Hardiknas : Kisah Serbet dan Corat-Coret -->
close
Pojok Seni
04 May 2018, 5/04/2018 01:19:00 AM WIB
Terbaru 2018-05-03T20:34:29Z
Artikel

Hardiknas : Kisah Serbet dan Corat-Coret

Advertisement
IBX5AEB6E850CBBF
Ilustari viral karya seorang seniman Banten


pojokseni.com - Perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei lalu menimbulkan cerita yang lucu, kocak, memalukan sekaligus memilukan. Setidaknya, ada dua hal yang paling berkesan dari perayaan Hardiknas tahun ini, serbet dan corat-coret.

Serbet mengemuka ketika dalam perayaan Hardiknas di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten digelar sebuah lomba baca puisi. Seorang peserta lomba tersebut, bernama Noval, yang juga berstatus sebagai mahasiswa meraih juara dua. Dan, tahu apa hadiahnya? Yah, serbet dua buah!

Kejadian kedua adalah di beberapa daerah, perayaan Hardiknas dihiasi dengan pengumuman kelulusan tingkat SMA. Dan, tahu apa yang terjadi di Hardiknas tahun ini? Yah, corat-coret khas anak SMA baru tamat sekolah.

Dua kejadian ini memenuhi linimasa media sosial, juga menjadi trending topik dunia maya. Dua kejadian yang sama-sama mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Sepertinya, revolusi mental mungkin belum menyentuh mereka. Oke, selesai sampai di sini saja membahas tentang corat-coret anak SMA. Toh, tahun depan mereka juga akan corat-coret lagi, kan? Kampungan!


Serbet dan Lintah Penghisap Darah


Bicara tentang kesenian dan kebudayaan di Indonesia, memang terkadang lucu-lucu-kocak. Ada banyak penyaji, pencipta dan pengkaji karya seni bermunculan, namun wadahnya tidak banyak. Kalaupun ada wadah, hanya segelintir saja yang tertampung dan itupun ; itu-itu saja orangnya. Yah, siapa yang lebih dekat dengan pemerintah, dia yang dapat.

Akhirnya sebuah proses kreatif menjadi seperti gerakan bawah tanah. Banyak grup kesenian, sanggar, teater dan komunitas perupa misalnya, memilih mencari jalan sendiri, pentas sendiri, sampai akhirnya berhasil mengharumkan nama daerah dan negaranya. Bagaimana penghargaan dari pemerintahnya? Serbet tadi salah satunya.

Tidak banyak, atau mungkin tidak ada seniman yang berkarya, berproses kreatif dan sebagainya hanya untuk mendapat penghargaan dari pemerintahnya. Tapi, kalau tidak mampu memberi penghargaan, setidaknya jangan menghina. Memberi serbet pada juara baca puisi misalnya, jelas itu menghina, bukan?

Lomba seni yang digagas pemerintah, sulit untuk lepas dari praktik KKN. Peserta "titipan" yang akhirnya mendapat curahan dana untuk pentas di sana-sini, sepertinya masih sebuah kebiasaan. Serbet hanya salah satu kasus, yang memberi tahu dunia bahwa ada satu komplotan dibalik usaha pengembangan kesenian dan kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia.

Bodoh Amat dan Teruslah Berproses


Hingga akhirnya, setelah banyak kejadian menimpa dunia kesenian, para seniman sejati semakin tebal kesabarannya. Banyak seniman yang memilih untuk "bodoh amat". Intinya, tidak ingin mempedulikan pihak/orang yang tidak mempedulikannya. Siapa peduli dengan pemerintah?

Kritik terhadap pemerintah, bukan bentuk kepedulian dengan pemerintah, tapi kepedulian pada rakyat yang suaranya perlu diaspirasi. Perlawanan terhadap kebijakan yang tidak pro-rakyat juga bukan karena peduli pada pemerintah, tapi karena peduli pada rakyat.

Kalau seluruh seniman nantinya sudah kehilangan kepeduliannya terhadap pemerintah, mereka hanya mencintai seni, keindahan, sosial dan tanah airnya. Birokrat hanya semilir angin kentut yang tidak usah dilihat, karena toh mereka tak melihat kita.

Pesan kami, sebelum kepedulian mereka pada Anda benar-benar hilang, mulailah mempedulikan mereka. Mereka sudah muak dengan lintah penghisap darah, penghinaan, serbet, acara seremonial yang hanya diisi organ tunggal, plesiran anggota dewan yang tanpa hasil, serta perkara kucing air lainnya.

Penulis : Adhyra Irianto

Ads