Jerit Jiwa di Bukit Tui: Alih Wahana Teks Puisi ke Teks Tubuh -->
close
Pojok Seni
08 December 2017, 12/08/2017 09:00:00 AM WIB
Terbaru 2017-12-08T02:00:32Z
Media Patnerteater

Jerit Jiwa di Bukit Tui: Alih Wahana Teks Puisi ke Teks Tubuh

Advertisement
Pementasan Jerit Jiwa di Bukit Tui
“Jika engkau bertanya tentang kegagalan, aku telah berada di jurang yang sangat dalam. Jika engkau bertanya tentang semangat, aku telah berada di puncak gunung tertinggi yang pernah engkau tapaki. Bahkan sekarang, kakiku berada sejengkal diatas kepalamu. Berdirilah! Karena kita bagian dari harmoni!” 

pojokseni.com - Dalam rangkaian acara Dies Natalis Institut Seni Indonesia Padangpanjang yang ke 52, Frisdo Ekardo dan kawan-kawan menyumbangkan sebuah karya teater yang berangkat dari teks puisi guna memeriahkan perhelatan tahunan tersebut. Pertujukan teater yang bertajuk “Jerit Jiwa Di Bukit Tui” karya/sutradara Frisdo Ekardo dipentaskan di gedung pertunukan Hoerijah Adam pada rabu malam (06/12/2017). Pertunjukan yang berdurasi 25 menit ini merupakan salah satu karya unggulan mahasiswa Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Padangpanjang.

Jerit Jiwa Di Bukit Tui adalah karya  teater yang berangkat dari teks puisi bertajuk “Harapan Jiwa Situa Lereng Bukit Tui” karya Frisdo Ekardo. Dalam proses penggarapannya, Frisdo Ekardo atau yang akrab disapa edo ini mencoba menubuhkan teks bersajak, mengkonversikan kekuatan sastra ke kekuatan laku pentas.

Pertunjukan teater Jerit Jiwa Di Bukit Tui ini menceritakan tentang kepahitgetiran sang penambang kapur tua dalam pertarungannya melawan kerasnya kapur kehidupan. Derita demi derita semakin menyesak dan mengganggu kerja rongga. Namun, jeritan-jeritan dari derita lereng bukit tui seakan terpejara oleh ruang kedap suara. Jeritan-jeritan yang tak terpekikkan itulah yang dikemas edo dalam pertunjukan teater bertajuk “Jerit Jiwa Di Bukit Tui”.

Isu-isu sosial memang sangat bertebaran dan bermunculan dari kapur yang berada di selatan Kota Padang Panjang. Namun, persoalan-persoalan yang terjadi di Bukit Tui seakan tertutup oleh kabut tebal. Pengkaryalah yang mencoba menembus kabut tembal tersebut, kemudian membaca pahit getir hidup dan mendengarkan keluh kesah penambang kapur, dan akhirnya dikemas dalam suatu pertunjukan teater.

Kombinasi Materi Seni yang Harmoni

Pentas "Jerit Jiwa di Bukit Tui"

Dalam garapan teater “Jerit Jiwa di Bukit Tui”, Edo sebagai sutradara memilih gerak pantomim dan gerak randai sebagai materi seni dan elemen artistik sebagai media ekplorasi. Terjadi sebuah kombinasi yang menarik, antara Pantomim sebagai perwakilan dari tubuh barat dan randai sebagai perwakilan tubuh timur. Edo mencoba mensinkronisasikan tubuh barat dan tubuh timur dalam proses pengalihwahanakan puisinya.

Meski kedua materi tubuh yang dipilih Edo sebagai media ekplorasinya sangatlah berbeda, dari segi bentuk, gerak, teknik dan capaianya. Namun, Edo sebagai sutradara dengan cermat mengemas gerak pantomim dan gerak randai menjadi satu kesatuan ekplorasi tubuh yang harmoni.

Sebuah ekperimen tentang peleburan dua elemen artistik dengan budaya yang sangat berbeda menjadikan pertunjukan teater Jerit Jiwa Di Bukit Tui menjadi tontonan yang menarik disaksikan. (isi/pojokseni)

Ads