Ihwal Kata (Puisi)? -->
close
Pojok Seni
21 December 2021, 12/21/2021 04:44:00 PM WIB
Terbaru 2021-12-21T09:44:19Z
ArtikelBerita

Ihwal Kata (Puisi)?

Advertisement

Oleh: Prof Yusmar Yusuf


Seni datang dalam dua paras; literer dan non-literer. Seni literer mengandalkan kata: Kuat kata, perkasa kata, indah kata, kecahayaan kata, sehingga mengisar akhir sebagai kata-kata cahaya dan cahaya kata-kata. Ihwal ini berlaku pada semua bangsa. Setiap bangsa memiliki puncak bahasa cahaya itu dalam mawar kata-kata. Karya seni literer mengandalkan sistem simbol lewat pemberian makna pada sebuah kata. Kehadiran sebuah kata, tidak semudah maknanya dengan sebuah perkataan. Sebuah kata adalah maujud dari perkataan baik verba maupun bentuk cetak fonetik dengan memikul sebuah ‘makna tambahan’. 


Pada bahasa yang berbeda, sebuah kata memiliki makna tambahan. Oleh sebab itu, untuk mempelajari dan menelaah karya literer (sastra); orang harus dan mesti mempelajari sebuah bahasa untuk memahami secara jeluk tentang apa yang sedang dikatakan. Sebuah Novel abad ke-11 dari Murasaki Shikibu, hanya bisa diapresiasi secara total jika kita memahami bahasa Jepang. 


Sebuah karya dramaturgi Moliere abad ke17, hanya bisa diapresiasi secara menukik kala kita memahami bahasa Perancis. Ihwal ini tak berlaku pada seni-seni lain (non-literer); seni musik, film, patung, lukis, tari. Tak ada genre seni lain, selain literatur (sastra) yang memiliki permasalahan seperti ini. Seorang Inggris atau Jepang bisa mengapresiasi musik Jerman, secantik apresiasi seorang Jerman, walaupun (bukan karena) mereka tak memahami bahasa Jerman. Seni patung Prancis dan Romawi yang handal itu, bisa diapresiasi orang Indonesia, tanpa harus mengerti bahasa Prancis dan bahasa Latin. 


Begitulah literatur (sastra), tampil dengan kata yang memiliki makna tambahan, ekstra, terkadang kata-kata dalam makna analogis. Ugahari malah memiliki makna langit (anagogis). Pada seni non-literatur, bentuk, warna dan nada tak memiliki makna tambahan. Yang dihidang dari bentuk, warna dan nada itu adalah ‘rasa’ (kalau enggan mengatakan makna). Memang terdapat banyak makna dari kata “makna” itu sendiri. Sebuah kata bernama “warna” hanya memikul simbol; merah menyimbolkan keberanian, emosi yang kuat, efek asosiasi kuasa. Pun  nada; ketika ditanya tentang apa arti dari D-minor? Dia menghidang efek tertentu, tidak bermakna apapun. 


“Sebaliknya, ketika makna dari sebuah kata dalam bangunan sebuah puisi tidak diketahui, maka kita akan mengalami kesesatan, terhalangi segi apresiasi puisi (baik lisan, maupun sastra tulis cetak). Sebab, pada hakikatnya, perbedaan antara sebuah kata dengan perkataan terletak pada kenyataan bahwa kata adalah perkataan yang memanggul sebuah makna (elaborasi dari Hospers)”. 

 

Ihwal ini menjadi garis penegas antara seni literatur dengan non-literatur. Sebagaimana warna dalam sebuah lukisan, adalah kemungkinan tentang warna dari obyek yang direpresentasikan. Saya sedut dari Hospers kembali tentang warna yang dikepung makna dengan warna sebagai suatu warna akan berbeda entitasnya dalam seni lukis atau pun nada dalam seni musik; “warna putih pada sehelai bendera, yang diacung ke atas dalam sebuah perang, sebagai pertanda menyerah. Tapi, warna sebagai warna, tak memiliki makna sepenuhnya. Begitu juga dengan nada musik, mungkin pada empat nada pertama dari karya Beethoven (Fifth Symphony); dimaksudkan untuk menyimbolkan kemenangan pada Perang Dunia II. Tapi ketika hal ini terjadi, sungguh kecil dan sedikit yang harus dilakukan dengan musik, sehingga pada kasus apa pun, hampir semua musik diapresiasi tanpa simbol apapun hadir dan mengemuka”. 


Walhasil, kita mendapati bahwa seni sastra, khususnya puisi terikat pada simbol konvensional. Sehingga seni ini memikul satu persoalan besar dalam “penerjemahan” (termasuk “inter-text and context meaning”), yang tidak menjadi problem pada genre seni  lain. Dia bisa menghilangkan dimensi entitas dan originalitas sebuah karya, ketika sebuah karya sastra yang didengar audiens berukuran besar dalam bahasa aslinya, berbanding karya sastra yang telah mengalami penyalinan dalam simbol-simbol fonetis yang serba terbatas itu (untuk mewakili bunyi dan realitas lokal). Sebuah realitas sejati, yang dikehendaki oleh penutur bahasa pertama. 


Secara standar, dalam puisi terhidang tiga kaidah mengikat; (1). Bunyi, (2). Kamus makna, dan (3). Konotasi kata. Ketiga kaidah ini mendorong asosiasi dan imajinasi sekaligus secara serempak menyetrum sensori, intelektual dan emosional dalam denyut nadi dan pikiran pembaca.  


Orang boleh mengatakan bahwa bunyi dalam sebuah bangunan puisi sebagai desis yang remeh temeh. Bahwa puisi-puisi tinggi hanya menyuling bebunyi belaka (termasuk mantera pengobatan dan doa). Kamus makna, hal ini sejatinya merupakan perkara mudah; ketika kita tak menemukan padanan yang pas dan tepat untuk sebuah kata dengan makna yang melar dan kadang menyempit. Seseorang bisa dengan cara mempertahankan “kata” asli dari penutur pertama. Misalnya, kata dalam bahasa Jerman “die Weltanschauung”, lebih enak dipertahankan dalam bentuk dan bunyi aslinya, ketimbang memindahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi the world view


Begitu juga lirik-lirik lagu spiritual  menghias komposisi musik klasik karya Johann S. Bach, mungkin lebih lemak dipertahankan dalam bahasa asli Jerman berbanding terjemahan Inggris, apatah lagi Indonesia; “und ging hinaus, und weinete bitterlich” (lalu, dia pun pergi, seraya menangis dengan pahitnya). Begitu pula ihwal idiom pendek Oh My God! Memiliki kadar pukau yang lebih kuat berbanding harus diucapkan dalam bahasa Prancis menjadi “mon dieu”. Walau secara literal benar, namun terjadi pemesongan sekaligus amat melenceng ke arah “pemaksaan” emosional yang lebih lemah, berbanding ketika dia tetap diucapkan dalam bahasa Inggris.

 

Setiap kata dalam satu bahasa bangsa tertentu, memiliki makna konotatif yang berbeda dengan rasa dan “resa” yang berbeda pula. Nilai asosiatif dalam satu kata dari sebuah bahasa, akan menjadi ringan atau berat, malah melar atau menciut. Dia menjadi basah atau pun kering, dangkal dan sempak atau pun majal ketika ditujah dalam pemaksaan-pemaksaan emosional. Dampaknya mengeringkan karya sastra itu sendiri. Seorang penerjemah yang cerdas tinggal membuat dua pilihan: (sebenarnya, dilemma), apakah dia menyediakan atau melakukan terjemahan literal, atau malah sebaliknya membuat tindakan penerjemahan secara jeluk ke dalam  dengan niat “mendaras semangat” atau “rasa dan resa” dari bahasa aslinya. Tapi, yang jelas tak bisa dilakukan dengan kedua itu cara secara serempak.

Ads