Anak Seorang Pejabat Teras, Sukses Jadi Petani -->
close
Pojok Seni
16 August 2019, 8/16/2019 11:24:00 PM WIB
Terbaru 2019-08-16T16:24:48Z
Artikel

Anak Seorang Pejabat Teras, Sukses Jadi Petani

Advertisement

pojokseni.com - Apa yang Anda pikirkan dengan judul tersebut? Bila Anda sampai tertarik membaca hingga ke halaman ini, berarti Anda bukan orang kebanyakan.

Tentu saja, tidak akan ada pejabat teras yang memiliki anak seorang petani. Kalaupun ada, tidak juga akan dibahas di artikel ini. Tulisan ini hanya akan membahas tentang stratifikasi sosial, kasta yang tak hilang-hilang dari pikiran, dan terakhir, bagaimana media mainstream menganggap judul dengan "mobilitas sosial", bisa menarik pembaca.

Kebanyakan orang akan lebih tertarik bila judul beritanya "Seorang anak petani, berhasil jadi PNS", atau "Seorang anak buruh, sukses menjadi anggota TNI" dan sebagainya. Familiar dengan judul-judul tersebut? Kenapa judul tersebut dianggap menarik?

Jawabannya adalah karena ada gerak sosial, atau mobilitas sosial. Dalam sosiologi, mobilitas sosial dianggap sebagai perubahan, pergeseran, peningkatan, penurunan dan pergantian status sosial dari seseorang. Bisa diartikan sebagai perpindahan tempat dari seseorang atau sekelompok orang, dari lapisan sosial tertentu ke lapisan sosial yang lain.

Maka seorang anak petani menjadi PNS, atau anak buruh menjadi anggota TNI menjadi sebuah mobilitas sosial. Umumnya, pandangan dari masyarakat adalah terjadi sosial climbing atau "naik strata" sosial dengan dua contoh tersebut. Pertanyaannya, apakah tani dan PNS memiliki strata sosial yang berbeda, dalam hal ini PNS lebih tinggi?

Berarti, apabila ada seorang karyawan di perusahaan besar, lalu dipecat dan menjadi petani, maka disebut sosial sinking (turun strata sosial)? Sekarang, pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang menentukan kelas-kelas sosial tersebut?

Dalam kondisi, ayah/ibu seorang petani atau buruh dan sebagainya, sedangkan anaknya "berhasil" menjadi dokter, pengacara, tentara, polisi, pegawai negeri dan pekerjaan lain yang "kelas sosial"nya dianggap lebih tinggi disebut mobilitas intergenerasi naik. Contoh mudahnya, kakek seorang petani, ayah seorang pedagang dan anak seorang pegawai. Itu disebut mobilitas intergenerasi naik.

Apapun itu, intinya adalah adanya kelas sosial, yang berarti ada stratifikasi sosial. Faktor yang menentukan strata sosial dari seseorang adalah ekonomi, politik, pekerjaan, popularitas dan sebagainya. Paling sering dianggap adalah faktor pekerjaan dan kekuasaan. Dan ini berarti, kehidupan kita memang masih distandarkan nilainya dengan uang.

Strata sosial, di zaman lampau disebut kasta. Bedanya, mobilitas sosialnya lebih tertutup. Sangat sulit seseorang yang berada di kasta waisya, misalnya, naik ke kasta ksatria. Meskipun hal itu mungkin saja, misalnya pada cerita Adipati Karna. Namun, kasta tersebut tidak bisa hilang dari pandangan masyarakat, sehingga wajar kalau kepala manusia masih sulit lepas dari itu.

Tidak peduli seberapa cerdasnya seorang manusia, bahkan seberapa berhasil ia dalam pekerjaannya, asalkan pekerjaan tersebut adalah petani, kebun, dan setipenya, maka masih dianggap rendah dalam strata sosial.

Dampak Negatif


Apa dampak negatif dari "kasta" sosial yang masih berlaku ini? Ditambah lagi dengan pemberitaan media dengan judul yang seakan menganggap pekerjaan tertentu sebagai strata sosial yang lebih rendah? Hasilnya adalah, meskipun lulusan atau sarjana pertanian, tidak menjadikan seseorang bercita-cita menjadi petani. Begitu pula lulusan atau sarjana peternakan.

Apabila orang tuanya memiliki lahan, maka lahan tersebut akan dijual, mungkin untuk modal usaha anaknya, atau untuk mendaftar di pekerjaan tertentu. Lahan tersebut dibeli oleh developer perumahan, dan akhirnya anaknya yang mendapat pekerjaan lewat penjualan lahan itu, juga mendapatkan rumah. Itu mungkin nilai positifnya.

Tapi, nilai negatifnya adalah, jumlah lahan dan petani juga semakin sedikit. Hasilnya, semua hasil bumi juga semakin sedikit, sedangkan konsumennya tetap banyak. Akibat paling terasa adalah, negara kekurangan beras dan itu berarti musti impor dari luar negeri.

Orang-orang yang memilih pekerjaan petani, peternak, dan sebagainya, bukan bekerja karena passion. Tapi, terpaksa dan tidak ada pilihan. Hasilnya, pekerjaan tersebut juga tidak dilakukan secara sukacita. Sambil diam-diam berharap kehidupannya dapat berubah tiba-tiba. Mungkin mendadak menjadi pengusaha, atau menikahi anak gadis satu-satunya dari seorang pengusaha kaya.

Orang-orang di daerah, juga memilih menjual tanah di kampung halamannya untuk menjadi ongkos merantau ke ibukota, atau kota lain yang lebih besar dari kampungnya. Kampungnya berubah menjadi lokasi industri, dan orang tersebut juga belum tentu akan berhasil di ibukota. Pertanyaannya, lingkaran ini sampai kapan akan berakhir?

Mungkin menghilangkan kondisi sosial, berupa struktur kasta, kelas dan strata bisa menjadi titik balik perubahan itu. Semua orang mesti mempertimbangkan bahwa semua pekerjaan sama nilainya sama terhormatnya. Bukan tidak mungkin, seorang petani yang sukses dengan pengaplikasian ilmu pengetahuan, bantuan peralatan teknologi dan sebagainya, justru mampu memiliki penghasilan yang jauh lebih tinggi dari pegawai negeri. Seorang seniman, mampu melanglang buana, berkeliling dunia, dan menampilkan karya terbaik berdasar dari tradisi daerahnya. Seorang buruh cuci, membuka usaha laundry, dan ia tetap mencuci hanya saja semakin banyak penghasilannya.

Apakah, strata sosial akan tiba-tiba meningkat apabila ekonominya membaik. Entahlah. Hidup memang tidak melulu bisa disandarkan pada uang. Makna hidup tidak bisa dibeli dengan uang. Bayangkan, kalau di sepanjang jalan dari Aceh sampai Papua, Anda tidak menemukan satupun tukang tampal ban. Atau, bayangkan bila Anda tidak pernah lagi melihat sawah ada di satu pulau pun di Indonesia. Hanya karena masalah strata sosial ini? (ai/pojokseni.com)

Ads