Absurdisme dan Nihilisme: Apa Perbedaan Keduanya? -->
close
Adhyra Irianto
09 September 2022, 9/09/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-09-09T01:00:00Z
ArtikelBeritaUlasan

Absurdisme dan Nihilisme: Apa Perbedaan Keduanya?

Advertisement
absurdisme


Pojok Seni - Sejumlah pembacaan terhadap absurdisme dan nihilisme, memang seakan-akan keduanya terdengar serupa. Apalagi, kita sudah familiar dengan teater absurd, tapi tak pernah mendengar istilah teater nihilis, bukan? Meskipun yang diangkat menjadi premis sebuah pertunjukan adalah pemikiran nihilis, tapi tetap saja pertunjukannya akan dianggap "teater absurd".


Berawal dari pemikiran itu, nihilisme dan absurdisme dianggap sebagai satu pemikiran yang sama dengan nama yang berbeda. Faktanya, nihilisme yang kerap dikaitkan dengan nama filsuf "pembunuh tuhan" yakni Fredrick Nitzche, memiliki perbedaan mendasar dengan absurdisme yang akan dilekatkan dengan nama filsuf tampan, Albert Camus.


Secara umum, keduanya memang mengangkat satu premis yang  mirip, yakni tujuan dan makna di dunia ini sebenarnya kurang (atau mungkin tidak ada sama sekali). Semua makna dan tujuan yang ada di dunia ini adalah persepsi subjektif dari seorang manusia, berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, dan pikirkan sejak kecil.


Jadi di mana letak perbedaannya? Mari kita bahas sekilas keduanya: nihilisme dan absurdisme.


Apa itu Absurdisme?


Albert Camus akan menjadi nama yang identik ketika membicarakan paham absurdisme ini. Sejumlah catatan menyebutkan bahwa Albert Camus sebagai "the absurd one", karena ia merupakan pencetus dan pendiri aliran ini.


Pokok pikiran dalam absurdisme ialah, alam semesta ini merupakan sesuatu yang sangat kacau, dingin, dan tidak punya makna sama sekali. Namun, kontradiksi muncul karena manusia yang tinggal di dalamnya sangat ingin sekali mencari makna hidupnya. Pencarian makna oleh pikiran manusia dan realitas alam ini menjadi suatu paradoks. Kontradiksi ini yang menjadi pikiran utama dalam absurdisme.


Absurdisme menawarkan tiga solusi untuk menghadapi realita alam semesta yang kacau dan dilematik ini. Pertama, bunuh diri. Kedua, bunuh diri filosofis. Dan ketiga, hidup berdamai dengan absurditas.


Opsi pertama adalah opsi yang cukup banyak dipilih, namun bukan hal yang disarankan. Mengakhiri kehidupan faktanya hanya meninggalkan masalah Anda pada orang-orang yang masih hidup. Maka, hidup Anda yang absurd akan menjadi semakin absurd. Seperti seorang lelaki yang hidup tertekan karena masalah ekonomi, lalu memilih bunuh diri. Masalah hutang yang ditinggalkannya hanya akan menjadi seperti tongkat estafet yang diterima oleh istri dan anak-anaknya, atau keluarga yang masih hidup.


Opsi kedua, disebut oleh Camus sebagai sebuah "lompatan iman". Caranya adalah mempercayai dan meyakini adalah "makhluk" lain yang jauh lebih kuat dan tinggi dari kita, yang nantinya akan memberi makna pada hidup kita. Kenapa Camus juga tidak menyarankan opsi ini? Karena kita harus mampu berpura-pura dengan ilusi "kebenaran" dan melupakan bagaimana kacaunya hidup yang sebenarnya. Tidak hanya itu, dengan seperangkat aturan dan "kode iman" yang dipaksakan pada orang-orang yang memilih opsi ini, membuat kita serasa bebas namun terbatas. Apa yang sebenarnya kita yakini, dan inginkan di dalam lubuk hati kita terdalam, justru ditekan dan dihilangkan bila memilih opsi kedua ini.


Opsi ketiga, ini yang disebut oleh Albert Camus sebagai "the hero", yakni dengan merangkul dan menerima absurditas hidup, menjadikan semuanya sebagai sebuah visi untuk mengejar apa yang sebenarnya kita inginkan. Apa yang ditawarkan kehidupan pada kita, mesti diterima dengan lapang dada. Anda tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dengan terlahir di keluarga Anda hari ini, dengan tingkat ekonomi tertentu, pandangan tertentu, keyakinan tertentu, dan sebagainya. Tapi, terima semuanya dengan bahagia, dan kejar apa yang kita impikan dan inginkan.


Sebagaimana buku terkenalnya, Mitos Sisipus, yang menceritakan seorang Sisipus (karakter dalam mitologi Yunani kuno) yang terus terjebak untuk menggulirkan batu-batu besar ke atas bukit batu. Ketimbang Sisipus mencoba lari dari "kewajibannya" kenapa tidak menjadikan "rutinitas yang sirkular" tersebut sebagai sebuah tantangan, dan menjalaninya dengan bahagia? Ketimbang terus mencoba mencari apa sebenarnya tujuan dari "menggulir batu" tersebut, kenapa tidak jalani kehidupan dengan bahagia dan menikmati setiap prosesnya? Bukankah, setiap hari kita selalu beranjak naik ke atas bukit meski cuma selangkah?


Sekarang, setelah membaca sekilas pokok pikiran dari absurdisme ala Camus, sekarang kita beralih ke Nietzche dengan Nihilisme-nya.


Apa itu Nihilisme?


Ada banyak jenis nihilisme, mulai dari nihilisme metafisik, nihilisme moral, nihilisme parsial, dan nihilisme eksistensial. Nihilisme yang paling melekat pada Friedrich Nietzsche adalah yang disebut paling terakhir. Ia bukan orang yang membidani lahirnya nihilisme, tapi namanya yang paling melekat dengan nihilisme tersebut. (Baca: Lahirnya Nihilisme Nietzsche yang Berdampak Besar Bagi Kesenian Abad ke-20)


Menurut Nietzsche, kehidupan ini berjalan tanpa makna atau nilai-nilai tersirat. Anggapan bahwa adanya makna dan nilai-nilai tersebut sebenarnya bermula dari keyakinan akan manusia merupakan "makhluk paling sempurna dan utama" di muka bumi. Padahal, seluruh spesies manusia dan makhluk hidup lainnya sama sekali tidak signifikan, dan "ada" tanpa sebuah tujuan tertentu.


Nietzsche memiliki sebutan yang mengerikan di Eropa, yakni "sang pembunuh tuhan". Karena, ia menyebutkan bahwa "makna hidup" dan "nilai-nilai" diturunkan dari Gereja (dan itu berarti turun dari Tuhan). Namun, ketika menyadari betapa tidak berartinya diri seseorang, maka ia akan putus asa. Seseorang yang mungkin sedang berada di dalam tekanan yang begitu keras, atau tak kunjung keluar dari kemiskinan, mendapatkan bencana, dan sebagainya, akan terpikir bahwa tuhan meninggalkan mereka.


Sebenarnya, kata Nietszche, kita dan semua makhluk di atas bumi ini yang tidak berarti. Maka dari itu, "sang pemberi arti" mesti "dibunuh" dari pikiran kita, agar tidak menganggap diri kita punya arti lebih. Hal itu justru hanya menekan kita untuk tidak berjuang dan mengatasi semua masalah yang menimpa kita, karena meyakini akan ada tangan tak terlihat yang akan menolong kita.


Nihilisme akan lahir ketika seseorang sudah tidak mempercayai makna apapun dalam hidupnya, dalam penderitaanya, dan juga dalam "keberadaannya" di atas bumi ini. Ketika semuanya sudah tampak tak ada makna sama sekali, dan berujung sia-sia, maka nihilisme akan muncul. Bila keadaan sudah seperti itu, dogma-dogma tertentu justru hanya akan menciptakan orang-orang yang depresi. 


Apakah Anda pernah berada dalam posisi tersebut? Posisi di mana Anda merasa sangat tidak berdaya, kehilangan arah, merasa tidak ada yang penting untuk diprioritaskan, dikejar, dan diimpikan dalam hidup?


Solusinya, menurut Nietzsche ialah menjadi active nihilism. Nihilisme aktif adalah orang-orang yang menghancurkan nilai-nilai "palsu" yang sudah dibangun oleh orang-orang terdahulu, dan membangun interpretasi makna dan keyakinan subjektif untuk diri kita sendiri. Hal itu disamakan oleh Neitzche dengan seorang perupa yang membuat patung dari batu atau kayu. 


Kepercayaan lama menganggap bentuk batu/kayu yang sudah "paten" tersebut memiliki makna tertentu, ditentang oleh "perupa" (sebagai seorang active nihilsm versi Nietzche). Ia membentuk sebuah bentuk yang baru, yang menurutnya jauh lebih bernilai, bermakna, dan memiliki tujuan tertentu, ketimbang bentuk yang awal.


Lawan dari active nihilsm adalah passive nihilsm, yang berarti orang-orang yang menyerah dan menginginkan ketiadaan (bunuh diri). Tulisan tentang active nihilsm oleh Nietzsche pada akhirnya memengaruhi gerakan eksistensialis di Prancis pada abad ke-20. Nama-nama besar seperti Jean-paul Sartre, Simon de Beauvoir, hingga Albert Camus adalah orang-orang yang merespon tulisan tersebut, sehingga menciptakan pemikiran-pemikiran yang lain dalam "nafas" yang sama.


Absurdisme bisa dikatakan sebagai salah dari respon terhadap tulisan Nietzche tersebut. Eksistensialisme dan absurdisme dalam kacamata filosofis juga tidak bisa disamakan, meski ada banyak benang merah di antara keduanya. Eksistensialis secara umum berpendapat bahwa dunia (secara interinsik) tidak memiliki makna, karena itu kita mesti menciptakan makna subjektif bagi diri kita sendiri dengan kombinasi antara freewill (kehendak bebas), kesadaran, tanggung jawab kepribadian, dan memperkaya diri dengan lebih banyak pandangan.


Meski demikian, deduksi yang diambil oleh pemikir eksistensialisme dan absurdisme terasa cukup berbeda. Tentang eksistensialisme, Anda bisa mencoba membaca sejumlah tulisan Adhyra Irianto tentang eksistensialisme di Pojokseni.com.


Lalu, Apa Beda Absurdisme dan Nihilisme?


Perbedaan antara absurdisme dan nihilisme yang paling kentara adalah, nihilisme dengan tegas menyebutkan tidak ada apa-apa, baik makna, maupun nilai-nilai tertentu dalam hidup. Maka usaha untuk mencari makna, termasuk menegaskan adanya makna adalah hal yang sia-sia. Filosofi dasar dari nihilisme berhenti di situ.


Sedangkan absurdisme, melanjutkannya Memang tidak ada makna objektif di dalam hidup, tapi makna subjektif bisa ditemukan. Bahkan mungkin walaupun makna subjektif tersebut juga sesuatu yang fana. Seperti bagaimana Camus menceritakan Sisipus yang menggulingkan batu ke atas bukit. Tapi, satu yang ditekankan adalah bagaimana Sisipus menikmati proses itu, dan apa yang akan diharapkan Sisipus dengan proses itu?


Absurdisme seakan memberi celah bagi "penganutnya" untuk tetap terlibat dengan sesuatu yang membuat kita bahagia, menciptakan sebuah "cita-cita", "impian" yang kemudian akan kita kejar dengan penuh pengorbanan. Meski demikian, absurdisme juga secara gamblang mirip dengan nihilisme aktif yang dicetuskan Nietzsche, bukan?


Kalau begitu, perbedaan kentaranya adalah. Nihilisme aktif justru lebih mirip dengan pemikiran eksistensialisme Sartre. Kita harus menghancurkan makna-makna lama yang dibuat oleh "orang lain" dan memenjarakan kita, menjadi sebuah makna baru yang membuat kita lebih bersemangat menjalani hidup yang kacau ini. 


Sedangkan absurdisme menginginkan kita benar-benar memperkuat diri dengan wawasan dan pengetahuan untuk membangun sebuah "makna subjektif". Hal itu bisa kita lakukan, menurut absurdisme, bila kita memang memilih opsi itu (dari tiga opsi yang diajukan Camus). Sebab, absurdisme menekankan bahwa kita harus menjadi seseorang yang berarti ketika kita hidup, sehingga "arti" tersebut yang akan kita tinggalkan ketika kita mati.


Referensi: 


  • Nietzsche, Friedrich, penerjemah Een Juliani. 2019. The Will to Power. Yogyakarta. Narasi.
  • Nietzsche, Friedrich, penerjemah Budi Anre. Seruan Zarathustra. Bodhidharma Pustaka. 
  • Nietzsche, Friedrich, translated by Helen Zimmerin. 1910. Human All-Too-Human, A Book for Free Spirits. Edinburgh. Morrison & Gibb Limited. 
  • Camus, Albert, penerjemah Justin O'Brien. 1991. The Myth of Sisyphus and Other Essays. London. Vintage.


Ads