Sexy Killer, Elit Politik dan Masalah yang Tanpa Solusi -->
close
Pojok Seni
21 April 2019, 4/21/2019 02:06:00 AM WIB
Terbaru 2019-04-20T19:06:45Z
ArtikelResensi

Sexy Killer, Elit Politik dan Masalah yang Tanpa Solusi

Advertisement
Ilustrasi dampak tambang batubara
pojokseni.com - Beberapa hari sebelum Pemilu digelar, tepatnya ketika memasuki masa tenang Pemilu, sebuah film jenis dokumenter bertajuk Sexy Killer mencuat ke permukaan. Tidak tanggung-tanggung, penontonnya mencapai 16 juta, terhitung hingga hari Minggu (21/4/2019).

Video ini dimulai dengan dua orang kekasih yang sedang berbulan madu, mungkin di sebuah hotel berbintang dan menggambarkan bagaimana satu kamar di hotel dapat menggunakan listrik hingga ribuan watt. Apalagi, satu kota seperti Jakarta misalnya. Berapa ratus ribu watt yang dihabiskan per hari. Kemudian, dua orang pengendara motor menyusuri Indonesia dan mendapati dari mana sumber listrik tersebut berasal. Tapi, dua orang berbulan madu tadi hanya pembukaan film berdurasi 1,5 jam tersebut. Karena yang dipaparkan di film tersebut, bukan kisah cinta dan bulan madu sepasang kekasih tadi.

Selama 1,5 jam itu (dipotong 5 menit menggambarkan bulan madu sepasang kekasih yang menghabiskan ribuan watt listrik di satu kamar dalam satu malam), film ini mengisahkan tentang tambang batu bara di Kalimantan (Borneo), yang kemudian hasil dari tambang tersebut menjadi bahan bakar sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sejumlah tempat, di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan sebagainya.

Dimulai dari tambang batu bara. Mulai dari hulu sampai ke hilir. Diceritakan, betapa rusaknya ekosistem alam karena tambang tersebut. Namun, tidak ada reklamasi yang dilakukan oleh tambang, pasca penggalian. Pencucian batu bara membuat akses air bersih di sekitaran tambang menjadi sangat sulit ditemukan. Bahkan, di sebuah desa, dalam narasi film tersebut dikatakan bahwa air bersih sudah menjadi sejarah.

Warga harus mencari sumber air bersih untuk minum yang jaraknya jauh dari tempat tinggal mereka. Itupun, masih keruh dan tak layak minum. Beberapa warga tersebut adalah warga transmigran dari Pulau Jawa yang dikirim ke tempat itu untuk pemerataan penduduk dan diberi tanah untuk bercocok tanam. Namun, mereka tidak bisa bercocok tanam karena tanah sudah sangat kurang kesuburannya.

Bekas galian tambang juga menjadi masalah lainnya. Tidak ada reklamasi dari bekas galian tambang, mengakibatkan timbul ceruk yang kemudian berisi air di tempat tersebut. Ceruk tersebut menjadi seperti danau berukuran kecil dengan dalam rata-rata hampir 60 meter. Sudah ada ratusan warga terutama yang berusia muda, meninggal karena tenggelam di lubang air itu.

Setelah pencemaran lingkungan karena tambang batubara, masalah masih belum selesai. Batu bara dibawa ke sejumlah PLTU yang akhirnya menciptakan listrik, yang kemudian digunakan oleh semua penggunanya, termasuk kami dan Anda yang membaca blog ini. Tapi, harga yang mahal harus dibayar. Ratusan meter radius sekitar PLTU, musti menghirup debu dan material lainnya sisa pembakaran batu bara. Hasilnya, ratusan warga terpapar menderita sakit paru-paru, pernafasan dan sebagainya.

Ekosistem alam sekitar PLTU, seperti laut misalnya, menjadi rusak. Dampaknya, nelayan tidak mendapat ikan setiap harinya, air bersih sulit ditemukan, penyakit-penyakit berdatangan. Dari pemaparan di film itu, diketahui bahwa ada jutaan orang yang terdampak dan menjadi korban dari tambang batu bara, sampai PLTU. Lalu bagaimana kelanjutannya?

Film ini menampilkan potongan video debat calon presiden antara Bapak Joko Widodo dengan Bapak Prabowo Subianto. Keduanya mendapatkan pertanyaan tentang masalah yang diungkit di atas. Hasilnya adalah, Bapak Jokowi mengatakan bahwa tinggal 1 sampai 3 lagi masalah tambang yang belum diselesaikan, selanjutnya akan diserahkan ke Pemerintah Daerah setempat dengan pengawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Sedangkan Bapak Prabowo menyatakan setuju dengan apa yang akan dilakukan oleh Bapak Jokowi, dan itu juga akan dilakukannya apabila menjadi Presiden RI. Kedua tokoh nasional ini selalu memiliki jalan yang berbeda untuk pemecahan masalah dan meningkatkan perekonomian bangsa, namun satu suara terkait masalah tambang. Ini menjadi satu-satunya problem yang solusinya disepakati oleh kedua orang seteru abadi ini.

Masih dari film tersebut, disebutkan juga bagaimana nama-nama orang-orang di belakang Bapak Prabowo juga Bapak Jokowi, adalah dalang dari semua masalah tersebut. Apalagi, nama-nama yang disebut rata-rata adalah Jendral Purnawirawan baik dari TNI maupun dari Polri. Dengan adanya orang-orang besar, berpangkat dan elit politik di belakang masalah yang menimbulkan korban jutaan orang tersebut, maka masalah tersebut seakan tidak bisa hilang.

Ada beberapa orang yang sempat melawan, mereka demonstrasi, menolak menjual tanah mereka pada pemerintah dan sebagainya, namun hasil akhirnya, mereka malah dipenjara karena melawan pemerintah. Seperti ingin menembus tembok baja yang tinggi dan kuat, masalah ini bertemu jalan buntu. Dan akhirnya, sejak dulu, mungkin sejak Indonesia baru berdiri, masalah ini timbul dan tak jua bertemu solusi.

Apa Solusi Masalah Ini?

Tambang Batubara

Ada sebuah solusi yang ditawarkan, yakni mengganti sumber tenaga listrik dengan energi terbarukan, seperti angin, matahari dan air. Matahari, dengan panel surya, bisa dimanfaatkan, meski dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangunnya. Indonesia yang berada di garis khatulistiwa menjadikan daerah tropis ini memiliki banyak sinar matahari yang sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik.

Namun, sejak tahun 2013, Pemerintah  sudah mencoba dan hasilnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hanya menjadi sub Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Masalahnya adalah harga baterainya sangat mahal, bahkan tiga kali lebih mahal dari solar cell-nya. Padahal, solar selnya bisa bertahan selama 25 tahun pemakaian, sedangkan baterainya hanya bisa tahan selama 3 tahun saja. Itu yang diungkapkan oleh Dirjen Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) era itu, Rida Mulyana. Dengan kata lain, masalah biaya menjadi masalah utama kenapa PLTS masih sulit berkembang di negeri ini.

Pembangkit Listrik Tenaga Angin juga masih cukup sulit, karena tidak semua daerah memiliki potensi angin yang cukup. Seperti di Eropa dan Amerika, misalnya. Jadinya, kembali lagi ke Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), namun akan tergantung dengan debet air, sedangkan di musim kemarau akan kesulitan. Alhasil, kembali lagi ke PLTU yang selama pasokan batubara ada, maka listrik yang dihasilkan akan ada terus. Karena, kebutuhan listrik bukan hanya setiap hari, tapi bahkan setiap detik, bukan?

Tapi bisnis tambang batubara, dan PLTU, tidak hanya kotor dan bermuatan politik, tapi juga menimbulkan korban yang tidak sedikit. Akhirnya, kampanye golput mengudara, berbarengan dengan semakin populer dan trending topik-nya Sexy Killer.

Sebelum film itu, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan dan korupsi sudah sejak lama menyebutkan bahwa dalang dan pebisnis batubara yang kaya raya itu, berserakan di belakang kubu Jokowi-Ma'ruf Amin juga kubu Prabowo-Sandiaga Uno. Itu yang mengakibatkan, ada kelompok lagi yang menyerukan golput untuk tidak memilih keduanya, karena dua pasangan tersebut dianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sejumlah daerah yang terpapar dampak dari tambang itu. Apalagi, sampai saat ini, tambang-tambang yang dimaksud juga tidak bertanggung jawab termasuk melakukan reklamasi, reboisasi dan sebagainya terhadap alam yang sudah dirusak untuk kepentingan penggalian tambang batu bara.

Golput, Apakah Menyelesaikan Masalah?

Dampak tambang batu bara pada kerusakan alam

Apabila untuk menyelesaikan masalah yang sedemikian rumit di atas adalah menjadi golput, atau tidak menentukan pilihan ke siapapun, maka bisa dikatakan itu bukan sebuah solusi. Solusi yang tepat adalah terus menyuarakannya, agar siapapun Presiden RI yang terpilih nanti dapat melihat lebih dekat, dan tidak lagi hanya mendengarkan bisikan bagus dari pemerintah daerah yang mengaku sudah menyelesaikkanya. Menjadikkannya taman rekreasi, reklamasi dan sebagainya, tapi faktanya lokasi galian berada di tengah hutan dan di atas gunung, sangat tidak mungkin.

Presiden terpilih harus melihat masalah ini lebih dekat. Mungkin menonton film ini, bisa menjadi salah satu solusi pertama. Kalau bukan seorang dengan power sekuat seorang Presiden, maka masalah ini tidak mungkin bisa diselesaikan. People power untuk demonstrasi misalnya, juga tetap tidak menyelesaikan masalah. Kampanye lingkungan hidup harus terus dilakukan, bila perlu film tersebut yang merupakan penelusuran dalam, investigatif dan panjang, musti menjadi tontonan wajib bagi siapapun yang dilantik menjadi presiden.

Hanya saja, yah, tidak ada gading yang tak retak. Seperti itu juga film Sexy Killer ini. Meski penelusuran, investigasi dan penelitiannya sangat dalam, melelahkan dan menghabiskan waktu yang juga panjang, bukan berarti film ini tanpa catatan. Ada beberapa perspektif yang sedikit dipaksakan. Misalnya, memaksakan perusahaan mebel milik keluarga Jokowi ikut bertanggungjawab dengan kerusakan hutan yang dilakukan tambang batubara, mungkin terlalu dipaksakan. Pemaparan sesuai dengan dokumen perusahaan bahwa perusahaan mebel juga bisa melakukan berbagai hal lain, termasuk penambangan, juga sebenarnya ada di akta notaris dan SK Kemenkumham perusahaan apapun. Bahkan perusahaan pers misalnya, di akta notarisnya juga disebutkan bisa jualan mobil dan membuka jasa catering, loh.

Namun, yang dimaksud mungkin bagaimana hubungan antara keluarga Jokowi dengan nama Luhut Binsar Panjaitan yang memiliki tambang batubara bisa terlihat jelas. Ditambah lagi, beberapa nama dengan embel-embel "jenderal purnawirawan" baik di balik calon presiden Jokowi, maupun Prabowo, sebenarnya semuanya bisa diterima dengan jelas. Tanpa harus dipaksakan apa hubungannya.

Selanjutnya, ada pemaksaan yang kedua. Yakni, pemaksaan bahwa Indonesia musti menggunakan energi yang terbarukan untuk menggantikan PLTU, sehingga tambang batu bara di Indonesia begitu juga PLTU yang menghadirkan banyak dampak negatif pada lingkungan harus dihentikan dan ditutup. Tentunya, semua masih ingat bagaimana mantan presiden Amerika Serikat, Barrack Obama juga ditentang sejumlah LSM lingkungan hidup karena membuka PLTS di gurun, yang mengancam keberlangsungan hidup satwa liar di gurun beberapa tahun yang lalu. Jadinya, pembukaan pembangkit listrik dengan energi terbarukan bukannya tanpa masalah, bahkan akan cenderung menimbulkan masalah yang baru.

Lalu, bagaimana solusinya? Meminta PLTU untuk lebih peduli dengan warga sekitar, dengan terus membiayai siapapun yang terkena dampak debu dan material lainnya, tentu sah-sah saja. Hanya saja, warga akan tetap terpapar debu tersebut, kecuali kalau PLTU berhenti beroperasi. Korban akan terus berjatuhan. Sementara itu, apabila seluruh tambang batu bara ditutup, maka kekayaan alam itu akan terus terpendam di dalam bumi dan tak bisa menambah pemasukan bagi negara. Alhasil, jadilah seperti negara yang tidak memiliki kekayaan alam, dan semakin kecil pula pemasukan negara yang berimbas pada mandegnya pembangunan. Mandeg pembangunan, berarti mandeg pertumbuhan ekonomi, itu berarti negara itu akan semakin miskin dan terbelakang. Serba salah, bukan?

Entah apapun solusi dan jalan tengahnya, kita harus mendukung orang nomor satu di negeri ini dapat menyelesaikannya. Mencari jalan yang tepat dan mencegah korban lain berjatuhan. Golput, tentu saja bukan sebuah solusi. Tapi, golput juga hak politik warga. Tentunya, tidak bisa dikriminalisasi, karena hak politik bukan berarti sebuah kewajiban.

Tapi, keberhasilan utama dari film Sexy Killer adalah berhasil membuka mata puluhan juta manusia di Indonesia yang selama ini tidak menyadari ada harga mahal yang harus dibayar, untuk menyalanya sebuah lampu dan televisi di rumah kita. Bahwa ada jutaan orang yang menjadi korban, untuk terangnya kota kita.

Terpenting, salah satu keberhasilan lain dari film Sexy Killer yang paling utama adalah, saham sejumlah perusahaan, terutama pertambangan batubara, menjadi korbannya. Nilai sahamnya turun drastis. Tentu saja, tokoh-tokoh dan elit politik yang berada di belakang pasangan Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi musti kebakaran jenggot pasca film ini beredar. (ai/pojokseni)

Ads