Film Ted II, Ketika Minoritas Memperjuangkan Hak dan Harga Diri -->
close
05 August 2015, 8/05/2015 10:55:00 PM WIB
Terbaru 2015-08-09T14:32:34Z
BeritaResensi

Film Ted II, Ketika Minoritas Memperjuangkan Hak dan Harga Diri

Advertisement


Oleh : Adhyra Irianto (@adhyra_irianto)

pojokseni.com - Sudah nonton Ted II? Kisah tentang boneka beruang yang bisa hidup sendiri, karena keajaiban. Berteman dengan seorang anak bernama Jhon Bennet sejak kecil, menjelma menjadi 'seorang' boneka beruang yang nakal, sering berucap kata kotor dan kasar dan yang paling parah, begitu gemar menghisap ganja. Bila sudah pernah menonton Ted I, maka anda akan tahu kisah kenakalan Ted, merusak acara, pekerjaan milik Jhon dan berakhir ke perceraian Jhon dengan istrinya. Anda juga akan 'gemes' melihat ulah boneka beruang ini melecehkan setiap orang yang dilihatnya dengan kata-kata kotor, ketika dia menyetubuhi gadis rekan kerjanya dan lain-lain. Ketergantungan mereka pada ganja juga bukan tontonan yang baik, terutama untuk anak-anak dibawah umur.

Tapi dalam Ted II, kisahnya jauh lebih menyentuh rasa manusiawi kita. Meskipun tetap mempertahankan ciri khas Ted yang gemar berkata kotor dan kasar, juga doyan mabuk ganja, tapi alur cerita ini jauh lebih menyentuh. Kisah diawali dengan pernikahan Ted dengan gadis pujaannya, Tami Lyn. Awalnya, penulis mengira akan ada kisah romantis, seperti pertengkaran rumah tangga, atau mungkin perjalanan Ted-Tami dalam menjalani bahtera rumah tangga. Ternyata penulis salah, kisah yang diangkat jauh lebih rumit dari itu.

Bermula karena Ted tidak punya alat kelamin, namun sangat ingin memiliki seorang anak bersama istrinya. Mulailah kejadian konyol ketika Ted ditemani dengan Jhon berusaha mencuri sperma milik orang lain. Usaha itu gagal, namun mengingatkan Ted bahwa ia punya Jhon yang bisa membantu memberi sperma. Parahnya, ketika Jhon yang mendonasikan spermanya, yang dibalut dengan kejadian konyol di bank Sperma, yakni Jhon terpleset dan menghantam lemari yang penuh dengan sperma, sehingga... anda tahu sendiri kan?

Namun sayangnya, sperma itu sangat tidak berguna. Ketergantungan pada heroin dan ganja membuat rahim istri Ted menjadi rusak parah dan divonis tidak akan bisa hamil. Hal itu membuat Ted da istrinya terpaksa mengadopsi anak. Kejadian parah yang merupakan puncak konflik dari film ini bermula dari situ. Ketika mengajukan proposal permohonan untuk mengadopsi anak, Ted justru bermasalah dengan pemerintah. Apa masalahnya? Teryata Pemerintah setempat tidak hanya menolak permintaan Ted untuk mengadopsi anak, tetapi juga menolak menyebut Ted sebagai seorang 'manusia', melainkan sebagai 'sebuah properti'.

Saat itulah, hak-hak Ted sebagai manusia langsung dicabut. Tidak hanya hak mengadopsi anak, tetapi juga asuransi kesehatan, listrik, pekerjaan sampai pernikahannya dengan Tami Lyn dianggap tidak sah. Dalam kondisi terpuruk itu, hanya Tami Lyn dan Jhon Bennet yang berada disisinya. Ted dan Jhon berusaha menghubungi pengacara tapi malah ditolak dan diserahkan pada sepupu pengacara tersebut yang baru 'magang' dan butuh kasus pertama.

Situasi tambah rumit menjelang persidangan, ketika seluruh siaran di Televisi juga berita utama di media menggiring opini publik ke sebuah kesimpulan : Ted bukan manusia, dan betapa bodohnya manusia apabila dia mendapat hak 'istimewa sebagai manusia'.
Beralih dulu dari film Ted II, karena tulisan kali ini hanya akan membahas betapa film tersebut memberikan sindiran yang halus pada kondisi saat ini. Ted hanya menggambarkan golongan minoritas yang berjuang agar memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Namun, opini publik ternyata lebih condong pada giringan media dan televisi. Satu hal yang bisa ditangkap dari film ini adalah untuk melihat sesuatu, kita perlu melihatnya dari segala sisi. 



Ted yang memiliki perasaan, cinta, emosi dan empati dilarang untuk menjalaninya. Menurut Ted, hak tersebut adalah milik setiap manusia (tak bertanda kutip), namun menurut golongan mayoritas di film itu (manusia tentunya), hak tersebut adalah milik setiap 'manusia' (bertanda kutip). Bagi manusia (golonga mayoritas), kebenaran mereka bersifat mutlak, tak peduli bila hal itu justru merugikan dan menghancurkan perasaan 'orang' lain (golongan minoritas).

Film ini juga membuka mata kita untuk lebih toleran. Tidak ada perbedaan suku, agama dan bangsa untuk membedakan kodrat manusia. Semua sama-sama punya hak untuk hidup, hak untuk memiliki perasaan, cinta, emosi dan tentunya empati. Tentu, satu hal terakhir yang bisa dikatakan penulis, bila kita diposisi minoritas maka teruslah perjuangkan hak kita. Bila kita berada di posisi mayoritas, hargailah kaum minoritas, karena mereka juga sama dengan kita.

Salam Hangat 

Ads