Ini Juara Menulis Puisi Ramadhan oleh Majelis Sastra Bandung -->
close
Pojok Seni
10 June 2017, 6/10/2017 04:07:00 AM WIB
Terbaru 2017-06-09T21:07:06Z
eventSastra

Ini Juara Menulis Puisi Ramadhan oleh Majelis Sastra Bandung

Advertisement
Ilustrasi Menulis Puisi


pojokseni.com - Dari total 290-an puisi yang dikirim oleh 126 peserta lomba menulis puisi oleh Majelis Sastra Bandung, terpilih empat orang yang beruntung dan mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar Rp 2 juta.

Bertindak sebagai dewan juri antara lain Matdon, Pungkit Widjaya serta Deddi Koral harus memeras otak untu menentukan siapa empat orang yang beruntung tersebut. Setelah melalui perdebatan yag cukup sengit, ditentukanlah empat pemenang  masing :

1. Syarani Fachry dari Ciamis,  Puisi : Ibu Tua
2. Laila Mei Hari dari Cilacap,  Puisi : Politik Kolak
3. Khoer Jurzani dari Sukabumi,  Puisi :  Dayang Sumbi
4. R. Abdul Azis dari Bandung, Puisi : Di Restoran Cepat Saji.

“Banyak penyair beranggapan bahwa puasa itu mirip dengan puisi. Ada ijtihad untuk menahan rasa lapar dari terbit fajar sampai terbenam matahari untuk puasa. Sedangkan puisi, ada pula ijtihad menahan menuliskan untuk tidak mengularkan kata dengan seenaknya. Lebih dari itu, kemiripannya adalah upaya untuk merasakan derita lapar yang dirasakan oleh orang lain,” kata seorang dewan juri, Matdon pada pojokseni.com melalui email.

Ketika membaca keseluruhan puisi yang dikirim, jelas Matdon, kebanyakan energi puitika adalah daya ucap terhadap kerinduan atas Ramadhan. Satu per satu puisi dihayati, tak lari dari tema bulan suci ini. Namun, sejumlah puisi yang terpilih adalah olahan mata batin dan mata pena si penulis tentang kondisi sosial negeri ini.

Mereka, sambungnya, piawai mengolah tema, menulis secara baik kemudian membuat ironi, personifikasi atas hubungan dirinya dan dunia eksternnya yaitu kondisi sosial negeri ini. Secara umum, puisi yang dikirim nampak menunjukan pergulatan antara aku yang mengamati hingga aku yang mengalami.

Dengan kata lain,  kondisi sosial negeri ini dalam mata penyair adalah ketimpangan antara rezim, kelas menengah kemudian hoax.

Sementara itu, menurut juri yang lain Pungkit Wijaya, posisi daya ucap dialog dalam puisi di sebuah restoran, nampak umum, namun si penulis mampu mengolah dengan baik rangkaian kalimat dari awal sampai akhir. Sebenarnya, puisi tersebut bukan perkara baru dalam daya ucap sastra Indonesia. Hanya sebuah ironis di restoran Cepat Saji, namun diantara banyak puisi, saya pikir puisi ini yag rapih juga menyimpan suatu cerita yang ironis.

Ada pula puisi yang bertajuk Politik Kolak, daya ucap puisi sangat sederhana. Sebagai puisi bebas, si penyair piawai mengaduk kata sehingga ada kesan humor terhadap realitas sosial negeri ini.  Sedangkan puisi Dayang Sumbi adalah cerita modern dari puasa masa kini. Si penulis dengan rapih menyinggung perilaku sosial antara kelas menengah dan kelas bawah. Bukankah puasa itu turut serta merasakan lapar? Ya, tentu dengan gaya hidup kelas menengah itu hal ironis juga

"Kepada para pemenang, harap mengubungi  nomor telepon 0898-4606-895," tutupnya. (ai/pojokseni.com)

Ads