Awang 5334 Celcius: Eksploitasi dan Krisis Ekologi -->
close
Pojok Seni
21 November 2018, 11/21/2018 04:48:00 PM WIB
Terbaru 2018-11-21T09:48:09Z
Media Patnerteater

Awang 5334 Celcius: Eksploitasi dan Krisis Ekologi

Advertisement

Awang 5334 Celcius sutradara Conie Sema narasi  T Wijaya

pojokseni.com - Layar tersingkap, cahaya menerangi wajah panggung dari sayap kiri. Tergambarlah nuansa yang serba putih, panggung terbagi menjadi dua bagian dengan pembatas yang juga berwarna putih. Seorang aktor tanpa busana dengan sehelai kain putih yang menutupi sebagian tubuhnya masuk perlahan dari sisi kiri panggung dan kemudian meletakkan batu-batu di tengah panggung. Sebentar kemudian suasana berubah drastis, sebuah hiruk-pikuk glamor tiba-tiba terjadi di bagian belakang panggung tepatnya di balik pembatas. Situasi kian kacau ketika situasi kegaduhan di balik pembatas mulai keluar tanpa batas mengisi setiap sisi panggung.

“Hari ini seperti lima abad lalu, angin utara membawa jutaan burung yang kelaparan di musim dingin dan bermimpi menjadi penguasa di gurun pasir. Sebagian lagi mereka yang terdesak kuda-kuda bermulut panah dan pedang. Hari ini mereka tidak datang tapi lahir dan berkuasa dengan beragam jurus silat.”

Begitulah sebuah kisah anak rawa dalam suhu 5334 Celcius, persembahan Teater Potlot yang bertajuk Awang 5334 Celcius. Pertunjukan berdurasi 60 menit ini dibawah arahan sutradara Conie Sema dengan narasi yang disusun oleh T Wijaya. Teater Potlot yang berasal dari Palembang ini bersama Awang 5334 Celcius-nya, merupakan salah satu dari penampil dalam acara Silek Art Festival yang diselenggarakan oleh Komunitas Hitam Putih di Gedung Hoerijah Adam pada selasa kemarin (20/11/2018).



Produksi ke 34 dari teater Potlot ini mencoba menyampaikan kondisi alam Indonesia hari ini yang telah tercengkram oleh kuku-kuku asing yang rakus. Budaya-budaya asing yang menyergap masuk begitu membuat pribumi terlena, hingga tak menyadari bahwa semua yang telah mereka miliki telah habis dihisap dan dikeruk. Potlot mengusung tema kondisi lingkungan dengan mengambil fokus pada masalah yang terjadi terhadap rawa gambut di Indonesia. Kritik teater Potlot atas kerusakan lingkungan yang terjadi diwakili oleh orang-orang tua yang memberontak atas situasi alam yang telah memprihatinkan. 

Awang 5334 Celcius menyuguhkan peristiwa-peristiwa yang memiliki kausalitas yang tinggi, beberapa makna dipertegas dengan penyampaian narasi-narasi oleh para aktor. Pilihan simbol yang dihadirkan sangat dipertimbangkan, karena dapat ditangkap maknanya tanpa merusak bentuk garapan secara visual. Namun, ada beberapa simbol yang terasa nyinyir dan mubazir karena disampaikan melalui penanda properti, narasi dan juga bahasa tubuh. Sehingga makna yang disampaikan melalui simbol-simbol terkesan tumpang tindih.

Sambung rapat antara peristiwa demi peristiwa berjalan dengan rapi dan sangat tergarap. Pilihan musik, cahaya dan set panggung yang bernuansa putih juga menjadi daya tarik tersendiri dari pertunjukan ini. Pilihan budaya dari wilayah barat menjadi pilihan simbol untuk menyampaikan budaya asing dan silat menjadi representasi dari budaya lokal.  



Namun, dalam konteks pemerananya terasa masih lemah. Narasi-narasi penting yang sampaikan aktor tidak memiliki beban emosional, sehingga setiap kata terasa tanpa isi. Hal ini menjadi salah satu penyebab setiap bahasa verbal yang dihadirkan tidak komunikatif. Peristiwa-peristiwa yang mengandalkan bahasa nonverbal juga terasa sangat lemah, karena gestur aktor belum dapat membahasakan makna melalui tubuh mereka. Eye contact aktor yang kosong menggambarkan kebingungan aktor tentang laku yang sendang mereka perankan. Para aktor dalam pertunjukan Awang 5334 Celcius belum menyadari bahwa kehadiran mereka sebagai media penting penyampaian makna.
Kelemahan dalam konteks pemeranan inilah yang menyebabkan pertunjukan Awang 5334 Celcius terkesan antiklimaks, karena setiap aktor gagal dalam menjaga dramatik dalam setiap peristiwa. Namun, secara cerita Awang 5334 Celcius memiliki daya tarik yang kuat. Garapan spektakel yang rapi juga membuat pertunjukan ini tidak membosankan dan menarik disaksikan hingga akhir. Namun, pengolahan seni peran perlu mendapatkan perhatian serius bagi teater Potlot untuk karya-karya ke depannya.

Teater Potlot dalam beberapa karya terakhir begitu serius mengkritisi kondisi lingkungan, hal ini mempertegas eksistensi kelompok teater dari Palembang ini sebagai kelompok teater produktif yang peduli terhadap lingkungan. Kehadiran dari kelompok Teater Potlot ini perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi dan diharapkan dapat terus menjaga eksistensinya, mengingat mayoritas kelompok teater hari ini lebih suka bergelut dengan paham-paham, teori-teori, filsafat dan ekspresi-ekspresi tanpa batas, tanpa sedikitpun memperdulikan alam sekitarnya. (isi/pojokseni.com)

Ads