"Kosong adalah Isi, Isi adalah Kosong": Dekonstruksi dan Absurditas Hidup -->
close
Pojok Seni
12 June 2023, 6/12/2023 03:46:00 AM WIB
Terbaru 2023-06-11T20:46:42Z
Artikel

"Kosong adalah Isi, Isi adalah Kosong": Dekonstruksi dan Absurditas Hidup

Advertisement
Biksu Tong yang asli, yakni Xuanzhang
Biksu Tong yang asli, yakni Xuanzang

Oleh: Adhyra Irianto

Pojok Seni - Kosong adalah isi, isi adalah kosong merupakan salah satu pernyataan yang terkenal diucapkan oleh Biksu Tong, dari roman terkenal berjudul Journey to the West (Perjalanan ke Barat). Biksu Tong yang sebenarnya bernama asli Xuanzang, melakukan perjalanan ke barat mengambil kitab suci pada tahun 629 Masehi. Kisah ini yang kemudian ditulis dengan tambahan tiga makhluk siluman yang menemani Biksu Tong, salah satu yang paling terkenal adalah Sun Go Kong, alias kera sakti.


Kisah perjalanan ke barat adalah kisah perjalanan Biksu Xuanzang ke tempat kelahiran Sang Buddha di India, yang tidak direstui oleh pemerintahan Dinasti Tang. Hasilnya, Biksu Xuanzhang tetap nekat melakukan perjalanan "ilegal" seorang diri. Beruntung, ia didukung oleh raja di daerah Turfan (salah satu kota di timur Xinjiang), yang memberikannya 25 orang pengawal dan empat orang biksu untuk menemani Biksu Xuanzhang.


Pernyataan "Kosong adalah Isi, Isi adalah Kosong" didapatnya setelah memperdalam agama Buddha dari seorang pemikir (juga guru besar Buddha) bernama Silabhadra, di Biara Nalanda, di India. Waktu itu, Biara Nalanda merupakan pusat studi agama Buddha terbesar di dunia saat itu. Catatan sejarah mengungkapkan, Biksu Tong tiba di tujuan aslinya (Biara Nalanda) pada tahun 635. Itu berarti, ia menghabiskan waktu sekitar 4 tahun untuk melakukan perjalanan dari Tiongkok ke India.


Kosong adalah isi, Isi adalah Kosong


Adakah gelap bila tidak ada terang? Pertanyaan tersebut akan mengarahkan kita ke jawaban yang sama. Gelap tidak akan pernah ada bila tidak ada terang. Begitu juga sebaliknya. Karena gelap merupakan kondisi yang dihasilkan dari ketiadaan cahaya. Sedangkan terang merupakan kondisi yang dihasilkan dari banyaknya cahaya.


Untuk memahami "Isi adalah Kosong, Kosong adalah Isi" kita mulai dari menelusuri asalnya. Kalimat "Kosong adalah isi, isi adalah kosong" ini berasal dari kitab Prajnaparamitahdraya Sutra alias Sutra Hati, yang merupakan pegangan bagi kaum Buddha, khususnya sekte Mahayana.


Konsep utamanya adalah, seperti kita melihat koin yang hanya ada satu, tapi perspektif kita melihatnya dalam dua sisi (angka dan lambang). Padahal, keduanya merupakan hal yang berasal dari dua titik yang sama. Maka bisa diartikan, konsep "kosong-isi" ini merupakan pemahaman dualistik dari cara orang zaman dulu menatap dunia.


Dalam pandangan pengikut sekte Mahayana, dunia ini tidak dualisme. tidak ada yang hitam, juga tidak ada yang putih. Putih atau hitam itu hanya perspektif manusia. Dalam pandangan post-modern, sebenarnya Dekonstruksi-nya Derrida adalah yang paling tepat untuk penggambaran "kosong-isi" ini. Bila distingsi antara "kosong" dan "isi" adalah sebuah bentuk oposisi binner, maka dalam dekonstruksi, keduanya adalah dua perspektif melihat satu realita.


Setengah kosong atau setengah isi?
Setengah kosong atau setengah isi?

Seperti ketika kita melihat gelas yang diisi air setengah. Maka akan muncul dua perspektif, yakni;


  • gelas setengah kosong
  • gelas setengah isi


Pertanyaannya, kapan kita melihat gelas itu sebagai "gelas setengah kosong", dan kapan pula kita melihat sebagai "gelas setengah isi"? 


Ternyata, motif yang memengaruhi perspektif. Bila motifnya ingin menambah isi air, maka ia akan berpendapat bahwa gelas itu setengah kosong. Sedangkan bila motifnya ingin meminum air, maka ia berpendapat bahwa gelas itu setengah isi. 


Namun faktanya, gelas setengah kosong dan gelas setengah isi tersebut adalah gelas yang sama. Motif dan perspektif yang menjadi dasar utama munculnya dua hal tersebut.


Kosong adalah Isi di Indonesia


Waktu pemikiran "kosong-isi" ini masuk ke Indonesia yang "berTuhan", maka "kosong-isi" ini digunakan untuk menjelaskan konsep "ketuhanan". Kosong ditujukan untuk menyebut Zat yang tidak bersifat, dalam perspektif fisikal. Isi ditujukan untuk menyebut zat yang bersifat, dalam perspektif metafisikal. Ini yang disebut oleh Prof Jakob Soemardjo dalam buku Estetika Paradoks sebagai sebuah paradoksal, karena kosong itu adalah isi, dan isi itu adalah kosong, karena keduanya berasal dari cara memandang zat yang sama.


Isi baru akan dianggap sakral, karena mengandung kekosongan. Situasi "keber-Adaan" juga mengandung kekosongan, sekaligus "isi". Kosong yang merujuk ke sesuatu "tidak bersifat" sejatinya adalah asal muasal dari semua "yang bersifat" (isi). Jakob Soemardjo mempostulasikan bahwa "kosong adalah isi" adalah bentuk pemikiran dualistik. Ketika tiba di Indonesia, khususnya di daerah persawahan, ladang, dan sebagainya, menghasilkan pasangan-pasangan, namun membutuhkan satu entitas tunggal yang diejawantahkan menjadi "dunia tengah".


Karena itu, baik 2 pasangan, 4 pasangan, hingga 8 pasangan, akan ditemani dengan "satu entitas tunggal" sebagai "pancer". Paradoksnya adalah, entitas pusat ini adalah "sesuatu" yang terlahir dari sejumlah "pasangan" yang lahir dari kondisi dualistik. Rumit, bukan?


Perang adalah proses "pengosongan", sedangkan pernikahan adalah proses "pengisian". Sedangkan "perang" dan "perkawinan" adalah dua hal yang terlahir dari pemikiran yang disebut Jakob Soemardjo sebagai dualistik itu. Mengutip St Yohanes dari abad pertengahan di Eropa, bahwa Tuhan adalah cahaya yang datang dari dirinya sendiri, sekaligus kegelapannya. Dia adalah kepenuhan, sekaligus kekosongan bagi diri pemeluknya.


Untuk mempermudah penjelasan, simak fakta ilmiah berikut.


Manusia membutuhkan oksigen untuk hidup dan membakar kalorinya menjadi tenaga. Tapi, oksigen yang menyebabkan "pelapukan" kulit, organ tubuh, dan tulang sehingga manusia menua dan akhirnya mati. Itu berarti, apa yang dilakukan manusia untuk "mengisi" sebenarnya juga "mengosongkan" dalam waktu bersamaan.


Atau, bagaimana dengan perumpamaan ini.


Seseorang yang "berisi" ilmu di kepalanya sehingga tidak "tertarik" untuk mendapatkan ilmu dari orang lain. Hasilnya tidak akan beda dengan seseorang yang "kosong" ilmu di kepalanya, sehingga tidak "mampu" untuk mendapatkan ilmu dari orang lain.


Dalam kasus yang lebih luas, bisa disimpelkan dengan pernyataan bahwa apa pun yang kita indrai (lihat, dengar, cium, dan rasakan) sebenarnya adalah hal yang semu. Karena hal yang riil justru adalah apa yang tidak terdeteksi oleh panca indera. Intinya adalah, pernyataan kosong adalah isi dan isi adalah kosong meminta kita untuk lebih memperdalam dan memperhalus "rasa" ketimbang panca indera. Kita merasakan sesuatu yang kita anggap "ada", justru dengan apa yang tidak bisa di-indra-kan oleh panca indera. Alias, kita merasakan "isi" justru dengan melihat "kosong". 


Karena kita tahu dengan pasti, bahwa apa yang isi dan apa yang kosong sebenarnya berasal dari satu zat yang sama. Manusia yang merasakan Tuhan ada, secara bersamaan akan merasakan bahwa Tuhan itu tidak ada di sekitarnya. Sebaliknya, ketika ia merasa Tuhan itu tidak ada di sekitarnya, maka sebenarnya ia juga merasakan bahwa Tuhan itu ada. 

Ads