Pemberontakan Perempuan Minangkabau Terhadap Emansipasi -->
close
Pojok Seni
17 October 2016, 10/17/2016 03:18:00 PM WIB
Terbaru 2016-10-17T08:18:37Z
BeritaeventMedia Patner

Pemberontakan Perempuan Minangkabau Terhadap Emansipasi

Advertisement
Review Pertunjukan "Perempuan di Batas Ambang", Padangpanjang, Sumatera Barat

Review Pertunjukan "Perempuan di Batas Ambang", Padangpanjang, Sumatera Barat


“Tuhan yang menentukan kodrat kaum wanita! Emansipasi tidak dapat berlaku dalam segala persoalan!” ucap lirih seorang wanita berbaju putih yang tengah terikat oleh bingkai putih dan kain marawa (merah, kuning dan hitam).

pojokseni.com - Emansipasi dewasi ini masih menjadi topik yang aktual untuk diperbincangkan. Bagaimana kesetaraan harus diperjuangkan, terlebih bagi kaum perempuan. Namun adat dan agama telah menentukan tarafnya masing-masing. Terkhusus untuk adat Minangkabau, tata hidup perempuan telah diatur sedemikian rupa dengan norma-norma adat minang kabau.

Ada batasan-batasan yang tak boleh dilampaui oleh kaum perempuan Minangkabau. Namun, kaum perempuan khusunya perempuan Minangkabau mulai memberontak atas fitrahnya. Mereka akan melakukan apa saja agar dipandang setara dengan kaum lelaki. Akan tetapi, emansipasi tak bisa digunakan dalam segala hal. Ada tingkat dan kedudukan yang hanya lelaki yang bisa mendudukinya. Pemberontakan kaum perempuan atas ketidakadilan inilah yang memicu matinya hati nurani.

Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Meria Eliza selaku sutradara dari pertunjukan “Perempuan di Ambang Batas” rekonstruksi dari naskah Nurani karya Wisran Hadi. Meria Eliza mencoba menyusun kembali naskah Nurani karya Wisran Hadi dengan memasukkan unsur-unsur kebaruan didalamnya. Agar naskah yang dibuat pada tahun 1981  ini, konteks dengan zaman sekarang. Pada proses penyusunan kembali teks drama nurani, Meria dibantu oleh Sahrul. N yang juga bertindak sebagai dramaturg dalam proses ini. Untuk proses penggarapannya, Meria dibantu oleh asisten sutradara, Russel AF.

Tokoh Nurani, yang menjadi simbol dari hati nurani. Menyampaikan ketidakberdayaannya melalui tubuh. dengan baju putih, dapat menyimbolkan sucinya hati nurani. Namun, pengolahan tubuh yang dipilih terkesan sangat berat dan kasar. untuk menyampaikan ketidakberdayaannya, lebih seperti pemberontakan. Sehingga pada pentas kali ini, tokoh Nurani terkesan sangat mengerikan. Tatapan yang tajam, gerak-gerak yang kasar. Seketika hilanglah tafsiran penonton akan hati nurani yang putih dan suci. Muncullah tokoh nurani yang mengerikan atas pemberontakan-pemberontakannya.

Hal yang menarik dari pertunjukan "Perempuan di Batas Ambang" ini adalah, posisi penonton berada di atas panggung. Sedangkan para aktor yang berperan, bermain di area tempat duduk penonton. Inovasi ini benar-benar mencuri perhatian khalayak ramai.

Review Pertunjukan "Perempuan di Batas Ambang", Padangpanjang, Sumatera Barat



Pertunjukan yang berjalan selama satu jam setengah ini sangat menarik hati penonton. Dengan adegan-adegan yang mengundang gelak tawa penonton. Kelucuan-kelucuan yang dihadirkan bersifat refleksif. Para penonton yang tertawa, mulai menyadari bahwa mereka sama saja menertawai diri mereka sendiri.

Beberapa dialog dilemparkan langsung kepada penonton, hal ini membuat pertunjukan ini terasa sangat akrab. Dengan konsep teater epic Brecht, pertunjukan “Perempuan di Ambang Batas” benar-benar membuat penonton menjadi sadar tentang apa yang terjadi disekitarnya dan mulai mengkritisinya.

Pertunjukan “Perempuan di Ambang Batas” ini sarat akan simbol-simbol. Beberapa adegan tidak disampaikan menggunakan bahasa verbal. Meria, memilih menyampaikan pesan di beberapa adegan melalui media tubuh. Dengan set artistik yang juga bersifat simiotik. Namun, symbol-simbol yang dihadirkan dalam pertunjukan ini terkesan sedikit ‘nyinyir’. 

Seperti adegan saat-saat kematian nurani. Adegan ini disampaikan melalui tubuh-tubuh aktor yang distilir. Gerstur yang ekspresif ini sudah cukup mewakili ketidakberdayaan nurani hingga kematiannya. Namun, sutradara masih memperjelasnya dengan lontaran kata-kata penanda ketidakberdayaan nurani. Hal ini membuat tumpangtindinya bahasa verbal dan nonverbal.

Dalam konteks pemeranan, daya hadir aktor benar-benar menarik spektator. Dengan akting karikatural mereka, benar-benar membuat penonton melupakan handphone yang mereka genggam. Kejutan-kejutan yang dihadirkan juga berhasil memecahkan suasana.

Secara keseluruhan, pesan dapat ditangkap dengan baik oleh penonton. "Pertunjukkannya keren. Ada lucunya ada sedihnya. Simbol-simbol yang dihadirkan juga dapat ditangkap," kata seorang penonton, Dewi Aprilia. (isi/pojokseni.com)


Ads