Tiga Tahapan Seni dan Pendapat Hegel tentang Sastra Komedi Sebagai Puncak Tahapan Seni -->
close
Pojok Seni
27 February 2021, 2/27/2021 05:30:00 AM WIB
Terbaru 2021-02-26T22:30:07Z
SastraSeni

Tiga Tahapan Seni dan Pendapat Hegel tentang Sastra Komedi Sebagai Puncak Tahapan Seni

Advertisement
GWF Hegel

pojokseni.com - Karena adanya karya seni sebagai objek estetis, maka akan terjadi pemisahan yang tegas antara seniman dengan pemirsanya. Hakikat seniman adalah orang yang menghasilkan karya seni. Karena adanya karya seni, maka seniman terpisah dari pemirsanya. Karena pemirsanya akan melihat karya seni, sebagai penyampai perasaan dan pesan seniman.


Maka dari itu timbul dilema. Bagaimana pula seorang seniman bisa terpisah dari penontonnya sendiri? Dilema inilah yang kemudian dibahas dan dikupas, sekaligus dicari solusinya oleh Georg Wilhelm Friedrich (GWF) Hegel, seorang filsuf dan estetikawan terkemuka asal Jerman dan paling berpengaruh di era romantik. Bahkan, pengaruh dari pandangan dan pemikiran Hegel  terasa hingga hari ini, nyaris sama dengan pengaruh filsuf satu negara dengannya, Imanuel Kant.


Hegel mencoba mencari penyambung antara seniman dengan pemirsanya yang terpisah karena karya seni. Seperti seorang pelukis yang memamerkan lukisannya dalam pameran. Pemirsanya akan mengagumi lukisan tersebut dan secara tidak langsung melihat jiwa pelukis itu di dalam seniman. 


Tapi, semangat seniman juga gemuruh di dalam batinnya tidak tersampaikan. Pemirsanya tidak melihat itu, namun hanya melihat permukaan, yakni bagaimana hasil karyanya. Karena itu, Hegel menyebut kejadian itu sebagai tahapan pertama dari seni, yang disebutnya sebagai seni abstrak.


Seni abstrak adalah tahapan ketika  karya seni hadir sebagai mimesis dari kehidupan nyata yang ditubuhkan dalam sebuah benda. Penonton atau pemirsa tidak intim dengan senimannya, tapi hanya mengagumi karyanya saja.


Sampai akhirnya, masuk ke tahapan berikutnya yakni seni hidup. Dalam tahapan ini, penonton akan merasakan keintiman estetis yang lebih tinggi dengan senimannya. Contoh paling mudahnya adalah dalam seni pertunjukan. Penonton bisa menikmati musik, menonton pertunjukan teater dan sebagainya. Di saat itu, penonton bisa ikut menari, ikut tertawa dan sebagainya bersama senimannya. 


Maka di saat itu, seni sudah masuk ke tahapan selanjutnya, menurut Hegel. Yakni, seni hidup.


Lantas, apa satu tahapan seni lagi? Seni rohani. Apa itu seni rohani?


Ternyata, tujuan sebenarnya dari seni masih bisa belum tercapai dengan seni hidup belaka. Apalagi, bila seni yang dimaksud dalam tahapan seni hidup hanya berupa hiburan belaka. 


Sebab, seni hidup berarti menjadikan peretasan jarak antara seniman dengan karyanya berlangsung "tanpa sadar" alias tanpa melibatkan kesadaran. Hal itulah yang membuat seni hidup menjadi tidak sepenuhnya mengandung kesadaran.


Karena dibutuhkan kesadaran untuk membuat ada sesuatu yang bisa dibawa pulang, mengubah pikiran dan kehidupan serta memberi makna bagi pemirsanya, maka ada satu tahapan seni lagi yakni seni rohani. Sastra misalnya, menjadi salah satu tahapan seni "rohani" ini karena terjadi komunikasi yang dilakukan secara sadar antara seniman dan pemirsanya lewat medium bahasa.


Sastra menurut Hegel terbagi tiga lagi, yakni sastra epik, sastra tragedi dan sastra komedi. Sastra epik membawa kisah kepahlawanan, atau kisah heroik dari zaman dulu kala yang pada akhirnya akan menghibur pembacanya. Namun baginya sastra jenis ini masih tetap memberikan jarak sebab ada era, tempat dan waktu yang jauh dari penontonnya.


Sastra tragedi akan memberikan kenikmatan tragis bagi pembacanya. Namun, karena tidak merasakannya, yang hadir hanya rasa iba atau kasihan. Sastra komedi justru mendapat tempat bagi Hegel karena tidak ada dewa-dewa yang mengintervensi di dalam ceritanya. 


Semua yang hadir dalam sastra komedi adalah manusia dan kesehariannya, lingkungan sosial dan kearifan lokalnya. Ditambah lagi, gelak tawa menjadi letupan yang memotong jarak antara seniman dengan pemirsanya. Bahkan, Hegel menyebut pula sastra komedi sebagai puncak seni rohani di dalam "fenomenologi roh" yang ditulisnya.

Ads