Heart of Almond Jelly: Kerja Interkultural dalam Proses Penciptaan Peran -->
close
Pojok Seni
25 December 2020, 12/25/2020 01:40:00 AM WIB
Terbaru 2020-12-24T18:44:18Z
teaterUlasan

Heart of Almond Jelly: Kerja Interkultural dalam Proses Penciptaan Peran

Advertisement



pojokseni.com - Heart of Almond Jelly karya Wishing Chong dipentaskan kembali secara virtual oleh Laboratory of Acting (Ekanusapertiwi Acting School). Sebuah dokumentasi pertunjukan ini sebenarnya telah dipentaskan secara langsung pada tahun 2015 dan sekarang menyapa penontonya kembali melalui kanal Youtube Ekanusapertiwi Acting School. Pertunjukan yang berdurasi sekitar dua jam ini ditayangkan dua hari berturut-turut, yaitu hari Kamis (25/12/2020) dan Jumat (25/12/2020). Kemudian, dokumentasi pertunjukan Heart of Almond Jelly akan didiskusikan pada hari Sabtu (26/12/20).


Pertunjukan Heart of Almond Jelly adalah sebuah peristiwa interkultural yang hadir dalam panggung teater. Laku aktor disusun oleh kontruksi lintas budaya antara Indonesia dan Jepang. Eka Nusa (Sayoko) dan Kedung Darma (Tatsuro) merelakan secara sadar tubuh dan pikirannyanya untuk dipenetrasi oleh budaya asing, kemudian dimanfaatkan sebagai material artistik dalam penciptaan peran. Pengalaman artistik ini memungkinkan terjadinya hibridasi budaya yang menawarkan konsep dan bentuk akting yang baru. Masalah yang krusialnya adalah ketegangan antara diri aktor dan diri tokoh yang berseberangan secara budaya dan sistem sosial.


Menjadikan budaya asing sebagai basis penciptaan peran tentunya merupakan sebuah eksperimen yang terbilang berani. Karena teater, menurut Barba (1988:26) dibangun oleh tradisi, konvensi, institusi dan kebiasaan yang sudah lama dan telah menjadi permanen di tubuh aktor. Mengadopsi budaya asing adalah upaya menghancurkan struktur permanen di diri aktor untuk kemudian disusun kembali konstruksinya menggunakan tradisi yang baru. Proses ini tentunya sangat rentan menjadikan aktor sebagai korban dari reduksi cross culture yang menjadikannya manusia tanpa identitas di tengah dualisme kultural. 


Jika dilihat dari berbagai karya teater interkultural sebelumnya, beberapa seniman dalam pertunjukan teater interkultural cenderung memilih budayanya sendiri sebagai basis atau acuan dalam proses kreatifnya. Seperti Rendra saat menggarap Hamlet karya William Shakespeare, Iswadi Pratama saat menggarap Anak Yang Dikuburkan karya Sam Shepard dan Suyatna Anirun saat menggarap Kuda Perang karya Goethe. Kecenderungan etnosentris ini tergambar dari proses adaptasi yang dilakukan pada teks asing untuk dijadikan teks lokal. Namun jalan berbeda ditempuh oleh Eka Nusa dan Kedung Darma dalam pertunjukan Heart of Almond Jelly.  


Kerja interkultural dalam proses penciptaan pemeranan tentunya merupakan proses yang rumit dan kompleks. Dimana setiap kebudayaan memiliki berbagai dimensi, seperti etika, estetika, religius hingga politik. Aktor tidak hanya dituntut untuk memahami dimensi-dimensi tersebut, tetapi juga diharuskan untuk menubuhkannya menjadi akspresi yang natural. Namun, ketika melihat akting dari Eka Nusa dan Kedung Darma, tergambar bahwa mereka telah menunaikan kerja interkultural dalam proses pemeranannya secara rapi dan lumayan berhasil. Meskipun pada beberapa adegan di mana idiom dan bahasa tubuh khas Indonesia tetap tidak dapat disamarkan.




Penonton (khususnya orang Indonesia) ditawarkan pengalaman estetik yang berbeda, yaitu masuk ke dalam sebuah peristiwa budaya urban Jepang. Tidak hanya akting saja, dari segi artistik seperti set panggung, kostum dan properti juga mendukung terciptanya suasana di negeri sakura. Meskipun, berbagai peristiwa menjadi asing dan berjarak untuk penonton Indonesia, seperti  adegan minum sake (minuman beralkohol dari Jepang), memakai kimono (baju tradisi Jepang) dan menghangatkan tubuh menggunakan kotatsu (meja yang diselimuti oleh futon). Meskipun demikian, pertunjukan Heart of Almond Jelly masih relatif renyah dan komunikatif karena selain bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, secara tematik cerita juga sangat universal dan memiliki relevansi yang kuat dengan situasi sosial yang terjadi di Indonesia. 


Selain memberikan pengalaman dan pengetahuan tentang Jepang, pertunjukan Heart of Almond Jelly juga mengobati kerinduan penonton untuk menyaksikan pertunjukan teater di tengah situasi pandemi Covid-19. Meskipun impresi yang diterima secara daring tidak begitu kentara, namun menonton pertunjukan secara virtual juga merupakan pengalaman yang baru bagi penikmat teater. Semoga pandemi ini segera berakhir dan aktor dipertemukan kembali kepada spektator dalam sebuah peristiwa teater.  

Ads