Catatan Dari Pentas Drama Teater FIK UI -->
close
Pojok Seni
14 November 2017, 11/14/2017 01:36:00 AM WIB
Terbaru 2017-11-13T18:36:08Z
Artikel

Catatan Dari Pentas Drama Teater FIK UI

Advertisement
Pertunjukan Drama "Di Balik Topeng" Karya Rudolf Puspa dan Dolfry.

Catatan Rudolf Puspa (Teater Keliling, Jakarta)


Perhelatan tiap tahun yakni lomba teater antar fakultas di Universitas Indonesia dilaksanakan 11 November 2017 di gedung auditorium FIB UI. Aku datang nonton jam 14.00 yang pentas teater fakultas ilmu keperawatan Univ Indonesia. Mereka pentaskan drama berjudul “3O” karya dan sutradara Annisa Nursyifa Qolbi. Ia juga ketua teater FIK UI tersebut yang menurut tradisi mereka tiap tahun ikut lomba semacam dan yang main adalah anggota baru dari FIK UI semester satu.

Sebenarnya menarik mengamati kegiatan lomba yang dibiayai oleh BEM UI dan juga setiap fakultas punya budget tahunan dari UI. Ini tentu membuktikan bahwa Universitas Indonesia memiliki kepedulian terhadap kegiatan kesenian di lingkungan para mahasiswanya. Layak di apresiasi tentunya karena dengan kegiatan seperti ini tentu diharapkan dapat memberi ruang gerak bagi pengasahan jiwa lewat kesenian di mana di sana ada pelatihan2 yang bukan hanya olah fisik namun juga jiwanya.

Bagi yang di SMA nya mengikuti ekskul teater tentu kesempatan ini sangat menyenangkan karena masih bisa meluangkan waktu berkesenian sehingga terwujud usaha penyeimbangan otak kanan dan kiri. Namun niat baik ini sering terkendala bila waktu yang bisa disediakan sering hanya seminggu sekali dan itupun menggunakan waktu sisa dari jam pelajaran seharinya. Logikanya adalah berlatih dalam keadaan fisik yang lelah. Dalam keadaan lelah sering menjadikan diri lamban dalam membaca naskah, memperagakan peran dan seterusnya. Diperlukan penyiapan fisik dengan bentuk2 latihan khusus yang menggairahkan sehingga ketika latihan naskah dalam keadaan segar bugar dan penuh semangat karena didukung daya fisik yang segar.

Pertunjukan Drama "Di Balik Topeng" Karya Rudolf Puspa dan Dolfry.


Bagi yang mendatangkan pelatih dari luar yang memang seniman teater maka akan banytak tertolong karena bisa mendapatkan arahan yang praktis sehingga dengan waktu yang singkat minimal target “bisa ditonton” tercapai. Tentu tidak mungkin untuk menyediakan waktu latihan tiap hari selama tiga bulan terus menerus agar terwujut sebuah pertunjukkan teater yang profesional.  Waktu kuliah dan tugas-tugas kuliah yang sering harus dilakukan hingga malam hari akan menjadi kendala utama tentunya. Maka dibutuhkan pelatih yang memang punya keahlian khusus melatih dalam waktu singkat namun hasil bisa dinikmati. Tentu saja bisa dipahami bila mendapatkan pelatih seperti itu tidak gampang.

Teater FIK UI tentu saja bekerja keras untuk mencapai target yang diidamkan sutradaranya. Dengan pemain lebih banyak wanita dan hanya satu laki-lakinya memang bukan hal baru di tanah air. Hampir umum bahwa jumlah pemain wanita selalu lebih banyak dibanding laki-laki. Pemain-pemain muda dari mahasiswi semester satu ini cukup bekerja keras untuk mencapai hasil minimal bisa didengar dan dilihat dengan nyaman. Naskah ini menantang pemain untuk kuat dalam berimajinasi yakni naik comuter dari stasiun UI hingga Bogor. Cerita yang menurut penulisnya diambil dari kejadian nyata ini memang sangat menarik. Ketidak pedulian penumpang terhadap sesamanya hingga akhirnya berubah karena melihat seorang anak yang tadinya dicuekin dan ketika ada seorang mahasiswi memberi perhatian penuh hingga bisa bercanda riang sekali; mengubah tatanan sosial yang tanpa sengaja membuat orang menjadi sangat individualis.

Masalah teknis seperti dekor, tata lampu, costume, make up memang perlu lebih jeli dan disiapkan dengan penanganan artistik yang lebih teliti. Sementara kerjasama artistik antara set panggung dengan pemain perlu latihan bersama sehingga suasana di dalam gerbong kereta terasa lebih hidup. Ada satu hal utama yakni selama perjalanan tentunya goyangan kereta akan membuat para penumpangnya pun kebawa goyangan dan ini akan menjadi satu tontonan yang unik. Keunikan acting adalah sesuatu nilai yang sangat kuat bagi sebuah pementasan teater. Tentu saja butuh waktu latihan yang lebih panjang untuk itu.



Untuk tata lampu, tata set panggung memang sering menjadi kendala tersendiri dalam sebuah lomba. Akan menjadi kesulitan tersendiri dan terutamanya butuh waktu untuk setiap kali ganti pengisi acara harus merubah tata lampu. Walau dengan kemauan dan kemampuan yang tersedia hal itu bisa dilakukan. Seperti di Makasar beberapa waktu lalu melihat lomba monolog toh setiap ganti penyaji maka penata lampu bekerja dengan hanya 10 menit mengganti design tata lampu sesuai dengan permintaan grup yang punya design yang berbeda beda. Untuk set panggung juga sering harus mengalami kendala penyediaan barang-barangnya.

Menjadikan panggung terasa seperti di gerbong kereta api tentu butuh penciptaan interior yang tepat. Lagi-lagi butuh waktu penyiapan yang kadang untuk dipakai latihan masih harus menghadapi kendala yang juga tidak mudah. Maka untuk menghindari hal-hal seperti ini siapkanlah naskah yang tidak mempersulit dalam penggarapan di panggungnya.

Tata costume dan rias tentu menjadi sesuatu karya yang bicara dengan design yang tepat dan sesuai dengan peran-peran yang dimainkan. Saya sebenarnya sudah lama memperhatikkan berubahnya tata costume karena ada budaya baru yang menurut kacamata saya sering membuat karya seni peran menjadi kesulitan dalam menata costumenya. Misalnya seluruh pemain berjilbab dan tentu ini sangat sensitif dibicarakan. Untuk itu saya minta maaf jika kurang tepat menulis catatan dalam hal ini.

Dalam pentas ini hanya satu yang tak berjilbab sehingga tatanan costume dan riasnya justru paling menonjol selain peran satpam yang laki-laki yang punya kebebasan lebih. Entah apa penyebabnya sehingga pemain-pemain yang bertutup kepala menjadi kaku dan kurang bebas, sepertinya ada kendala aturan-aturan tertentu karena memakai pakaian yang memang pastinya memiliki aturan yang sudah tertulis dalam buku suci. Untuk melenggang agak genit saja susah sekali walau ketika bukan di panggung bisa seenak udelnya sendiri, teriak, ngomong bebas, gerak semaunya. Ada yang memberanikan diri bebas menggerakkan tubuhnya walau belum maksimal, namun mengundang perhatian dan dapat aplaus penonton; bagaimana kalau berani lebih bebas?

Apapun kekurangannya maka saya salut pada usaha lomba teater di Universitas Indonesia ini dan khusus kepada teater FIK UI jika memungkinkan punya latihan rutin untuk menyiapkan anggotanya memiliki dasar-dasar seni acting yang prima. Dengan demikian lomba tiap tahun ini memiliki nilai berkesenian yang tiap tahun menghadirkan karya-karya baru yang bukan hasil seadanya saja. Maka pembinaan mahasiswa untuk mendapat ruang dan waktu berkesenian yang cukup perlu dipikirkan  lebih lanjut. Jika dipandang perlu tiap fakultas diwajibkan memakai pelatih profesional agar punya hasil yang mantap sebagai sebuah pertunjukkan teater. Soal dananya tentu BEM atau rektorat bisa memikirkannya bila memang punya kepedulian terhadap mahasiswa berkesenian.

Semoga.














Rudolf Puspa
Jakarta 13 November 2017.

Ads