Pandemi, Saban Hari Kita Mengucap Innalilahi -->
close
Pojok Seni
08 August 2021, 8/08/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-08-08T00:00:00Z
Artikel

Pandemi, Saban Hari Kita Mengucap Innalilahi

Advertisement



Pandemi tak juga usai, atau mungkin lebih tepatnya tak kunjung usai. Sepanjang setahun terakhir, telinga kita telah akrab dengan padanan kata yang baru, singkatan yang baru, istilah yang baru, mulai dari isoman (isolasi mandiri), PPKM, lockdown, new normal, dan sebagainya.


Ada satu kalimat lagi yang saban hari kita ucapkan selama pandemi ini, Innalillahi wa innailaihi rojiun. Kalimat yang selalu kita ucapkan ketika ada yang meninggal dunia, baik kita mengenalnya maupun tidak kenal sama sekali. Kalimat yang berarti "semua yang diciptakan Allah dari tanah akan kembali ke tanah", juga akan bersambung dengan doa-doa terbaik untuk almarhum/almarhumah. 


Tapi, sadarkah kita, bahwa kita nyaris mengucapkan kalimat itu setiap hari? Setidaknya ada satu orang punya afliasi dengan kita, terdengar kabarnya meninggal dunia. Entah itu satu grup Whatsapp, entah itu memang kenal di dunia nyata, entah itu pernah bertemu sesekali, entah tak pernah bertemu, namun kabarnya muncul di beranda sosial media, dan entah mungkin tak pernah kenal sama sekali, namun kita melihat karangan bunga di depan rumahnya.


Orang-orang baik, satu persatu dipanggil yang Maha Kuasa. Dan kita yang tinggal ini, seakan-akan menghitung mundur, kapan waktu akan dipanggil. Pandemi membuat kita seperti berada di kotak-kotak yang tersekat. Bahkan ketika keluar rumah pun, semuanya tak sama. Orang-orang yang kita kenal menggunakan masker, hingga besar kemungkinan tak begitu kita kenali kecuali kita tatap lebih dalam.


Para pedagang, buruh, pegawai pabrik, pekerja hiburan, seniman, dan sebagainya harus memilih antara "mati karena kelaparan", atau "mati karena korona". Dua-dua pilihan itu tak ada yang bagus sama sekali.


Kita bisa mencoba menyusun semacam absen, ada berapakah orang yang meninggal hari ini, entah itu kita ketahui dari sosial media, atau mungkin dari sirine ambulance yang lewat, atau malah dari sirine masjid. Hasilnya, kita menyadari bahwa satu persatu orang yang kita kenal atau setidaknya berada di satu lingkaran besar yang sama, semuanya meninggal. Itu semacam sinyal dari malaikat maut untuk kita bersiap, menunggu giliran.


Kembali ke kotak-kotak yang menyekat kita hingga terpisah dari orang-orang terdekat, kita dipertemukan lewat semacam "teropong" yang disebut teknologi. Kita bisa tetap videocall, atau mungkin saling kirim pesan. Tapi, kita tetap tak melihat dunia seutuhnya. Kita seperti melihat luar rumah, lewat lubang kunci. Mengintip dan mencoba memastikan bahwa keadaan di luar baik-baik saja.


Ada beberapa yang meninggal karena Corona, ada juga yang mungkin sudah waktunya, ada juga yang karena kecelakaan, dan ada juga yang karena penyakit lain. Tapi semua informasi saling tumpang tindih, sehingga kita sering menyalahkan Corona sebagai biang keladi dari semua kematian yang pernah kita dengar. Apapun kesimpulannya, tetap tak mengubah premis awal: saban hari kita tetap mengucap innalillahi.


Para pekerja medis berjuang menyembuhkan orang-orang yang sakit, para ilmuwan berjuang menemukan obat dan vaksin, pemilik dana dan pemegang kebijakan juga berjuang untuk membiayai semua itu. Dan kita, berjuang menyelamatkan diri dan orang-orang tercinta. Jadi, ketika "seleksi alam" lewat Corona ini telah usai, kita masih tetap bertahan hidup dan menjalani mimpi-mimpi kita yang sempat tertunda beberapa tahun.


Pekerja teater, menjadi salah satu di antara "korban berat" karena Corona. Beberapa di antaranya harus "nyambi" pekerjaan lain, dan yang lainnya mencoba peruntungan jadi "aktor film", meski film pendek dan diproduksi sendiri. Beberapa yang lain mencoba tetap waras dan belajar dengan menggelar seminar (webminar), entah itu tingkat RT, sampai tingkat internasional.


Tapi insan teater yang biasanya begitu teguh berjuang di panggung, menciptakan karya-karya yang memukau dan menyentuh, mencoba mencapai kesempurnaan artistik, dan memberi warna untuk dunia, sekarang satu-satu mulai berpulang. Terakhir, kabar meninggalnya pak Akhudiat juga seperti pukulan yang keras bagi seni teater Indonesia.


Biasanya, akan muncul kalimat "kami berharap pada yang muda-muda". Tapi sekarang yang muda-muda itupun juga cemas, karena Corona menyerang tak kenal umur. Corona menyerang tanpa "misi khusus" di belakangnya, juga tanpa tedeng aling-aling. Mau itu anak kecil, orang tua, pria dan wanita, semuanya bisa jadi korban keganasan virus kecil yang kurang ajar ini.


Maka selain kalimat "innalillahi" yang kerap kita ucapkan tiap hari, juga muncul kalimat doa agar siapapun itu tetap sehat dan bisa melanjutkan visi dan cita-cita orang-orang yang telah mendahului kita. 


Karena kita harus tetap sehat, siapapun Anda, hingga semua ini selesai. Tetaplah hidup sampai semuanya kembali seperti semula, untuk melanjutkan mimpi orang-orang yang mendahului kita.  

Ads