Pertunjukan Teater 'Gadungan' : Psikosis Sang Dokter Gadungan -->
close
Pojok Seni
20 March 2017, 3/20/2017 03:53:00 PM WIB
Terbaru 2017-03-20T10:07:03Z
ArtikelMedia Patnerteater

Pertunjukan Teater 'Gadungan' : Psikosis Sang Dokter Gadungan

Advertisement
(Review pertunjukan Teater 'Gadungan' oleh Kelompok Pojok sutradara Iqbal Samudra)
“Siapa yang gadungan? Kenapa saya yang salah? Saya berbuat benar, saya disalahkan. Saya berbuat salah, saya makin disalahkan. Siapa yang gadungan? Cerita macam apa ini? Kenapa keadaan ini selalu tertulang? Bagaimana mengakhiri ini semua?” Tanya sang dokter gadungan dengan kalut, ketika semua kejadian yang hilir mudik di depan matanya seakan-akan berputar-putar, berulang-ulang, dan tumpang tindih menghantui dirinya.

pojokseni.com - Pertunjukan teater yang bertajuk “Gadungan” ini dipersembahkan oleh Kelompok Pojok dari Bulungan Jakarta Selatan dalam serangkaian acara Bengkulu Art Festival (15-16 Maret 2017). Naskah “Gadungan” ini diadabtasi secara bebas dan disutradarai oleh Iqbal Samudra. Naskah monumental yang berusia hampir tiga setengah abad ini ditulis oleh penulis naskah keturunan bangsawan yang bernama Jean-Baptiste Poquelin alias Moliére. Naskah Dokter Gadungan atau Le Médecin Malgré Lui ini pertama kali dipentaskan Salle du Palais-Royal, Perancis pada tahun 1666. Kritik tentang asas keprofessionalan seorang dokter disampaikan dengan dialog antar tokoh yang menggelitik. Hal inilah yang menjadikan naskah Le Médecin Malgré Lui atau Dokter Gadungan dinobatkan menjadi naskah terlucu yang pernah ada dalam sejarah dunia teater.

Ditangan kelompok Pojok, Naskah Dokter Gadungan yang disadur oleh Asrul Sani diadabtasi dengan judul “Gadungan”. Proses pengadaptasian Kelompok Pojok terbilang sangat berani dan kreatif. Iqbal Samudra selaku penyadur dan juga sutradra menghilangkan beberapa adegan, dialog dan beberapa tokoh dalam naskah aslinya dan menambahkan koor dan beberapa adegan tambahan. Kelompok Pojok juga mengangkat isu yang berangkat dari pemikiran Jean Baudrillard (1929-2007), seorang filsuf asal Prancis tentang teori Simulakra. Teori simulakra mengkritisi ihwal dunia periklanan yang telah menjadikan masyarakat seluruh dunia mengalami keadaan hiper reality. Teori ini juga bercerita tentang dunia periklanan yang menghilangkan jati diri masyarakat.

Konsep teater Epik yang di usung oleh Brecth sangat kentara pada pertunjukan “Gadungan” oleh Kelompok Pojok ini. Iqbal selaku sutradra berhasil mengemas efek Alinasi yang apik. Iqbal seakan-akan menjauhkan kisah ‘Gadungan’nya pada konsep-konsep teater dramatik. Hingga katarsis tidaklah menjadi sebuah capaian dalam pertunjukan Kelompok Pojok kali ini.

Proses alinasi atau penghancuran empati penonton ini terasa sangat tergarap melalui “interupsi-interupsi” tak terduga oleh para aktor.  Perwujudan V-Effect yang sangat kentara ialah ketika tiba-tiba sutradara menghentikan laju pertunjukan.

“Cut! Kalian telah memainkan peran dengan baik dan sekarang silahkan beristirahat,” ujar seorang tokoh yang berperan menjadi sutradara. 


Dengan adegan yang renyah dan dialog-dialog yang komunikatif, pertunjukan “Gadungan” persembahan kelompok pojok ini terasa sangat akrab. Namun, proses adabtasi secara bebas oleh Iqbal Samudra terkesan sangat bebas. Kekuatan vebal dari naskah Dokter Gadungan karya Moliére seakan tersia-siakan. Moliére meramu teks drama Dokter Gadungan dengan mengedepankan problematika realitas yang sederhana dan menggelitik. Secara sudut pandang yang lebih generik, Naskah Dokter Gadungan karya Moliére mengupas tentang kepalsuan dan tipu muslihat. Secara implisit makna yang terkandung adalah “ Apa jadinya seorang tukang kayu yang gemar mabuk menjadi seorang dokter” atau yang lebih universal adalah “Bagaimana jadinya seorang yang tidak berkompeten pada suatu bidang malah ditempatkan dibidang tersebut”. Hal ini sangat kontekstual dengan Indonesia hari ini, namun Kelompok Pojok terkesan tak mengindahkan esensi Moliére dalam naskah Dokter Gadungan. .
Namun, tangan  Kelompok Pojok naskah tersebut menjadi sangat berat dengan mengambil titik fokus pada penyakit Psikosis yang diidap oleh sang dokter gadungan akibat tekanan-tekanan psikologis yang mengakibatkan sang dokter gadungan memisahkan realitas dan fantasinya. Fantasi-fantasi itu datang seperti siklus abadi. Hingga menyerang kedirian aktor.

Pengambilan sudut pandang yang berbeda ini sangat menarik dengan inovasi-inovasi yang ditawaran. Sehingga menihilkan konsep pertunjukan “Dokter Gadungan” yang konvensional. Namun, Naskah Dokter Gadungan karya Moliére yang mengedepankan dialektika verbal yang satir ini terasa terabaikan.

Dalam konteks artistik, Kelompok Pojok menghadirkan setting panggung yang sugestif. Kain-kain hijau yang membentuk frame-frame memberikan ruang tafsir secara bebas kepada para penonton. Namun, setting tersebut tak sedikit pun hidup karena tak adanya interaksi aktor-aktor terhadap setting panggung. Setting yang dihadirkan tersebut malah menganggu cahaya lampu pada panggung. 

Sehingga dalam beberapa adegan ekpresi para aktor tak tertangkap dengan jelas. Alunan musik yang dihadirkan juga sangat rapi, beberapa suasana berhasil tersampaikan dengan baik. Beberapa lagu yang dinyanyikan oleh Koor dengan iringan musik yang apik, membuat musikalitas pertunjukan ‘Gadungan’ begitu kuat.  Namun, lemahnya vokal aktor mengakibatkan musik seakan menghimpit vokal aktor. Alhasil beberapa dialog penting gagal tersampaikan dengan baik. Kurangnya orientasi panggung dan ‘hancurlebur’nya akustik yang dimiliki GTT (Gedung Teater Tertutup)  Taman Budaya Bengkulu, mungkin menjadi alasan untamanya.



Meskipun pertunjukan ‘Gadungan’ sutradara Iqbal Samudra persembahan Kelompok Pojok ini dipentaskan dua malam berturut-turut dengan cerita yang hampir sama persis. Namun, GTT (Gedung Teater Tertutup) Taman Budaya Bengkulu tetap dipenuhi oleh penonton. Kelucuan-kelucuan yang komunikaif ditambah dengan ide cerita yang menarik. Membuat pertunjukan ‘gadungan’ tak membosankan meskipun dipentaskan berulang-ulang. (isi/pojokseni)

Ads