Entah dan Kemalasan Kaum Rebahan: Sebuah Respon atas Tulisan Adhyra Irianto -->
close
Pojok Seni
13 April 2021, 4/13/2021 03:17:00 PM WIB
Terbaru 2023-05-02T15:10:56Z
Artikel

Entah dan Kemalasan Kaum Rebahan: Sebuah Respon atas Tulisan Adhyra Irianto

Advertisement


oleh Ekwan Wiratno*


Entah adalah sebuah tamparan bagi mereka yang hanya bermimpi, khusuk dalam doa tanpa usaha. 


ARTIKEL ADHYRA IRIANTO DI POJOKSENI


Selain sebuah kritik pertunjukan, tulisan singkat ini saya maksudkan sebagai sebuah respon pada dua artikel di website ini yang berjudul "Omong Kosong Pertunjukan Teater Virtual Live: Sebuah Basa-basi di Kala Pandemi" dan "Teater Virtual dan Kursi Kosong: Seniman Pindah Panggung, Penontonnya Tidak Pindah Kursi." Kedua tulisan ini menggelitik saya, karena itu saya perlu memberikan respon sederhana. 


Kedua artikel ini secara umum memandang bahwa usaha untuk membuat teater virtual (saya tidak setuju istilah ini, nanti akan saya bahas) telah gagal mencapai nilai yang penulisnya harapkan. Sebagai sebuah gerakan yang sebetulnya tidak baru, teater macam ini tentu saja memancing perdebatan. Teater yang melibatkan internet atau teknologi digital telah dikembangkan belasan tahun lalu di luar negeri. 


Kemunculan teknologi digital pada awal tahun 1980an mendorong penggunaan teknologi tersebut dalam karya seni. Tetapi pengembangan digital theatre baru berkembang pesat sejak tahun 2013 dalam berbagai aspek seperti kreasi, distribusi, dan pemasarannya. Di Indonesia, justru teknologi ini baru menjamur ketika Pandemi Covid-19 terjadi, ketika gedung pertunjukan ditutup dan segala macam kerumunan dilarang. Telat memang, "tapi daripada tidak sama sekali," begitulah rasanya yang perlu digumamkan dalam hati. 


Kembali pada dua artikel tadi, meskipun berisi beberapa saran, tetapi aroma pesimisme tetap paling dominan. Bahkan, setelah menonton teater di Youtube, respon penulisnya masih "jauh sekali pengalaman estetis yang didapatkan. Bila menyaksikan pertunjukan teater secara langsung itu mendapatkan angka 100 maka menyaksikan secara virtual atau daring itu hanya mendapatkan angka 20." Tentu saja hal ini wajar ketika menghadapi media baru. Keinginan untuk merasakan sensasi estetis yang sama di dua media berbeda adalah kesia siaan. 


Menonton pertunjukan teater berupa pertunjukan digital memerlukan cara dan persepsi berbeda. Layar, sebagai representasi ruang artistik, harus dinikmati sebagaimana layar, bunyi melalui speaker harus dinikmati secara seharusnya. Kita sering mengharapkan mengecap rasa yang berbeda di masakan yang berbeda. Cara menikmati karya digital memang memerlukan usaha lebih keras karena menuntut kita mengimajinasikan berada di depan panggung, tidak sekedar menikmati apa adanya. Saya rasa cara ini sama dengan ketika kita menikmati film, sinetron, video clip dan lainnya, kita dituntut untuk mengimajinasikan diri berapa di dalam peristiwa yang digambarkan.



Bahkan, teater di ruang digital (cyberspace) dianggap oleh Adhyra Irianto sebagai "hanya sebuah fatamorgana untuk menutup sebuah fakta bahwa seniman teater telah lumpuh." Pandangan semacam ini menurut saya hanya pantas disematkan bagi mereka yang tidak melakukan apa-apa selama Pandemi, mereka yang lumpuh dan menyerah. 


Kita tidak akan merasakan apa yang biasa ada di pertunjukan langsung, seperti keringat aktor-penonton, respon spontan mereka dan berbagai hal lain. Ya karena ini medium berbeda. Tentu saja, kita sama-sama merindukan teater ada di panggung sungguhan, tapi itu adalah angan-angan yang entah kapan bisa terwujud. Untuk mengurangi kerinduan itu, sementara waktu kita nikmati teater di media yang berbeda. 


Di sini lain, penggunaan media digital ini akan memberikan pengalaman estetis yang berbeda kelak. Sebagai sebuah media yang memungkinkan penonton mengakses tanpa batas ruang dan waktu, ini berpotensi mendapatkan jangkauan penonton yang lebih luas. Digital theatre semacam ini akan menjadi semacam foto orang terkasih yang kita peluk erat sambil menunggu perjumpaan. Bentuk teater hibrid antara digital dan langsung juga mungkin terjadi di Indonesia. Dan ini hanya mungkin terjadi bila kita terbuka menerima media baru dan mencoba memanfaatkannya, seperti halnya lampu taman yang kita manfaatkan untuk lampu panggung. Apa bedanya?


FENOMENA DIGITAL THEATRE VS VIRTUAL THEATRE


Sebetulnya saya lebih setuju istilah digital theatre dibandingkan dengan virtual theatre. Virtual theatre merupakan teater yang dibangun dari dunia yang tidak nyata. Istilah virtual memang sangat sesuai dengan penggunaanya pada frase virtual reality dimana sebuah dunia memang dibuat, meskipun bisa juga terinspirasi dari dunia nyata. Sementara teater yang ditayangkan di internet selalu berangkat dari dunia nyata yang direkam.


Maka digital theatre lebih sesuai karena teknologi perekamannya membuat peristiwa teater berubah bentuk menjadi file digital. Inilah yang kemudian dinikmati secara luas oleh penonton. Terdapat empat ciri digital theatre, yaitu


“Langsung” 


Pertunjukan bersumber dari realitas yang dekat dengan penontonnya. Kedekatan ini bisa dibangun dari kesamaan bentuk, kesamaan hukum realita, juga kesamaan aksesoris di atas panggung. Penonton dapat membayangkan dirinya ada di salam layer. Berbeda dengan virtual theatre yang bisa membangun realita yang jauh dari realitas yang dialami penonton. 


Ekosistem digital


Kriteria kedua adalah keberadaan teknologi digital. Pertunjukan teater harus menggunakannya sebagai elemen penting, tidak sekedar media perekaman atau distribusi. Karena merupakan produk digital, maka sangat memungkinkan adanya proses editing dalam proses penciptaan karya. Teater Koma dalam pentasnya Savitri telah melakukan editing dengan menambahkan efek buatan yang memperkaya imajinasi penontonnya. 


Minimnya interaksi dan partisipasi


Sebagai sebuah karya digital, maka interaksi fisik antara pertunjukan dan penonton menjadi sangat minimal, bahkan tidak ada. Meskipun dalam beberapa kasus, interaksi dapat pula dilakukan apabila pertunjukan teater digelar secara live streaming. Hal ini hanya relevan pada teknologi yang telah ada saat ini, tetapi pengembangan teknologi yang memungkinkan interaksi juga terus dilakukan. Comika.id, misalnya mulai mengembangkan teknologi live streaming yang dapat mengumpulkan respon penonton dan menyampaikannya kepada penampil.


Bahasa


Pertunjukan teater digital hendaknya melibatkan penggunaan Bahasa atau teks yang memberikan kemudahan bagi penonton untuk memahami. Hal ini tentu saja relevan bagi pertunjukan yang mengandalkan teks, tetapi bagi pertunjukan yang mengandalkan tubuh maka Bahasa yang relevan adalah Bahasa tubuh dan symbol. Seperti yang dilakukan oleh Youtube, penambahan teks berupa subtitle akan sangat membantu memahami sebuah pertunjukan teater digital.


ENTAH DAN PELUANG DIGITAL DI INDONESIA


Teater Pribumi telah mementaskan Naskah Entah yang kebetulan saya tulis pada tahun 2014. Sebagai bentuk respon pada keterbatasan pandemi Covid-19, pentas ini digelar secara digital melalui Youtube dengan akses terbatas. Untuk menyaksikannya penonton harus membayar sebesar Rp 20.000. Pertunjukan yang melibatkan "tangan" sinematografi ini memang bukan yang pertama, tapi cukup menjadi contoh usaha untuk mendigitalkan sebuah karya dan cara berkomunikasi dengan penonton. 


Pertunjukan yang digelar pada tanggal 26-28 Maret 2021 ini disutradarai oleh Siswandi dan melibatkan berbagai aktor dan tim dari Kabupaten Tuban Jawa Timur. Pertunjukan Entah memberikan optimisme bahwa meski dalam segala keterbatasan, proses kreatif tetap bisa terjadi bagi mereka yang menginginkannya. Tentu ini penting di tengah segala sumbatan pementasan yang entah oleh alasan estetis, fasilitas, idealis dan kemalasan. 


Pertunjukan yang mengusung drama tragedi keluarga sederhana ini disampaikan dengan cukup lancar meskipun tentu saja terdapat beberapa masalah. Misalnya logika ruang yang terganggu. Aktor-aktor seringkali melanggar logika ruang, misalnya apakah ada pintu atau tidak, kalaupun tidak maka bagaimana caranya perbincangan atau kerahasiaan bisa dijaga. Selain itu, kelemahan keaktoran juga nampak pada beberapa tokoh, kecuali Jongos. 


Tokoh Nyonya misalnya tidak punya ekspresi yang meyakinkan sebagai orang yang teramat kecewa, sementara tokoh kawan tidak seutuhnya menunjukkan tekadnya. Keduanya terjebak pada masalah klasik aktor: mereka hanya berakting sebatas perut ke atas. Kaki, sebagai bagian dari tubuh tidak mendapat perhatian. Dalam adegan menegangkan mereka tetap berjalan santai saja. Ini umumnya terjadi karena latihan tubuh tidak mendapat porsi yang cukup.


Sementara tokoh Tuan keluar-masuk karakter. Hal ini tentu mengganggu. Belum lagi aktor tidak mampu memberikan tafsir yang jelas pada "penyakit" yang diderita tokoh, sehingga tidak mampu memberikan perilaku psikotik yang jelas. Harusnya ini juga merupakan tanggung jawab sutradara. 


Aspek lain yang penting adalah musik yang cenderung kurang mampu mengisi adegan. Musik dalam konvensi realis adalah salah satu senjata ampuh dalam meningkatkan tensi adegan. Sebagai soundtrack, sebetulnya menarik, hanya saja tidak didukung oleh lirik yang kuat. 

Sebagai sebuah digital theatre, bantuan sudut pandang kamera cukup signifikan. Kamera mampu mengarahkan mata penonton, meskipun dalam beberapa kasus, mungkin karena kualitas kamera berbeda, cukup mengganggu konsistensi gambar. 


Tapi sebagai sebuah usaha, Pertunjukan Entah oleh Teater Pribumi cukup menggembirakan, bahwa meski di tengah tutupnya gedung pertunjukan, sebuah sajian teater masih ada. Beberapa kelompok teater yang melakukan hal yang sama adalah Teater Koma, Teater Payung Hitam, dan masih banyak yang lain. 


KELEMAHAN DAN TANTANGAN KE DEPAN


"Tapi lagi-lagi sayang, seperti di banyak daerah di Indonesia, kualitas internet tak menjangkau seluruh tempat," demikian yang dituliskan. Tentu saja internet membuat kenyamanan menonton teater menjadi terganggu. Tapi, dalam laporan "Digital 2021" yang diterbitkan pada 11 Februari lalu tersebut, terungkap bahwa kecepatan internet di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan kondisi pada waktu yang sama tahun lalu. Rata-rata kecepatan unduh (download) mencapai 17,26 persen (meningkat sebesar 24,8 % dibanding tahun lalu). Perbaikan infrastruktur digital ini akan terus terjadi. 


Tapi hal ini tidak secara langsung berpengaruh karena jangkauan penonton yang ditargetkan bukanlah seluruh daerah di Indonesia. Umumnya jangkauan sebuah teater terbatas ada lingkungannya. 


Adhyra Irianto juga menyoal kemampuan penonton menghadap layar. Dia merasa bahwa penonton pasti kesulitan untuk tetap menonton melalui layar. Mungkin Adhyra Irianto lupa bahwa berapa jam yang dihabiskan masyarakat kita hari ini di depan layar hp, komputer dan TV. Sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa remaja menghabiskan waktu 9 jam perhari di depan layar, dan 10,5 jam perhari bagi yang telah dewasa. Bahkan sebuah penelitian yang dilansir The Telegraph (9 September 2020) menyatakan bahwa pertemuan mata ideal manusia dengan layar selama 257 menit atau sekitar 4 jam 17 menit perhari. Dan saya rasa, kemampuan ini akan terus meningkat seiring peningkatan penggunaan handphone dan laptop. 


MASA DEPAN HYBRID PERFORMANCE


Kemunculan fenomena seni digital telah ada jauh sebelum hari ini, mulai dari seni rupa, sastra, musik dan yang terakhir menimpa teater. Teater yang selama ini sangat terikat pada panggung fisik kini mendapatkan penawaran untuk menggunakan cyberspace. Seni-seni yang sudah lebih dulu bersinggungan dengan cyberspace kemudian menghasilkan gerakan adaptasi yang menghasilkan pendekatan, platform dan perubahan perilaku penikmatnya. Contoh terdekat adalah yang terjadi pada musik. Kemunculan teknologi digital memungkinkan sebuah karya musik mampu direkam dan diedarkan secara lebih masif. Hal ini tentu saja menghadapi penolakan, tapi nyatanya teknologi itu ada hingga hari ini. Kalangan milenial, misalnya, pasti menikmati musik yang merupakan hasil teknologi digital itu. 


Perkembangan ini diikuti oleh munculnya platform seperti Joox, Spotify dll. Kemunculan platform ini membuat perilaku mendengarkan musik berubah, menjadi mendengarkan musik sambil melakukan aktivitas seperti mengemudi, mencuci, memasak dll. Meskipun kualitas audionya berbeda dengan live performance, musik digital tetap mendapatkan penikmatnya. Ini semacam versi murah dari karya musik. 


Kalau dia adalah ingin menikmati musik secara lebih nikmat dan eksklusif, maka dia akan mengunjungi konser live. Apakah semua produk musik itu punah? Tidak. Mereka menemukan penikmatnya masing-masing: pengagum kelas berat akan memburu konser dan vinyl, penikmat sekali lewat hanya akan menikmati melalui platform yang lebih murah, bahkan gratis.


Bagaimana dengan teater? Tak perlu takut. Hibridisasi itu akan pula terjadi.


TRADISI LITERASI


Tradisi literasi di bidang teater tidak semata upaya membaca atau menulis buku teater. Lebih luas lagi, literasi dapat diusahakan melalui upaya diskusi terbuka di media. Hal ini menjadikan berbagai perdebatan di media massa menjadi diskursus menarik, baik itu bagi seniman teater maupun bagi pembaca pada umumnya. Perdebatan yang tercipta dari Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, misalnya, memberikan kedewasaan intelektual untuk menyebutkan persoalan artistik di ruang publik. Demikian pula George Lucas dan Bertolt Brecht membantu mengurai kebekuan tafsir ideologi dalam ekspresi seni. 


Tentu saja perdebatan intelektual dalam bidang seni memerlukan argumen, tidak sekedar penilaian pribadi yang subjektif. Analisis-analisis perlu dilakukan untuk mendukung argumen. Hanya dengan cara itu literasi mungkin terjadi. Pendapat saja tanpa argumen dan analisis tak lebih dari ghibah yang rendah derajatnya. 


Hal inilah kenapa saya menulis esai ini dan berharap dapat dipublikasikan di website Pojokseni. Dengan begitu, perdebatan intelektual dapat terjadi.


Malang, 11-12 April 2021


Ekwan Wiratno adalah Dosen Universitas Brawijaya, Malang yang juga merupakan kritikus teater, penulis naskah, dan sutradara. Selain sebagai kritikus, penulis merupakan pendiri Malang Study-Club for Theatre (MASTER) (IG: master.malang) yang berfokus pada upaya literasi dan pengembangan keilmuan teater secara umum. Kini tinggal di Malang dan membuka peluang komunikasi melalui account Instagram @ekwan_wiratno.

Ads