Teater Virtual dan Kursi Kosong: Seniman Pindah Panggung, Penontonnya Tidak Pindah Kursi -->
close
Adhyra Irianto
28 March 2021, 3/28/2021 07:41:00 PM WIB
Terbaru 2021-03-29T22:35:16Z
BeritaNarasi

Teater Virtual dan Kursi Kosong: Seniman Pindah Panggung, Penontonnya Tidak Pindah Kursi

Advertisement
Pertunjukan Teater Senyawa bertajuk Ruang Tunggu yang digelar di depan hanya 30 orang penonton.

Teater virtual adalah sebuah omong kosong baru, sekedar hiburan atau pelipur lara bagi seniman teater yang terpaksa harus kehilangan panggung. Hanya sebuah fatamorgana untuk menutup sebuah fakta bahwa seniman teater telah lumpuh, lalu melata seperti ular menapaki jalan yang sudah sejak dulu sangat sunyi dan terjal ini.


Pindahnya pertunjukan ke layar kaca, atau mungkin ke sosial media, itu berarti migrasi kenyataan ke ke-maya-an. Sudah lebih dari tujuh pertunjukan yang saya saksikan secara daring, dan harus diakui bahwa semuanya hilang energi. Bahkan ada pertunjukan yang penulis tonton dengan mengikuti tata cara pertunjukan aslinya; menggelapkan ruang, tidak pindah tempat duduk, tidak makan, tidak minum, tidak merokok, tidak menyalakan flash, dan dilengkapi pula dengan menggunakan headset. Yah, energinya masih belum sampai ke pertunjukan teater aslinya, tapi bukan pula energi sebuah film, persis hanya sebuah video.


Penulis (dan pembaca mungkin) pernah menyaksikan di depan mata kepala sendiri sebuah kecelakaan di jalan raya. Atau mungkin bom yang meledak di tempat umum. Lalu bagaimana kengeriannya, darah yang berceceran, teriakan korban, para penonton yang histeris, cuaca yang panas, hingga suasana chaos. Semuanya terangkum (namun) terbatas lewat interaksi langsung. Manusia dengan keterbatasannya, tidak mungkin melakukan perangkuman yang tidak terbatas, bukan?


Kemudian, penulis membandingkannya dengan menyaksikan lewat video sebuah kecelakaan yang juga mengerikan. Atau yang terbaru, sebuah bom yang meledak di tempat umum. Keterbatasan manusia, ditambah dengan keterbatasan yang didapatkan karena tidak ada proses pengindraan secara langsung membuat perangkuman peristiwa itu semakin bias dan pudar. Ada batas untuk representasi konseptual yang diciptakan pengindraan jarak jauh itu. Batasnya begitu terbentang lebar. Mungkin akan hadir refleksi estetis dari sebuah karya yang berjarak, tapi tidak akan sebesar yang hadir ketika mengindra dan terintegrasi secara langsung.


Teater virtual tak akan mampu menghadirkan sensasi sebagaimana teater konvensional. Sensasi yang hadir dari ekspresi psikologis ketika menikmati dan hanyut pada sebuah karya. Pada akhirnya teater virtual pun meninggalkan domain itu, domain sensasi. Sebuah domain yang diutamakan dalam pertunjukan teater lewat interaksi tubuhnya. 


Bila Anda percaya bahwa teater bisa digantikan dengan teater virtual, maka Anda juga akan percaya ketika para aktornya digantikan dengan boneka atau robot. Maka teater menjadi satu sesi lain yang tergantikan dengan kecerdasan artifisial. Ingat sebelumnya, lukisan karya sebuah robot bisa laku Rp10 miliar hanya sekitar 10 menit setelah dilelang? (Saya akan tetap menggunakan "sebuah", ketimbang "seorang")


Biaya untuk menghadirkan sebuah pertunjukan yang sempurna juga akan membengkak. Sedangkan pemasukan dari karya itu, juga belum tentu atau mungkin mustahil untuk ikut meningkat.


Seniman Pindah, Penonton Tidak


Seorang robot yang menggelar pameran lukisan. Bukankah ini membunuh para seniman "manusia"?

Senimannya bisa saja pindah, tapi tidak dengan penontonnya. Maka pemutaran dokumentasi pertunjukan, atau mungkin sebuah pertunjukan yang disiarkan langsung, akan selalu mendapatkan masalah besar; tidak punya penonton.  


Bahkan tepuk tangan penonton di tengah pertunjukan, riuh rendah penonton, dan kebisingan di dalam gedung teater, semuanya akan berpengaruh pada penampilan seorang seniman. Apalagi bila tidak ada penonton di hadapannya? 


Pementasan terakhir yang digelar grup penulis bertajuk Ruang Tunggu dipentaskan dengan hanya 30 orang penonton. Pementasan itu juga disiarkan daring dan entah berapa yang menyaksikannya lewat live Facebook alias secara virtual. Kalau tidak salah, penonton lewat live Facebook lebih dari 30 orang.


Namun, 30 penonton secara langsung itu jauh lebih berarti dari ratusan mungkin ribuan penonton yang menyaksikan daring. Penonton yang menyaksikan lewat daring, apakah bisa dirasakan oleh senimannya? Tidak sama sekali. 


Kira-kira begini, ketika kita pentas maka kita "melemparkan energi" ke penonton. Lalu, respon penonton tersebut juga "melemparkan energi" ke pemain. Maka, ada dua kali lipat energi yang kembali ke para aktor. Apakah hal itu didapatkan dari ratusan penonton daring? Tidak! Tidak sama sekali.


Penonton tidak pernah berpindah, mereka tidak pernah bermigrasi menjadi "penduduk dunia maya". Manusia bukan algoritma, dan akun Facebook, Instagram, Youtube dan sebagainya itu jelas bukan manusia. Mereka bisa saja ribut, bisa saja tertidur, dan bisa saja meninggalkan layar yang sedang menayangkan pertunjukan itu. 


Perkara Fokus Penonton


Mata yang terlalu lama menyaksikan layar komputer tentu saja lebih cepat lelah. Maka banyak penelitian menunjukkan agar mata tidak sakit, maka alihkan pandangan Anda setelah 30 menit menyaksikan atau menatap layar kaca. Apalagi, bila pemilik mata itu sudah berusia di atas 40 tahun. Apa sanggup memelototi layar selama 2 jam pertunjukan, misalnya? 


Tapi, yang usianya muda, di bawah 40 tahun, siapa yang tahan 2 jam menatap layar komputer tanpa lelah dan akhirnya berhenti di tengah-tengah? Siapa penonton yang dengan senang hati tidak menatap tempat lain, hanya fokus pada panggung pertunjukan? Lalu, pertunjukan siapa yang menggunakan kamera statis namun tetap terlihat menarik dan mengikat penonton lebih dari 15 menit?


Maka pertunjukannya pindah, penontonnya tidak sertamerta ikut pindah. Di gedung pertunjukan, gedungnya benar-benar gelap. Tidak ada tempat lain yang bisa dilihat penonton secara fokus kecuali panggung. Semua gerak-gerik dan detail yang terjadi di atas panggung tetap menjadi fokus penonton. Para seniman dan musisi mengetahui hal itu dan menjadikan panggung pertunjukan menjadi seperti itu sejak abad ke-18. Tujuannya? Yah, agar semua detail yang ingin dipertunjukkannya bisa disaksikan oleh penonton.


Sejak itu pula, tepuk tangan di tengah pertunjukan tidak diperbolehkan. Opera dan musik klasik yang memulai, lalu seni pertunjukan lainnya mengikuti dengan cara yang sama. Sebagian ahli menyebutnya sebagai win-win solution, penonton mendapatkan penampilan yang terbaik, penampil mendapatkan apresiasi yang terbaik. 


Selain itu, agar penonton mendapatkan pengalaman yang "hampir" seperti menyaksikan langsung, ada banyak peralatan yang harus disiapkan oleh satu grup yang menggelar pertunjukan. Tidak hanya alatnya, tapi juga operatornya. Masalahnya, grup mana di Indonesia yang sudah menggunakan peralatan mixing untuk keperluan audio yang diterima para penonton di depan layar komputernya? (yang biasanya digunakan oleh band yang konser namun disiarkan live)


Kalaupun ada, berapa grup? Jangan-jangan sudah bisa dihitung dengan satu tangan saja.


Suara yang dihasilkan menjadi sebagaimana suara tanpa mikrophone, alias suara natural. Suara hentakan kakinya, robekan kertasnya, derap langkahnya, terdengar sebagaimana suara natural. Sehingga ketika menggunakan headphone, suara yang terdengar "hampir" seperti mendengar langsung ketika di panggung nyata.


(Baca juga: Omong Kosong Pertunjukan Teater Virtual Live: Sebuah Basa-basi di Kala Pandemi)


Masalah berikutnya, konektivitas. Siaran lewat dunia maya ini jelas membutuhkan internet. Bagaimana internet di Indonesia? Dulunya penonton untuk menonton pertunjukan teater hanya perlu membeli tiket. Sekarang, membeli tiket plus kuota internet. Mesti yang 4G, kalau tidak mau nontonnya tersendat-sendat.


Kemudian, mata penonton melihat ke arah mata kamera. Maka, mata kameramen adalah mata semua penonton. Semua penonton dipostulasikan sebagai algoritma komputer yang seragam. Ketika melihat ke kiri, maka semua mata akan ke kiri. Meski ada aktor lain di sebelah kanan. Namun faktanya, mata penonton memang bukan algoritma. Ketika yang hadir adalah sesuatu yang tidak ingin dilihatnya, itu berarti si penonton akan memilih untuk mengalihkan pandangannya.


Sebagai seniman teater, saya lebih memilih menunggu pandemi ini cepat berakhir. Sudah ada vaksin, bukan? Dari berbagai macam pandemi yang pernah hadir di dunia ini, vaksin seperti pahlawan yang hadir ketika ending cerita. Ketika vaksin hadir, namun belum juga tiba di akhir cerita, maka vaksin tadi adalah pahlawan penipu. 


Pandemi bisa dimanfaatkan untuk proses latihan, juga mengedukasi penonton, serta memupuk kerinduan penonton akan sebuah pertunjukan teater. Ketimbang harus beromantisme dengan "menjangkau penonton yang lebih banyak" tapi penontonnya menyaksikan pertunjukan sambil lalu. Sambil membaca buku, sambil ini, sambil itu. Apabila ada yang jauh lebih menarik di realitanya, maka penonton akan berpindah pikiran dan perasaannya. Maka pertunjukan teater yang dilatih berbulan-bulan, bertahun-tahun itu, hanya akan menjadi sesuatu yang numpang lewat di rumah penontonnya. Tidak berbeda dengan nyamuk yang lewat, suara ikan-ikan yang berenang di aquarium ujung depan rumah, tumpukan buku di lemari, atau tumpukan puntung rokok di asbak. Menyakitkan bukan, tapi seperti itu kenyataannya.


Kasarnya, memindahkan pertunjukan teater ke layar komputer berarti menjadikan pertunjukan teater akan sama dengan tumpukan puntung rokok di asbak yang ada di samping layar monitor. Maka premis bahwa "penonton telah hadir di internet" benar-benar menjadi bualan yang lucu. Ketika dulu ada kasus penghinaan lewat sosial media, lalu dilaporkan ke polisi, apa tanggapan kita? Yah, yang ada di internet jangan semuanya diambil hati. Kalau begitu, yah pertunjukan teater yang ada di internet juga akan bernasib sama: tidak perlu diambil hati.


Atau mungkin, pertunjukan teater di dunia maya adalah sebuah pariwara. Sebagaimana kalau kita melihat segelas kopi hangat di televisi, lalu pingin minum kopi, secara langsung. Atau, melihat semangkuk mie hangat di televisi, lalu jadi kepingin pula makan mie hangat secara langsung. Begitu pula setelah menonton "pariwara" pertunjukan teater di televisi, jadi kepingin pula nonton teater secara langsung.


Dunia maya memang bukan dunia yang kosong. Dunia maya adalah dunia yang berisi algoritma, tapi bukan manusia. Sosok yang Anda lihat di sana adalah foto, atau video, yang merupakan tumpukan algoritma. Seorang yang cantik di dunia maya, ketika bertemu di dunia nyata akan menghadirkan dua persepsi, "dia lebih cantik aslinya", atau "dia tidak secantik fotonya". Karena persepsi ketika melihat dunia maya tidak pernah sama dengan dunia nyata.


Ketimbang "pura-pura" pindah ke "teater virtual" atau apalah namanya, kenapa tidak sekalian saja buat film? Itu baru "migrasi" yang sesungguhnya, bukan? Karena dunia maya bukanlah panggung kosong lagi, biarkan dunia nyata yang menjadi panggung kosong itu. Sudah kepalang. Semuanya juga maya, dan angka orang yang melihat pertunjukan Anda di dunia maya itu (katakanlah 200 orang) juga hanya algoritma. 


Tidak bisa dipastikan, berapa orang dari 200 itu yang menonton pertunjukan Anda tanpa terganggu internet, mati lampu, rokok habis, kelaparan, anaknya rewel, dan sebagainya. Yah, senimannya bisa jadi pindah panggung meski terkesan dipaksakan. Tapi penontonnya apakah ikut pindah? Entahlah.

Ads