya. Yah, baik dialog maupun petunjuk laku, suasana terberi (given circumstances) yang ada di dalam naskah, semuanya ditujukan untuk performer.


Sedangkan penikmat drama, akan menyaksikannya dalam bentuk sebuah pertunjukan dengan segala atmosfer dan dimensinya di atas panggung. 


Karena itu, pertunjukan adalah "dewa". Seorang sutradara akan dengan bebas memotong, menambal, mengurangi, mengubah, mengadaptasi, atau menginterpretasikan sebuah naskah dengan tujuan menciptakan sebuah pertunjukan yang baik.


Lewat dua premis tersebut, langsung terlihat di mana hal yang berlawanan, bukan?


Buku "Drama dalam Dua Dimensi" yang ditulis Prof Hassanudin WS, murni memandang drama dalam perspektif sastrawan. Hingga, Hasanudin WS berpendapat bahwa, "naskah yang baik secara bacaan belum tentu menjadi pertunjukan yang baik, demikian pula sebaliknya."


Di sini letak masalahnya. 


Bagi orang teater, pertunjukan yang baik akan berasal dari naskah yang baik. Naskah yang baik pun mesti dipotong sana-sini, dieksplorasi, dieksploitasi, dan dicari berbagai kemungkinan dalam konteks pertunjukan.


Dan sebagai seorang yang menimba ilmu sastra di strata I, lalu menimba ilmu teater di strata II, saya melihat titik masalahnya. Mari kita ulas secara perlahan.


Bagaimana Seharusnya Melihat Naskah Drama?


Drama sebagai sastra, tidak memasukkan naskah drama sebagai bagian dari puisi, juga prosa. Mereka (akademisi sastra) dalam pandangan tradisional membagi sastra menjadi tiga divisi besar; puisi, prosa, dan drama.


Kenapa dibagi tiga? Karena ketiganya dilihat secara berbeda. Dengan kata lain, kita tidak bisa melihat naskah drama dengan cara melihat puisi, atau dengan cara melihat prosa. Melihat naskah drama mesti dengan cara yang berbeda. 


Dengan cara apa? Yah, melihat sebagai blueprint sebuah pertunjukan.


Harus diakui, irisan antara sastra dan teater menjadi sangat "intim" berkat naskah drama. Meski intim, tetap saja keduanya adalah "insan" yang berbeda.


Sastra adalah dimensi tekstual, sedangkan teater adalah dimensi atmosferal. Itu yang dikatakan seorang akademisi teater asal Bandung, Benny Johanes. Pernyataan itu sebenarnya sudah memberikan distingsi yang tegas di antara keduanya.


Apa bukti yang menguatkan pernyataan tersebut? Seperti ini, bila naskah drama adalah blueprint sebuah pertunjukan, maka skenario film adalah blueprint dari sebuah karya film, bukan?


Pertanyaannya, kenapa skenario film TIDAK dikategorikan sebagai karya sastra?


Mari lihat contoh potongan skenario film di bawah ini: 


Contoh potongan skenario film


Terlihat jelas bahwa potongan skenario di atas, TIDAK untuk dibaca oleh khalayak umum. Penonton tidak akan tertarik membaca skenario, karena memang bukan begitu "cara menikmatinya". 


Bisa kita katakan bahwa; skenario film hanya untuk dibaca oleh sutradara, kameramen, sinematografer, aktor, penata skeneri, penata cahaya, dan sebagainya.


Itu alasan utama, kenapa skenario tidak dimasukkan dalam kategori karya sastra. Namun, skenario film adalah salah satu bentuk perkembangan dari naskah drama. Mari lihat contoh potongan naskah drama berikut ini:



Naskah di atas adalah pembuka naskah legendaris karya Samuel Beckett, Waiting for Godot. Apakah teks ini "dibuka untuk umum"? Atau hanya untuk dibaca oleh sutradara, aktor, dramaturg, penata artistik, dan kru?


Jawabannya sama. Baik skenario film maupun naskah teater bukan ditujukan untuk dibaca oleh "khalayak umum". Meminjam terminologi Stanislavsky, penonton datang ke panggung teater untuk menonton "subteks", bukan teks. Karena kalau menonton teks, mereka harusnya membaca naskah dramanya saja, alih-alih menonton pertunjukan teater.


Begitu juga yang dilakukan pada skenario film. Penonton datang ke bioskop untuk menonton "subteks" bukan teks. Mereka hanya perlu membaca skenario saja kalau ingin menonton teks.


Maka, sebuah naskah drama masih belum selesai sebagai naskah drama bila belum dipentaskan. 

Sebuah naskah drama masih belum selesai sebagai naskah drama bila belum dipentaskan. 


Teater sebagai sastra, atau sastra sebagai teater?


Bagi orang sastra, teater adalah bagian dari sastra. Bagi orang teater, sastra (dalam hal ini, naskah drama) adalah unsur pendukung bagi teater. Bagaimana menarik jalan tengahnya?


Yah, naskah drama (sebagai karya sastra) dibaca dengan cara yang berbeda dari puisi, dan prosa. Naskah drama dibaca sebagai sebuah blueprint pertunjukan. Maka, siapapun yang membacanya (selain yang akan mengkaji naskah secara tekstual) berarti membacanya dengan cara membayangkan bentuk pertunjukannya. Itu juga berarti, membaca naskah drama berarti mempersiapkan sebuah pertunjukan teater. 


Membaca naskah drama dimulai dengan proses analisis; motif, karakteristik, sifat, harapan, dan suasana terberi.


Hasil analisis tersebut dijadikan modal untuk membangun sebuah tokoh. Bisa jadi ada kata-kata yang diubah, dipotong, diganti, dan sebagainya. Karena itu memang tujuan dari "analisis naskah drama".


Lihat bagaimana sebuah teks naskah setelah dilakukan analisis, seperti ini jadinya:


naskah drama setelah dianalisis


Dicoret di sana-sini, ada kata yang diganti, ada tambahan, ada pengurangan, dan sebagainya. Kenapa? Karena tujuan utamanya adalah menghidupkan "dimensi atmosferal" yang menjadi inti dari seni teater.


Karena itulah, ketika Anda melihat bagaimana Edward Albee (seorang penulis naskah dan skenario) mengubah sebuah novel (karya prosa) berjudul Who's Afraid of Virginia Woolf menjadi sebuah pertunjukan drama yang memukau. Anda harus melihat bagaimana Edward Albee "mengacak-acak" novel tersebut demi membangun dimensi atmosferalnya dengan sempurna.


Sebagai seseorang yang pernah menyutradarai pertunjukan teater, maka saya harus memberi ilustrasi cara membaca naskah drama. Menariknya, saya juga pernah bekerja sebagai jurnalis bagian investigasi kriminal. Hasilnya, saya melihat kemiripan membaca naskah drama dengan investigasi sebuah kejadian, daripada analisis dengan "alat" sastra.


Misalnya ada adegan sebuah bus terbalik di atas panggung. Maka, pertanyaan pertama saya adalah, kenapa dan bagaimana bus ini bisa terbalik? Apa yang terjadi pada para korbannya? Kenapa ini bisa terjadi? Apakah ada sabotase atau semacamnya? Dan pertanyaan setipe yang sering ditanyakan jurnalis investigasi.

 

Selanjutnya, saya akan memelajari dan menganalisis naskah untuk mendapatkan jawaban tersebut. Mesti dilakukan analisis kritis pada setiap "jengkal" naskah, dan bila ditemukan ada hal yang kurang membangun alur, kurang mendukung karakter, maka bagian tersebut tidak jarang harus DIBUANG.


Karena naskah drama adalah milik penulis. Tapi pertunjukan teater adalah milik sutradara, aktor, dramaturg, penata artistik, dan para kru yang terlibat. Penulisnya sudah tinggal duduk saja melihat bagaimana proses alih wahana dilakukan oleh para pekerja seni lintas disiplin. 

Ads