Antara Fiksi dan Nonfiksi -->
close
Pojok Seni
01 September 2016, 9/01/2016 12:15:00 PM WIB
Terbaru 2016-09-01T05:15:01Z
ArtikelSastra

Antara Fiksi dan Nonfiksi

Advertisement

Oleh : Emong Soewandi*

Ada data panjang yang memperlihatkan ketegangan yang terjadi antara dunia fiksi dan nonfiksi. Hampir tak dapat pisahkan antara kedua dunia ini, ketika menjawab kenyataan atau kebenaran.

Dunia fiksi, dengan segala indikasi fiktifnya dan tak dapat diselidiki kebenaran nyatanya, ternyata dapat dipandang oleh kelompok pembaca sebagai kenyataan de re, kenyataan faktual, lebih dari sekedar kenyataan de dicto, kenyataan yang hanya ada dalam kalimat.

Siti Nurbaya, sebagai tokoh fiktif di mata banyak pembaca adalah tokoh faktual, ketika orang mengaitkan nisan yang bertuliskan ‘Siti Nurbaya’. Atau pun ada upaya pembaca untuk menemukan referensi antara nama, tempat atau suatu kejadian dalam teks fiksi dengan kenyataan faktual.

Masih banyak buku, film atau sinetron yang berada di persimpangan fiksi dan nonfiksi, sehingga memasang tulisan berupa peringatan “semua nama, tempat, atau kejadian yang ada dalam film atau sinteron ini jika memiliki hubungan dengan dengan peristiwa sebenarnya adalah bersifat kebetulan”. Sebuah kebingungan interpretasi.

Sebaliknya, ada pengarang yang memang berangkat dari kenyataan faktual untuk diolah menjadi karya sastra. Karya semacam ini apakah menjadi karya fiktif atau karya nonfiktif?

Pengertian Fiksi/Fiksional dan Nonfiksi


Ada teks-teks yang ditulis dengan usaha sungguh-sungguh untuk mengatakan apa adanya. Pada teks-teks semacam ini pembaca diberi kesempatan untuk membandingkan informasi yang disajikan dengan informasi lain, dan bila perlu melengkapinya tanpa prasangka.

Namun, ada juga teks-teks di mana pembaca dihadapkan pada fakta-fakta, yang disajikan dengan sengaja telah disesuaikan dengan tujuan tersembunyi. Dunia dimunculkan sebagai dunia yang sesungguhnya karena di situ terdapat orang-orang yang sesungguhnya ada dan peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi.
Pembaca dalam situasi ini dimanipulasi ke gambaran kenyataan. Yang membuatnya menjadi tak berdaya. Manipulasi lewat teks-teks semacam ini terutama dicapai dengan pembauran-pembauran fiksi dan nonfiksi secara halus.

Untuk melakukan pendekatan yang sistematis, yang lebih mudah bagi para ahli sastra, maka pendekatan semiotislah yang sesuai. Teks dianggap sebagai suatu tanda, dibentuk oleh tanda-tanda lain. Tanda-tanda ini memegang peranan dalam proses komunikasi.

Kalau proses komunikasi berjalan dengan baik, pengirim tanda mencapai penerima tanda yang di dalam pikirannya terjadi suatu proses penafsiran. Proses penafsiran ini terjadi karena tanda yang bersangkutan merujuk pada suatu kenyataan (denotatum). Setelah itu terjadi pembentukan tanda baru di dalam pikiran si penafsiran.

Tanda baru ini dalam semiotika disebut interpretan. Sehubungan dengan adanya bermacam-macam unsur yang berperan dalam penggunaan tanda, semiotika dapat dibagi dalam wilayah penelitian. Kajian mengenai hubungan antartanda disebut sintaksis. Telaah mengenai hubungan antara tanda-tanda dan denotatanya disebut semantik; dan telaah mengenai hubungan antara tanda dan pemakai tanda disebut pragmatik.

Kata fiksi dan nonfiksi begitu sering dan mudah dipakai secara berdampingan atau dalam oposisi, jelas tergantung pada makna ganda (polisemi) kata fiksi. Dalam pengertian semantik, fiksi menunjuk pada status denotatum yaitu rekaan. Namun, kedua pengertian ini saling berkaitan: dalam fiksi terdapat fiksi, ada juga nonfiksi di dalam fiksi; dan ada fiksi di dalam nonfiksi.

Sintaksis Fiksi dan Nonfiksi

Setiap teks paling sedikit dapat ditemukan satu tanda yang memastikan status semiotisnya: sebuah tanda-ini-fiksi atau sebuah tanda-ini-nonfiksi. Dengan adanya tanda ini juga orang-lain berusaha menangkap maksud kita, sejauh tanda-tanda itu dapat teramati. Sementara pada karya sastra kita harus menemukan perbedaan-pebedaan antara indikasi yang mengiringi teks dengan indikasi yang terdapat dalam karya itu sendiri. Tanda-tanda pada karya sastra merupakan tanda-tanda-ini-adalah-fiksi. Hal ini disebut indikasi fiksional.

Penulis umumnya mengirimkan tanda sastra dengan niat menggelitik penerima tanda, membuat cemas pembaca dengan membuat batas menjadi samar-samar dan meledakkan simbolisitas (konvensi) sehingga calon pembaca justru tidak mengetahui jenis teks yang dibaca.

Dalam karya sastra kita berhadapan dengan indikasi-indikasi yang tak dapat diketahui, yang tidak mungkin dicek kebenarannya. Hal ini disebabkan karena kita menghadapi referensi yang bersifat denotatum.

Semantik Fiksi dan Nonfiksi


Ditinjau dari segi semiotik, pernyataan semantis mengenai nilai kebenaran suatu pernyataan adalah pertanyaan mengenai status denotatumnya. Seandainya denotatum termasuk kenyataan, maka pernyataan tidak fiksik. Sebaliknya, kalau denotatum tidak termasuk kenyataan, maka pernyataan adalah fiktif.

Walaupun memang ada daeah yang remang-remang di tepi wilayah kenyataan. Ada kenyataan yang dikenal dan ada yang tidak. Hal dikarenakan, bahwa selain kenyataan yang kita ketahui atau dapat kita ketahui adalah lewat indera kita, atau kenyataan faktual, juga terdapat kenyataan lebih daripada yang dapat kita tangkap oleh indera kita (counterfactual), seperti kenyataan dalam khayalan, ekstase atau situasi konsentrasi atau hipnose.

Hal ini membentuk ‘dunia kita’, sebagai kenyataan faktual menjadi sebuah “dunia yang mungkin” dengan adanya impian atau khayalan, dengan kenyataan-kenyataan nonfaktualnya. Metafora-metafora hanya dapat ditemui dalam dunia yang mungkin ini, di mana kenyataan faktual dan nonfaktual sebagai denotata yang memainkan peran dalam semiotika teks.

Dunia ini adalah dunia fiksi, sebuah dunia-dalam-teks, sebuah dunia dengan kebenaran de dicto, kebenaran yang dapat dikatakan (lawannya adalah kebenaran de re, kebenaran faktual). Sebuah dunia yang dikatakan oleh Peirce tak mungkin lagi dideskripsikan dunia fiktifnya dengan dunia nyatanya.

Atas dasar fiksivitas yang berangkat dari pikiran dan isi perasaan sebagai denotata ini, fiksi tidak dapat diselidiki secara khusus wilayah kebenarannya. Karena itu, fiksi memiliki sistem kebenaran intern dan logika intern tersendiri. Denotatum sebuah teks fiksional termasuk kenyataan, faktual atau non faktual dan interpreatannya adalah dunia mungkin. Tidak ada ketidakpastian dalam teks fiksi. Teks yang tercipta karena tidak ada titik temu antara hal yang didenotasi dengan hal yang diketahui pembaca.

Pada akhirnya aspek fiksivitas pada teks fiksi tidak akan pernah memunculkan fakta baru, namun teks fiksi memungkinkan memunculkan cara baru untuk melihat sesuatu. Ahli logika Frege mengatakan bahwa dalam nonfiksi yang penting adalah Wahrheit (kebenaran), sedangkan dalam fiksi yang terpenting adalah Wirkung (efek). Wirkung terpenting pada fiksi adalah fiksi harus melahirkan suatu kenyataan baru yang memiliki daya konfrontatif dengan kenyataan yang kita kenal.

Pragmatik Fiksi dan Nonfiksi


Keabsahan teks tidak hanya menyangkut daya ilokusioner (benar atau tidaknya benar), tetapi juga daya perlokusioner (apa yang dapat dilakukan sebuah teks). Untuk itu penulis fiksi tidak terikat persyaratan kebenaran ekstern, bahkan dapat saja penulis fiksi tidak perlu memikirkan pembatasan hukum.

Namun, hal ini dapat terjadi sejauh seorang penulis sejati telah mempunyai kekuasaan moral yang besar, sehingga dapat menyadari akan pengaruh yang dimilikinya dan dapat mengukur sendiri tanggung jawabnya dengan penguh tersebut. Dengan adanya tanggung jawab ini maka, sebuah karya sastra akan menjadi indeksikalitas pribadi seorang pengarang.

Walaupun dari segi memiliki kebenaran yang tidak dapat diselidiki, namun pada tataran pragmatik karya sastra memiliki nilai kenyataan hidup. Karena itu, tak aneh jika sebuah karya dipandang sebagai potret seorang pengarang atau keinginan-keinginannya. Hal ini kemudian memungkin penulis fiksi memiliki hak dan tugas untuk membawa pembacanya ke tempat yang dia kehendaki. 


Sementara pembaca dapat menerima situasi ini, karena pembaca sendiri dalam situasi siap menyerahkan diri sepenuhnya dalam permainan tekstual. Namun, kesiapan pembaca di-‘bohong’-i ini memiliki suatu persyaratan khusus, yakni penulis tidak melakukan manipulasi. 


Dengan keterbukaan perlokusi, penulis dapat menciptakan apa saja, tanpa apa upaya pembaca untuk mempertanyakan di mana ilokusi berada. Pertimbangan ini dapat ada dengan kesadaran bahwa tanggung jawab pada diri pengarang, tentu pengarang juga tidak akan mengorbankan ilokusi karya, sementara memanipulasi perlokusi seluas-luasnya, hingga kebenaran karya menjadi hilang atau kabur; karya sastra menjadi tidak benar.

Penutup


Pemahaman atas sintaksis, semantik dan pragmatik dapat membantu pembaca untuk memahami fiksi dan nonfiksi, karena semiotika yang dipergunakan dalam menelaah karya sastra dibangun atas tiga kajian tersebut. Fiksi selamanya akan menjadi fiksi, sekalipun indikasi nonfiksional di dalamnya sangat kuat. Perbedaan antara fiksi dan nonfiksi sebenarnya terutama dibuat oleh mereka yang mempermasalahkan nilai-nilai setiap pernyataan. 


Pada peminat sastra atau sastrawan sendiri sebenarnya tidak mau membatasi diri pada pertanyaan-pertanyaan sejauh mana fiksi merupakan pantulan kenyataan (sintaksis), melainkan memperluas perhatian mereka pada pengaruh yang ditimbulkan oleh karya sastra (pragmatik), karena secara semantik teks-teks nonfiksional menjadi denotatum dalam fiksi (semantik).

Sintaksis memberikan arahan pada tanda-tanda di dalam atau yang menyertai teks, sementara semantik mengatur hubungan antara tanda-tanda tekstual dengan denotata yang diungkapkan, sementara pragmatik memberikan peluang komunikasi antara penulis dengan pemnbaca, di mana pembaca dapat melihat sejauh mana referensi yang dipakai oleh penulis sehingga karya tersebut menjadi karya fiksi.

*Penulis adalah Pegiat Seni di Teater Petak Rumbia Bengkulu

Ads