Hermeneutik Reproduktif Schleiermacher dan Filosofik Gadamer dalam Pemanggungan Teater Semut -->
close
Pojok Seni
19 May 2021, 5/19/2021 09:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-05-19T02:00:00Z
BeritaUlasan

Hermeneutik Reproduktif Schleiermacher dan Filosofik Gadamer dalam Pemanggungan Teater Semut

Advertisement

Oleh: Arung Wardhana Ellhafifie* 


Gambar 1. Tokoh Sunarsih (kanan) dan Siswadi (kiri) dalam pemanggungan Teater Semut Universitas Darma Persada dalam lakon Penggali Intan karya Kirjomulyo (Foto: TS).


Membaca Ulang Penggali Intan karya Kirjomulyo


Ricoeur menganggap tidak ada aturan-aturan universal untuk interpretasi, yang ada hanyalah aturan-aturan khusus yang kadang kala berlawanan. Namun ada satu pendapat unik dari Ricoeur tentang interpretasi, yaitu pendapatnya yang menyarankan agar pemirsa/pembaca suatu teks memberi kesempatan bagi teks itu sendiri menyingkapkan makna kedalamannya (M. Dwi Marianto: Seni & Daya Hidup dalam Perspektif Quantum.Yogyakarta, 2019, hlm. 125). Maka yang paling menjadi penentu dalam pembacaan ulang naskah, mau tidak mau masuk pada ruang sebenar-benarnya (juga selalu dipertanyakan) dalam kepala pengarang. Sekalipun itu tidak mutlak dan pengarang akan memberikan kebebasan pembaca dalam menafsirkannya. Kalimat itu sesungguhnya cukup menjebak; sama menjebaknya ketika pengarang langsung menjelaskan kalau kita salah menafsirkannya. Ini sesuatu paradoks yang bisa diambil jalan tengahnya untuk mengembalikan teks kepada milik pengarangnya. Karena itu kita perlu berulang-ulang melacak teks-teks yang tertulis maupun tidak tertulis berhubungan dengan zaman, dimensi, ruang, maupun berbagai macam situasi dan kondisi kala itu. Bahkan secara individu historis dari pengarang bisa mungkin menjadi bahan untuk menarik teks yang tertulis ke dalam ketubuhannya. Barangkali sangat memungkinkan hal-hal semacam itu bisa tersembunyi dan terbungkus rapi melalui metafor-metafor yang dihadirkan.


Berkaitan dengan lakon Penggali Intan karya Kirjomulyo; Teater Semut Universitas Darma Persada sudah berusaha sedekat mungkin dengan teks penulisnya melalui setting yang dibangun sedemikian rupa. Dindon WS (selaku salah satu juri) di perhelatan Festival Teater Jakarta 2017 (kota administrasi Jakarta Timur) memaparkan settingnya bagus, seiring dengan teks (tertulis) sebagai salah satu drama yang dianggapnya luar biasa di Kalimantan. Hanya saja dinilai masih terhambat teks itu sendiri yang harus ‘dijahit’ kausalitasnya (sebab akibatnya). Saya menggarisbawahi bahwa dalam pembacaan ulang sebuah naskah; mungkinkah diperlukan cara untuk memahami apa yang tertuang dalam teks. Jikalau mungkin berarti kita harus tahu betul bagaimana proses memahami. Mengutip dari tujuan memahami seperti yang dikatakan Scheleirmacher, untuk menghadirkan kembali dunia mental penulisnya atau memakai istilah dari Palmer ‘rekonstruksi’ pengalaman mental pengarang teks (F. Budi Hardiman: Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta, (cetakan ketujuh), 2019, 41). Seperti yang saya katakan di atas; dalam pembacaan ulang diperlukan beberapa strategi sesuai dengan kebutuhan masing-masing pembaca agar sampai masuk kepada pengalaman mental pengarang lewat naskah yang ditulisnya.


Bahasa yang terungkap bisa dilakukan oleh pemain ke atas panggung; yang semula membaca terlebih dahulu. Hanya saja ada diskomunikasi antara bahasa dengan pengalaman. Bahasa yang dihadirkan oleh pemain baik secara kata dalam susunan kalimat maupun tubuh yang dilihat (ditonton) bersama mengalami kerenggangan dengan segala macam peristiwa drama yang ada di Kalimantan, pada zamannya. Taufik Darwis (salah satu juri lainnya)  menyebutnya bahwa bahasa hanya ada di depan mulut, kualitas dramatik sulit naik, dan tidak menjadi apa-apa karena setiap pemain yang membaca ulang naskah tersebut tidak bisa menyambung teks ke dalam peristiwanya. Ia menilai hanya satu aktor yang menyambung permasalahan sebagai jalinan peristiwa satu ke peristiwa lainnya.


Di dalam interpretasi naskah tentu saja punya cara yang berbeda-beda di mana yang paling penting adalah bagaimana esensi harus terkandung dari naskah yang hendak disampaikan memang terkadang kita menemukan beberapa poin utama, poin kedua, dan poin ketiga. Namun ketiganya saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tentu saja saya pun ketika coba membaca ulang rangkaian peristiwa Penggali Intan yang disutradarai Kukuh Santosa, bisa jadi berbeda sekalipun dalam merangkai peristiwa, berbeda lagi dengan tulisan Gayuh Juridus Gede Asmara yang diposting pada pukul 4:39 PM, kamis, 4 Agustus 2011 yang juga akan berbeda interpretasi dan pemahamannya dengan postingan lainnya. 


Saya coba mengawali dari rangkaian peristiwa yang ditulis Gayuh, yang nantinya akan coba melacak ulang apa yang disarankan Ricoeur untuk memberikan kesempatan teks itu sendiri berdiri kokoh pada makna kedalamannya.


Dua orang sahabat yang merantau ke Kalimantan Tengah sebagai penggali intan, Sandjojo dari Yogjakarta dan Siswadi dari Bandung. Konflik terjadi ketika Siswadi hampir putus asa dengan usaha mereka, sedangkan Sandjojo masih berambisi untuk mendapatkan intan apalagi mengingat dendamnya atas hidupnya yang selama ini ia anggap gagal. Sandjojo semakin bersemangat untuk mencari intan ketika ia melihat Sarbini, teman rantaunya juga yang baru mendapat intan sehari sebelumnya. Sandjojo bersikeras berangkat menggali intan malam hari meski Siswadi melarangnya. Ia berkata bahwa usahanya ini pun untuk kebaikan bersama, ia akan membagi hasilnya nanti dengan Siswadi. Siswadi bersikeras melarang Sandjojo karena ia mengkhawatirkan keselamatan Sandjojo, tapi Sandjojo menganggap lain. Ia merasa Siswadi berniat menghalangi cita-citanya. Sampai akhirnya nasib berkata lain, Sandjojo akhirnya menemukan intan. Siswadi ikut senang dan mengingatkan rencana kepulangan mereka seperti janji Sandjojo sebelumnya, bahwa mereka akan pulang ketika mendapat intan. Namun harta menggelapkan mata Sandjojo. Ia membatalkan rencana mereka. Ia menyuruh Siswadi pulang sendiri dan membangun rumah di desa untuknya agar Sunarsih, gadis yang ia kira menolaknya dulu kembali mengejarnya dan ia bisa balas dendam dengan menyakiti Sunarsih. Pertengaran kembali terjadi karena Siswadi menolak rencana Sandjojo. Ia tetap ingin agar mereka pulang bersama. Namun itu malah membuat Sandjojo naik pitam. Ia bahkan membatalkan janjinya yang akan memberi Siswadi bekal untuk pulang. Siswadi kehabisan kesabaran karena niat baiknya selalu mendapat tanggapan dari Sandjojo. Ia akhirnya berniat untuk pulang dan meninggalkan Sandjojo di Kalimantan beserta ambisi-ambisinya. Ketika tengah berkemas-kemas, ia dikejutkan oleh ketukan pintu yang ternyata Sunarsih, gadis yang dulu menolak Sandjojo. Sunarsih menyusul ke Kalimantan karena kerinduannya dengan Sandjojo dan ingin menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka dahulu. Ia hanya bercanda ketika mengatakan ingin memiliki suami yang kaya. Namun hal tersebut ditangkap lain oleh Sandjojo. Sandjojo mengira Sunarsih telah menolaknya. Oleh sebab  itu ia merantau ke Kalimantan untuk mencari uang dan kelak akan balas dendam kepada Sunarsih. Namun Sandjojo gelap mata, ia sama sekali tak menerima penjelasan orang lain. Ia bahkan tak menggubris Sunarsih. Ia membiarkan Sunarsih jatuh di lumpur ketika mengejarnya sebagai salah satu bentuk balas dendamnya. Kisah ini berakhir dengan teriakan histeris Sandjojo karena kehilangan intan yang ada di saku celananya.


Pembaca teks (naskah) atau sebutlah seorang pemain dalam membaca ulang naskah Penggali Intan yang nantinya hasil pembacaan itu dipraktikkan menjadi dirinya dengan mencari makna pada kedalamannya; semisal praktik menjaga ritme, membangun tokoh, mengembangkan tokoh adalah cara-cara realis yang sering dilakukan sekalipun dianggap tidak mudah melakukannya di mana tertuang dalam persiapan aktor dalam bukunya Stanislavski. Kira-kira gambarannya seperti ini; tokoh Sanjoyo dan Siswadi ataupun Sunarsih ini siapa? Bagaimana latar belakangnya? Apa persoalannya? Kenapa ia dendam? Pembaca sudah memiliki seratus pertanyaan diri yang paling penting terhadap tokoh agar dikantongi dalam catatan aktor/sutradara sehingga nantinya akan bergerak dalam pengembangan dan membangun tokoh. Jika melacak lagi ketika membicarakan makna dari teks, kita lagi-lagi kembali pada fungsi dari teater sendiri yang juga diungkapkan oleh Stanislavski, yang menurut penelitian Jean Benedetti tidak modis lagi dalam aktivitas dewasa ini jika dibicarakannya.


Stanislavski’s mature activity can only be understood if it is seen as rooted in the conviction that the theatre is a moral instrument whose function is to civilise, to increase sensitivity, to heighten perception and, in terms perhaps now unfashionable to us, to ennoble the mind and up lift the spirit. The best method of achieving this end was adherence to the principles of Realism. This was more than a questionof aesthetic preference or a predilection for one ‘style’ over other ‘styles’ (Stanislavski An Introduction. New York, 2004 (edisi keempat, 16)


Makna kedalaman yang ditulis Schleiermacher pada hubungannya keinginan Stanislavski; saya melihat pada satu akar yang kokoh tentang instrumen moral dalam  meningkatkan kepekaan, persepsi, maupun memuliakan pikiran, dan menaikkan semangat hidup kita sebagai manusia, yang mungkin tidak lagi dipandang ‘seksi’ sebagai peristiwa atau aktivitas seni hari ini. Tetapi menurut Jean Benedetti bagaimana praktik kerja dan metodenya Stanislavski yang dianggap sangat terbaik adalah kepatuhan kita sebagai pembaca ulang terhadap prinsip-prinsip realisme. 


Saya sepakat dengan tulisan Benedetti yang melihat bukan hanya sekadar “yang terbaik” itu merupakan hal yang tidak bisa berkembang secara estetika—sebagai referensi kita maupun kecenderungan ‘gaya’ mana yang paling unggul di antara ‘gaya’ sebelumnya. Karena setiap peristiwa teater memiliki tujuan dan sikapnya masing-masing, termasuk Stanislavski pada saat itu. Bahkan jauh melihat ke belakang pada satu generasi sebelumnya; berdasarkan pemaparan Benedetti, ia juga sangat kagum pada kemampuan aktor yang dilihatnya sebagai dua lelaki jenius. Tapi secara metode jarang sekali dibicarakan, khususnya di teater kita. Artinya panduan atau model kerja dalam pemeranan bukanlah sesuatu yang dipandang benar-benar ‘clear’ (bersih), karena dia memiliki hakikatnya sendiri bersamaan dengan kemauan dan hasrat setiap pelaku seni atau pembaca. Tidak ada indeks atau rujukan yang menganjurkan pada kemutlakan pekerja teater mengikuti satu metode tertentu hingga fasih atau khatam.


If Stanislavski wanted models or guidance he would have to look back a generation or so earlier, to the great days of the Maly Theatre when artistic standards had been set and discipline imposed by two men of genius, the actor Mikhail Shchepkin and the writer Nikolai Gogol. The actors Stanislavski  so admired were impressive not merely because they had talent but because they had been trained at this school, where the first steps had been taken towards a genuinely Russian theatre and the creation of a genuinely Russian style – Realism (ibid., 7). 


Benedetti menjelaskan pada masa-masa indah Maly Theatre ketika standar artistik telah ditetapkan dan didisiplinkan oleh aktor (Mikhail Shchepkin) dan penulis (Nikolai Gogol). Keduanya dianggap Stanislavski sebagai manusia yang terlatih dan lahir, serta tumbuh berkembang di tanah kelahirannya, yakni Rusia. Sehingga penciptaan teater dengan gaya akting gaya Rusia yang asli, bukan tiruan dari negara lain, di mana kita sesungguhnya mampu juga melakukan itu dengan modal kultural yang perlu dilacak ulang akarnya setiap masing-masing daerah. Barangkali kita akan menemukan gaya realisme asli Indonesia, khas kultural masing-masing, yang mungkin bisa ditemukan pada beberapa pemain tradisi yang bergerak pada teater modern akan memiliki gaya asli kulturalnya. Begitu juga bisa mungkin ketika membaca tentang teks Penggali Intan; kita akan bisa menemukan akar dari tubuh kita sendiri sekalipun kita sudah mengasup model-model atau panduan gaya akting Stanislavski. Barangkali kita bisa menemukannya melalui karyanya Suyatna Anirun, Arifin C. Noer, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, hingga Iswadi Pratama, dll. 


Membaca makna kedalaman Penggali Intan; tentu saja setiap pembaca memiliki metodenya agar terlibat dalam emosi dan hasil riset yang dilebur dengan imajinasinya oleh penulis. Sehingga nantinya akan menemukan gaya kultural realisme terhadap kepatuhan sosial yang terjadi pada kenyataannya. Saya melihat pemanggungan Teater Semut banyak sekali gimmick-gimmick reality yang mungkin tubuh kultural kita hari ini semacam itu. Di satu sisi saya cukup sulit untuk mengatakan bahwa itu berhasil. Bahkan Kukuh, sebagai sutradara terjebak juga dalam menciptakan kepatuhan realitas yang dilihatnya, bagaimana tubuh kita bersikap dan memberikan energi, sehingga ia sempat mengubah konsep dan juga harus menempatkan plan A dan plan B, dengan segala macam tegangan berada dalam keterpurukan hingga terbangun kembali, yang mana penuturannya realis juga gak gampang-gampang amat.


Jika ada sebagian banyak pelaku teater kita yang masih mempermaslahkan totalitas pada gaya yang sudah mapan dan tercatat praktik kerjanya sehingga menjadi pijakan berpikir dunia teater, sebutlah Stanislavski yang menjadi ‘diagung-agungkan’ praktik kerjanya sehingga tetap bersikeras sebagai pelaku teater harus ‘clear’ memahami apa yang diinginkannya. Sekalipun pendapat itu perlu pelacakan kembali karena dipengaruhi banyak faktor, terutama soal hasrat dan tujuan aktivisme seninya yang juga berbeda. Namun di sisi lain; juga ada yang melepaskan segala macam metodologi Barat maupun Timur sekalipun; yang dipakai dengan bersikeras juga menggunakan praktik kerja tubuh kulturalnya masing-masing, sehingga menciptakan gaya asli komunitas mereka, seperti yang saya ungkapkan di atas.


Barangkali praktik kerja semacam itu bisa mungkin cukup baik, bukan berarti bahwa antipati terhadap metodologi Stanislavski, mungkin juga karena memang tidak dipahami secara utuh data yang datang dari luar sulit diterima sehingga memilih kiranya metodologi yang sekiranya bisa dimengerti menurut mereka. Praktik ini saya membacanya pada tubuh komunitas Teater Semut yang sangat urban; karenanya Kukuh tidak mencoba memaksakan diri pada metode yang matang seperti Stanislavski, karena Stanislavski sendiri bukan tanpa problem mengahadapi aktor-aktornya yang berkebudayaan Rusia pada kala itu.


There were, however, more fundamental problems concerning his general approach to the art of acting over which he did receive assistance from others: first his lack of method, any method, in his playing of a role; second his susceptibility to theatrical cliché as soon as he started to rehearse. What ever his intellectual perception of the necessity for realism, for truth, for honesty, for observation, time and time again he would fall back on standard formulae (ibid.,  28). 


Benedetti dalam penelitiannya juga melihat semcam ‘cacat’ atau titik kelemahan dari seorang Stanislavski dalam menerapkan metodologinya. Stanislavski dinilai bukan hanya bekerja sendiri layaknya hari ini seperti metode yang banyak dipraktikkan pekerja teater hanya kerja keras seorang. Pada kenyataannya secara mendasar berkaitan dengan pendekatan umum seni akting di mana ia memang bekerjasama dengan banyak pihak dalam perumusan metode realisme tersebut karena disebabkan bingungnya langkah apa yang akan dipraktikkannya. Selain itu, Stanislavski selalu dihadapkan persoalan klise dalam latihan teater yang juga dihadapi banyak komunitas amatir hari ini. Kemudian Stanislavski selalu kembali pada formula standar sekalipun berpersepsi secara intelektual bagaimana mengembangkan kebutuhan realisme dalam aktivitas kebenaran, kejujuran maupun pengamatan hidup. Selayaknya kita hari ini ketika teater terus bergeser secara nilai, bentuk dan ruang, maka fungsi dan tujuannya akan terus bergerak pula. Ibarat makna dalam batin Sanjoyo dan Siswadi yang bergerak dalam berjuang menaklukkan problematika hidup miskin di Kalimantan.


Satu hal yang paling menarik menurut saya dalam sistem Stanislavksi, seperti juga yang diuraikan oleh Benedetti dalam membaca teks pengarang berkaitan dengan data-data psikologis secara riil, maupun problematika tubuh secara filosofis itulah yang tidak tergambar secara ketat dalam hubungan kontekstual humanismenya dalam pemanggungan Teater Semut; 


My ‘System’ is divided in to two basic parts:1. The internal and external work of an actor on himself; 2. The internal and external work on a role. The inner work of an actor consists in perfecting a psychological technique which will enable him to put himself, when the need arises, in the creative state, which invites the coming of inspiration (ibid., 75).


Stanislavski menerapakan dua bagian dasar, di mana pekerjaan internal dan eksternal seorang aktor pada dirinya sendiri maupun pekerjaan internal dan eksternal pada peran. Jika merujuk pada sistemnya, saya membaca Penggali Intan karya Kirjomulyo hanya sebatas tampak keluar masuk hubungan eksternal dan internal yang tidak berfungsi secara baik di atas panggung. Pekerjaan batin seorang pembaca (dalam hal ini adalah aktor/sutradara) pada praktik kerjanya tidak terlalu masuk ke dalam penyempurnaan teknik psikologis dari tokoh-tokoh yang dihidupkan pengarang. Rujukan yang saya baca dari Stanislavski melalui Benedetti pun tidak memungkinkannya pembaca (aktornya) untuk menempatkan dirinya pada problematika yang disusun Kirjomulyo. 


Saya juga tidak mampu membaca setiap aktornya membutuhkan teknik-teknik psikologis sekalipun sebagai watak kultural orang Indonesia asli yang diwakili Bandung dan Yogyakarta, yang akhirnya mereka membaca dengan cara tidak kreatif dalam sejarah masa silam (menurut Gadamer kita tidak dapat kembali) sehingga tidak menimbulkan inspirasi untuk mengelola ruang dan waktu yang hendak dihadirkan kepada pembaca lainnya, kaitannya dengan penonton.


‘Hermeneutik Reproduktif’ Schleiermacher dan ‘Filosofik’ Hans-Georg Gadamer


Gambar 2. Tokoh Sanjoyo (kiri) dan Sunarsih (kanan) dalam satu adegan; sebagai salah satu drama yang memikat di antara kemiskinan, dendam, dan perjuangan hidup (Foto: TS).


Schleiermacher dan Hans-Georg Gadamer berpendapat bahwa pembaca tidak dapat kembali ke masa silam untuk menemukan kembali makna asli yang dimaksud penulis teks. Kesadaran kita tidak berada “di luar” sejarah, melainkan bergerak “di dalam” sejarah, sehingga pemahaman kita juga dibentuk oleh sejarah. Dengan ungkapan lain, pemahaman kita berada di dalam sebuah horizon tertentu (F. Budi Hardiman: Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta, (cetakan ketujuh), 2019, 167). Pendapat ini ketika didekatkan dengan pembaca hari ini (kaitannya dengan Penggali Intan) di mana sejarah yang berjarak atau ‘keluar’ dengan masa tersebut, tetapi bagaimana usaha kita agar ‘masuk’ pada sejarah yang diciptakan Kirjomulyo melalui lakonnya. 


Sebenarnya banyak cara yang bisa mungkin lebih efektif untuk memasuki horizon dalam pengalaman dan petualangan Kirjomulyo melalui lika-liku perjalanan Sanjoyo, Siswadi, dan Sunarsih. Sekalipun kita tidak bisa bertatap muka langsung dengan pengarangnya, tapi kehidupan pengarang bisa dihidupkan kembali melalui pemahaman dalam melakukan pendekatan terhadap saksi-saksi hidup seorang Kirjomulyo, ataupun menghadirkan ruang lingkup penulis dalam hubungannya dengan perjuangan, survive (cara bertahan hidup), intan, dendam, hasrat, maupun harga diri yang kemungkinan bisa dipetakan dan dipecah menjadi sub bab atau kata kunci lainnya untuk mendukung kita agar pelan-pelan sampai ke lingkupnya.


Berbicara lingkup, Schleiermacher menggunakan istilah “lingkup” (Sphare) untuk konteks hidup penulis, seperti: perkembangannya, keterlibatannya, cara bicaranya. Kita sebagai pembaca harus memahami lingkup itu lewat interpretasi gramatis, misalnya dengan menempatkan kata yang dipakainya dalam konteks yang lebih luas, membandingkan kata yang satu dengan yang lainnya, dst. (ibid., 48). Cara yang sudah dijelaskan di atas berupa penempatan atau perbandingan kata yang digunakan Kirjomulyo melalui tokoh-tokoh yang dihidupkan, bisa menjadi pelacakan agar ‘masuk’ ke dalam horizon yang dimaksud penulis. 


Secara tidak langsung kata-kata dalam kalimat yang menimbulkan percakapan antara tokoh satu dengan lainnya memiliki otoritas dan tradisi yang kuat sebagai informasi sosiologis, biografis, dan psikologis. Gadamer menyatakan bahwa otoritas dan tradisi merupakan komponen-komponen utama yaitu membangun prasangka umum yang menurut pencerahan dapat mendistorsi pengetahuan kita (ibid., 170). Saya tidak terlalu mengerti apakah pembaca (kaitannya dengan aktor) di atas panggung, apakah sudah berusaha masuk pada otoritas dan tradisi di luar ‘sejarah’ yang ditulis pengarang atau memang tidak terlalu jauh kepada pencarian makna kedalaman teks. Sebab jika hal itu dilakukan, seperti kata Gadamer, akan menimbulkan prasangka-prasangka filosofis yang menggiring kita sangat terlibat dalam kemelut batin Sanjoyo maupun pembelaan Siswadi terhadap Sunarsih yang datang ingin menebus kesalahannya. 


Logika kausalitasnya, tidak mudah bagi perempuan yang datang dari Jawa ke Kalimantan seolah-olah untuk menjemput lelaki yang pernah diuji di masa sebelumnya. Seorang perempuan menguji lelaki bukan tanpa sebab, jelasnya Sunarsih pasti memiliki seribu alasan jika dihubungkan dengan waktu pengarang menulis teks kala itu, yakni pada tahun 1957 di masa-masa setelah Indonesia merdeka. Tentunya sepuluh tahun berlalu dari pasca kemerdekaan secara sosial dan politik, di saat itu tekanan mental bukan serta merta berlalu begitu saja. Ada peristiwa panjang sebelumnya yang mungkin kita harus lacak, keterlibatan mental ketiga tokoh dalam kemerdekaan itu sebagai apa mungkin menarik ditelusuri atau didekatkan dengan kalimat-kalimat penulis lainnya. Sebab semakin lama kita memecah kalimat per kalimat, justru kita semakin menemukan dunia mentalitas penulisnya yang mungkin bisa kita temui.


F. Budi Hardiman menyimpulkan bahwa dari Schleiermacher kita mendapatkan gambaran bahwa proses hermeneutis sebagai pembalikan dari proses penulisan teks. Sementara penulis bergerak dari pikirannya ke ungkapannya dalam susunan kalimat-kalimat, pembaca bergerak sebaliknya: dari susunan kalimat-kalimat itu dia memasuki dunia mental, yaitu pemikiran penulisnya (ibid., 40). Saya sengaja membolak balikkan antara reproduktif Scleiermacher dan filosofik Gadamer, karena saya juga melihat bahwa Gadamer pijakan berpikirnya sangat dekat dengan Schleiermacher di mana jikalau pembaca (Penggali Intan) coba melakukan praktik kerja keduanya dengan cara-cara yang lain, tapi saya melihatnya setiap aktor yang ada di atas panggung tengah berupaya menskemakan apa yang diterapkan Schleiermacher sekalipun masih cukup sulit untuk mengembangkan permainannya yang dipengaruhi keraguan dalam menginterpretasi tubuh kulturalnya sendiri. 


Seperti yang dipaparkan Lawrence K. Schmidt dalam Hardiman; mencoba menskemakan interpretasi psikologis Schleiermacher menjadi empat tahap: Pertama, menangkap keutuhan dan arah tulisan itu untuk menemukan “ide sentral” yang menggerakkan penulis. Kedua, mengidentifikasi tulisan itu dalam konteks objektif, yakni misalnya, termasuk dalam genre mana. Ketiga, menemukan cara bagaimana si penulis menata isi pikirannya. Keempat, menemukan pikiran-pikiran sekunder yang berkesinambungan dengan penulis (ibid., 60).


Ide sentral, identifikasi genre, isi pikiran penulis, pikiran-pikiran sekunder dalam pemanggungan sebenarnya sudah terbaca cukup baik. Hanya saja bermasalah dalam hubungan pengembangan teks dalam kalimat antar tokoh. Keberanian dan sikap di antara mengokohkan otoritas teks yang merupakan milik penulis, lalu pembaca melahirkan prasangka berdasarkan keterangan peristiwa, korelasi sebelum dan sesudahnya maupun informasi yang datang bermunculan dari halaman ke halaman, akhirnya hal itu membangun ruang pemisahan batin mentalitas pembacanya untuk masuk ke mentalitas penulis. Padahal Gadamer berargumen bahwa prasangka dan otoritas tidak dapat sama sekali dibersihkan dari pemahaman teks karena upaya pembersihan itu sendiri adalah sebuah prasangka. Sebaliknya prasangka dan otoritas justru merupakan komponen-komponen yang memungkinkan pemahaman teks, maka tugas pembaca adalah membedakan antara prasangka yang legitim dan illegitim (ibid., 75).


Gambar 3. Tokoh Sanjoyo (kiri) dengan Sunarsih (kanan) dalam satu adegan yang menuntut konflik psikologis antara keduanya (Foto: TS).


Prasangka yang legitim (syah) atau illegitim (tidak syah) menurut saya sebagai pembaca perlu pelacakan ulang penilaiannya; berkaitan dengan Penggali Intan karya Kirjomulyo. Sekalipun Gadamer meminta kita untuk membedakannya, hanya saja yang tampak di atas panggung banyak keraguan dalam bersikap sebagai pembaca (kaitannya dengan aktor/sutradara) sehingga bahasa yang hanya melintas pada mulut (mengulang pernyataan Taufik Darwis) disebabkan ‘matinya’ mentalitas penulis yang tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh kita sehingga kondisi pasca revolusi yang hanya berada pada ‘sejarah’ terkesan dipaksakan masuk tanpa menyentuh masa silam yang tidak bisa kembali menurut Schleiermacher. 


Reproduktif Schleiermacher dalam hal ini menurut saya perlunya mentalitas masa lalu yang kembali ‘hidup’ dengan sikap kita hari ini. Kita yang tidak sama sekali menyentuh masa-masa pra kemerdekaan, kemerdekaan, hingga pasca kemerdekaan dimana masa ini dialami Kirjomulyo; tentunya lahir dari kemelut yang naik turun (pada masa-masa yang kalut), sehingga cukup wajar dalam membangun dramatik begitu perlahan hingga memuncaknya peristiwa yang dianggap Sanjoyo sebagai ajang balas dendam. Diding Zeta (juri lainnya) menggarisbawahi pentingnya interpretasi pada teks yang kadang kala dianggap main-main tanpa indeks yang jelas dan tepat. Saya pun yang hidup dalam bingkai ‘sejarah’ itu, coba mereka-reka keadaan mental tokoh Sanjoyo, Siswadi, dan Sunarsih yang digambarkan oleh Kirjomulyo. Perjalanan penulis secara pengalaman memorik tubuh merupakan refleksi tokoh yang juga hidup dalam tiga masa tersebut, sekalipun mereka berusia kanak-kanak, layaknya Kirjomulyo yang lahir pada tahun 1930; pra kemerdekaan.  


Sekali lagi, penting menjadi catatan yang bisa dikoreksi bersama bahwa gaya realis dalam pembacaan teks kultural tidak selalu berkutat pada metodenya Stanislavski (asli Rusia), tetapi catatannya yang paling cukup bisa disimak adalah bagaimana kepatuhan kita terhadap prinsip dasar realisme asli kultural kita yang seringkali dilanggar. Padahal potret kultural kita sangat jelas; antara membaca Jawa dengan membaca Kalimantan, maupun membaca Sunda juga cukup banyak literatur yang bisa digunakan sebagai pijakan berpikir untuk memahami teks-teks lainnya. Maksudnya adalah agar hubungan mentalitas manusia Jawa, Sunda, Kalimantan, dll. tidak dikacaukan dengan ‘kekurangajaran/kenakalan’ kita dalam pembacaan demi keinginan atau hasrat ingin berbeda dalam memahami (istilah tafsir bebas juga cukup menjebak) bahwa kita masih ‘terlibat’ dalam bingkai sejarah yang direproduksi banyak penelitian oleh para akademisi dan lain sebagainya.

Ads