Margining Urip: Karya Dari Lima Etnis -->
close
Pojok Seni
17 July 2018, 7/17/2018 12:15:00 AM WIB
Terbaru 2018-07-16T17:15:17Z

Margining Urip: Karya Dari Lima Etnis

Advertisement


pojokseni.com - Pertunjukan karya Margining Urip dengan koreografer I Dewa Ayu Sri Utari digelar pada tanggal 14 Juli 2018 di Depan Rumah Gadang PDIKM Kota Padangpanjang. Pertunjukan ini dimulai pukul 20.30 WIB, didukung oleh 14 Penari antaranya I Dewa Ayu Sri Utari, Winda Karina Hanafi, Ana Anita Ismiarty,  Setry Novya, Kaka Maulana, Siska Zona Ramadhani, Intan Nursyakina, Dendi Wardiman, Cut Luthfiya Nurzihan, Geni Ardi Ningsih, Alsi Putri Doeta, Wiwid Wahyuni, Vicky Brave Syuhada dan   Rahmatul Hasni.

Selanjutnya  didukung oleh 6 pemusik yaitu I Dewa Nyoman Supenida S.S.Kar., M.Sn.Dr. Asep Saepul Harris M.Sn.Sriyanto S.Sn., M.Sn.M. Herkha Syahputra S.Sn., M.Sn.Boby Anoza Ahda dan Muhammad Hatta. Karya berdurasi 55 Menit , disajikan di depan dewan penguji dan pembimbing, yaitu Dr. Erlinda.,S.Sn.,M.Sn. Dr. Susas Rita Loravianti., S.Sn.,M.Sn.  Ediwar.,S.Sn.,M.Hum.,Ph.D.  Dr. H. Martion.,S.Kar.,M.Sn.  dan  Dr. Hj. Rasmida.,S.Sn.,M.Sn.

Penonton datang dari beberapa kalangan, etnis-etnis yang telah diundang dari beberapa paguyuban di Padangpanjang menjadi saksi perjuangan Ayu dalam menyelesaikan Ujian Tugas Akhir Pascasarjana untuk mendapat gelar Magister Seni.

Meskipun pada bagian I karya Margining Urip di guyur hujan, justru karya semakin kuat, air hujan turun membuat suasana karya pada bagian I semakin terbangun, percikan air yang dimainkan oleh beberapa penari saat menggunakan properti kain-kain memberi efek yang luar biasa. Proses pembelajaran lima etnis, Bali, Jawa, Minang, Batak dan Cina terlihat sangat jelas pada bagian II, dengan pemunculan dua-dua penari dan didukung artistik menandakan suasana masing-masing etnis tersebut.

Pada ending karya suasana begitu luar biasa, koreografer memadukan beberapa kain-kain sesuai simbol etnis, di garap sangat menarik. Permainan lighting mendukung suasana pada bagian ending, dan dinamika musik sangat mendukung karya Margining Urip.

Lemparan lima kain-kain yang ditujukan ke koreografer dengan geritan penari-penari di tandai bahwa karya berakhir. Dan tepuk tangan oleh penonton memberi kesan bahwa setiap kita punya perjalanan hidup masing-masing. Ya inilah perjalanan hidup sang Koreografer.

Karya Margining Urip berhasil digelar berkat tim produksi yang dipimpin oleh Suci Intan Maulia.,S.Sn sebagai pimpinan produksi, I Dewa Bagus Ari Wicaksono sebagai  Asst. Pimpinan Produksi, Teuku Akmal Al Hasyim sebagai Stage Manager, Dr. Sulaiman Juned S.Sn., M.Sn. sebagai Skenografi, dan seterusnya.

Sekilas Konsep Margining Urip


Margining Urip berasal dari bahasa daerah Bali dan Jawa, Margining yang berarti perjalanan, sedangkan Urip adalah hidup, maka Margining Urip adalah perjalanan hidup.

"Garapan ini dapat dimaknai secara subjektif sebagai suatu metode perjalanan hidup berdasarkan pengalaman (empiris) pengkarya yang diinterpretasikan yang diperkuat dengan elemen-elemen komposisi," ungkap Ayu pada PojokSeni.

Pengkarya terlahir dari pasangan yang memiliki latar belakang budaya berbeda yaitu Jawa (ibu) dan Bali (ayah), kemudian dilahirkan di daerah perantauan yaitu Minangkabau tepatnya di kota Padangpanjang.

Akhirnya menimbulkan persoalan budaya yang kompleks, dan terjadinya proses adaptasi diri yang dilakukan mulai dari masa kecil hingga saat ini. Proses adaptasi tersebut dilakukan secara bersamaan, mulai dengan memahami bahasa, adat  istiadat, sampai pada persoalan tingkah laku dari budaya Jawa dan Bali, semua memiliki perbedaan yang mewarnai kehidupan pengkarya.

Kehidupan yang pengkarya lalui dengan berbagai perbedaan, tentulah berbeda dengan penduduk setempat yang merupakan etnis Minangkabau. Hal ini, pengkarya rasakan ketika memasuki dunia pendidikan di usia 5 tahun pengkarya menduduki bangku Taman Kanak-Kanak, bergaul dengan orang yang berbeda budaya yaitu: budaya Minang, Batak dan Cina. Selanjutnya ketika menduduki pendidikan di jenjang SD, SMP, SMA, tentulah sebagai siswa, pengkarya memperkenalkan diri terhadap identitasnya.

Dalam proses ini pengkarya sebagai siswa yang berasal dari dua etnis sedikit merasakan ambigu ketika memperkenalkan diri. Faktor ini dikarenakan teman-teman tempat pengkarya menempuh pendidikan SMP dan SMA mayoritas terlahir dari satu etnis, yakni orang yang berbudaya Minangkabau. 

Pengalaman yang pengkarya jalani menjadikan pengkarya termotivasi untuk mengetahui lebih dalam tentang dua budaya yaitu, budaya tempat kelahiran orang tua laki-laki (Bali) dan orang tua perempuan (Jawa).

Di satu sisi pengkarya juga melakukan proses pengamatan terhadap lingkungan sekitar tempat tinggal pengkarya yang mayoritas masyarakatnya berbudaya Minangkabau, dan juga masyarakat-masyarakat perantau yang terdapat di wilayah Padangpanjang, khususnya masyarakat yang dekat dengan diri pengkarya.

Keingintahuan tentang dua etnis yang berbeda dalam waktu yang bersamaan memang terasa sangat berat, hal ini dikarenakan proses keingintahuan ini  dilakukan secara bersamaan. Di satu sisi hal ini di luar batas kemampuan pengkarya karena tidak melakoninya secara fokus.

Di sisi lain, keinginan itu tetap menjadi gejolak yang selalu berkesinambungan bagi pengkarya, yang kadangkala gejolak itu menimbulkan dilema bagi pengkarya sendiri dalam menjalani hidup. Pengkarya tertarik dan terinspirasi menjadikan permasalahan tersebut untuk dituangkan  ke dalam sebuah karya tari.

Hal ini dikarenakan pengkarya merasa perjalanan hidup yang dijalani memiliki sebuah memori berdasarkan pengalaman yang sangat berharga bagi pengkarya sendiri. (isi/pojokseni)

Ads